Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Rabu, 20 November 2013

Teman sebagai Penghibur Sejati – Teman itu Bernama Damar (3)



Ada sebuah cerita lagi mengenai teman itu. Teman yang bernama Damar. Teman yang selalu menghibur gue ketika gue lagi sedih maupun ketika gue lagi senang. Jadi, gimana enggak gue bahagia mempunyai teman yang seperti itu :D
            Cerita itu bermacam-macam. Jauh lebih asyik ketika gue menceritakan dalam konteks berduka yang dulu, deh. Waktu itu pernah gue lagi heboh mengenai organisasi alias himpunan mahasiswa. Gue enggak tahu: himpunan mahasiswa itu kerjanya ribet alias enggak simpel. Ada aja yang ribet dan mikin malas hati, malas gerak.
            Waktu itu gue disuruh buat ikutin lomba ilmiah. Tepatnya, Lomba Ilmiah Mahasiswa FISIP 2013 alias Limas 2013. Haduh, awalnya gue berniat buat pensiun alias mengundurkan diri. Tetapi – apa daya dan upaya – yang namanya kejadian ya tetep aja kejadian. Mau gimana lagi? Gue tetep ikut karena sumber daya manusia yang terlampau sedikit. Maksudnya? Tepat: peserta lomba buat tahun ini semakin sedikit – jauh lebih berkurang daripada yang tahun lalu malahan!
            Alhasil gue ikutan meramaikan suasana… Dengan batin yang terpaksa. Gue ikut menjadi peserta sama seperti tahun yang lalu, dan dua tahun yang lalu, yaitu lomba esai kritis. Lomba esai kritis kali ini membahas mengenai Good Governance pada beberapa hal seperti lingkungan. Gue mau milih yang lingkungan, sekalipun gue kurang tertarik sama issue tersebut. Gue berencana buat membuat tulisan soal keterkaitan antara kebudayaan macet di lalu lintas Jakarta dan Good Governance. Kenapa macet? Karena macet itu lingkungan sekunder, yaitu lingkungan yang bisa dan biasa dimanipulasi oleh manusia. Mantap! Di saat yang kritis begini, ternyata otak gue jalan juga! Kirain mandek di tengah jalan! Wuihii, Thank God :D
            Mungkin aja tahun ini mempunyai cerita yang berbeda buat diri gue. Ketika dua tahun yang lalu, gue mencoba menggagas mengenai kembali ke Pancasila. Hasilnya gagal total. Setahun yang lalu, gue mencoba menggagas mengenai deprivasi relatif dan absolut di Bintaro yang berakhir permukiman kumuh. Eh, hasilnya juga sama aja. Buat tahun ini, gue berharap justru malah gagal aja. Kenapa? Biar gue enggak capek2 presentasi. Capek banget, belum lagi soal pelajaran yang masih banyak. Intinya, membosankan, deh.
            Kemudian, Devita sang kepala Keilmuan meminta diri gue buat ikut serta ke lomba yang satu lagi, yaitu debat. Gue udah cukup berusaha buat menolak permintaannya, tetapi ia tetep kekeh. Hasilnya, gue enggak tega menolak permintaannya -,-. Emang, gue ini makhluk manusia yang penuh rasa iba – entah kenapa.
            Setelah itu, gue pulang ke rumah. Malamnya, gue diminta untuk cek ricek twitter Limas. Ada pemberitahuan mengenai siapa saja yang menang lomba. Wah! Alhamdulillah… Sekaligus Inna Lillahi… Gue menang… Gue lolos dalam lima besar bersama dengan dua teman seperjuangan lain seperti Ubed dan Wieldan.
Gue bingung. Saat itu gue mesti bersyukur apa enggak ya. Yasudah, gue melampiaskannya dengan berteriak hingga Kak Titi dan Mama kaget mendengar teriakan gue tersebut.
Esok paginya, gue langsung mempresentasikan materi gue. Hasilnya, gue dibantai abis2an sama Pak Ganda Upaya. Ya Allah. -,-
            Kemudian, gue pulang ke rumah dan kembali jadi orang yang galau. Setelah gue abis2an dikritik sama Pak Ganda, gue harus mempersiapkan diri buat melaksanakan lomba debat besok. Asli, capek banget. Capek, gue mesti nyari2 bahan buat debat. Ketika gue mencari2 bahan, tiba2… LISTRIK MENYAMBAR. Alhamdulillah masih jauh sih dari diri gue, jadi diri gue enggak kesambar alias mati konyol. Tapi…. Netbook yang lagi gue pake itu mati mendadak alias rusak.
Astaghfirullah… Cobaan yang datang di saat2 yang enggak gue harapkan sama sekali.
Gimana kalau gue ceritain ini ke Devita, biar gue bisa mengundurkan diri besok? Pasti gue dibilang melanggar etika profesionalitas, pikir gue. Gimana kalau besok gue gak masuk aja? Besok ada beberapa kuliah yang penting yang sebenarnya bisa gue lakukan abis debat. Dan lagian, gue juga males banget kalau dibilang pengecut sama temen seangkatan sendiri.
Apa yang mesti gue lakukan? :”(
            Gue cerita aja! Kalau emang gue gak berani cerita ke Devita, kenapa enggak gue cerita ke Damar? Seorang teman yang bisa membuat diri gue nyaman. Akhirnya, gue cerita bersama dengan dia.
Damar: Halo…
Gue: Damar! Gue mau curhat nih! Galau gue, sedih gue! Huhu…. :”(
Damar: Cup cup… Ada apa nih…?
Gue: Iya, Mar. Gue ampe bingung… Kenapa gue besok mesti ikutan lomba debat. Terusan juga, kan gue mesti cari bahan buat  dijadiin dasar argumentasi yang valid, kenapa laptop gue rusak gara2 petir tadi! Galau gue, Mar.. Galau..! -,-
Damar: Sabar, Di. Tenangkan dirimu.. Sekarang, rileks aja dulu. Gue perhatiin dari tadi pagi lo begitu restless. Kenapa?
Gue: Ya iya, Mar. Gimana enggak diri gue restless. Lagian sih, disuruh ini itu. Capek banget rasanya. Gue pengen ngeluhin hal ini ke divisi keilmuan, tapi gue takut dibilang enggak profesional. Jadinya, gue bingung mau ngapain..
Damar: Iya… Mendingan sekarang lo istirahat dulu. Sembari dengerin motivasi dari gue. Gue juga sebenernya lagi mikir sih, kenapa lo diajak buat ikutan Limas melulu, dari tahun ke tahun… Orang2 yang mengajak lo itu enggak pertimbangin kesibukan apa yang lo temui selain menolong mereka2 yang ngajak lo. Benar?
Gue: Iya.
Damar: Tahu kenapa alasannya?
Gue: Karena kekurangan sumber daya manusia. Gak ada lagi yang bisa dipaksa buat ikutan kecuali gue.
Damar: Bukan itu.
Gue: …? Tapi?
Damar: Sumber daya manusia mah sebenernya enggak dikit juga di Antrop. Sekalipun emang enggak banyak juga sih. Kalau2 tiap orang bisa dipaksa, ya mereka bisa dipaksa. Nah, kenapa lo disuruh? Karena lo itu kaya akan sumber daya pengetahuan.
Gue: Kaya akan sumber daya pengetahuan?
Damar: Karena mereka tahu, mereka pengen mengoptimalkan kekayaan sumber daya pengetahuan lo lebih detail lagi. Bahkan kalau bisa dimodif sekalian. Bayangin, otak lo dimodif, kayak modifikasi mobil aja.
Gue: Iya ya. Tenaga kuda gue bisa nambah. Downforce gue bisa ditinggikan. Berat gue bisa diturunkan. Racing mode on-deh.
Damar: Iya! Nah, sekarang, selamat mencoba buat memperkaya sumber daya pengetahuan lo.
Gue: Oke, Mar.
Damar: Satu lagi, makanya banyak kan anak Antrop yang minta tolong soal akademis ke lo?
Gue: Karena gue kelebihan sumber daya pengetahuan akademis?
Damar: Yoi!
Gue: Ah, itu mah juga terkadang karena orang yang minta tolong ke gue.. Antara malas atau dilanda kegalauan tertentu.
Damar: Ya, tapi kan lo bisa menolong mereka melepaskan diri mereka dari kemalasan dan kegalauan. Itu sumber daya lho! Dan lo punya semua itu. You have it all. You have it all the potence that you want it.
Damar (lagi): So, unleashed your potentials! All of it! Let the world knows them! Let Devita knows them!
Gue: (Let Devita knows them?)… Hehehe.. Oke, oke Mar. Thanks a lot ya… :”D
Damar: Anytime, mabroh!
…. Esok paginya, gue menjalani hari tersebut dengan semangat. Sekalipun emang hancur: kalah lawan Komunikasi, memang walkout lawan sosiologi, dan seri lawan administrasi fiskal. Tapi, hal itu membanggakan. Bukan karena gue capek membuktikan profesionalitas gue kepada Devita dan kawan-kawan. Tapi, gara2 gue bisa membuktikan bahwa… Ternyata di tengah2 gue menderita, gue masih memiliki kekayaan akan sumber daya pengetahuan! :D

Kamis, 14 November 2013

Teman sebagai Penghibur Sejati - Teman itu Bernama Damar (2)

Gue mau cerita lagi soal Damar. Seorang sahabat. Seorang teman seperjuangan gue yang begitu kocak.

Gara2 dia ada, gue jadi ngelupain apapun yang bikin gue bete. Misalnya, skirpsi dan kepengurusan Antropos 2013. Semua itu bikin gue bete. Tetapi, ketika dia ada - dia menghibur diri gue. Baik secara implisit maupun secara eksplisit. Enggak kayak temen2 gue yang lain. Mereka semua cuma bisa menuntut diri gue agar cepat menyelesaikan skripsi dan Antropos 2013.
Orang2 yang seperti itu lebih baik gue acuhin aja. Gue hargai diri mereka dengan sikap acuh gue dan... Kalaupun gue jawab, gue bakal jawab apa adanya. Mereka harus mengerti bahwa mengejrkana skripsi dan majalah itu bukanlah pekerjaan yang mudah.

Oke, lebih baik cerita duka mengenai skripsi dan majalah ditunda terlebih dahulu.

Enggak ada salahnya sih berduka. Tapi, rasa duka yang disimpan maupun diceritakan terlampau lama juga enggak baik baik buat psikis maupun fisiologi diri. Betul?

Kayak yang mau gue ceirtain ini. Cerita seorang pria yang mampu menghibur diri gue. Sekalipun ia menghibur diri gue dalam waktu yang sekejap, tapi gue merasakan manfaatnya berabad-abad - bisa jadi manfaatnya lebih lama ketimbang usia gue yang diprediksikan fana ini: kurang dari seabad.

Suatu kali kami semua berjalan ke Desa Nunuk dari Depok dengan naik Bus Loragung. Sebuah bus yang ditumpangi oleh para supir dan kenek Wong Jowo yang begitu piawai dalam mengatur jalannya melampaui jalur pantura. Para supir dan kenek tersebut juga begitu piawai dalam mengendarakan bus besarnya itu cepat-cepat. Mereka tidak merasa tergesa-gesa. Tetapi, mereka juga tidak merasa santai dalam mengendarai bus itu.
Mereka hanya santai dalam kecepatan yang begitu tinggi.
Alat ukur santai yang terdapat di dalam diri mereka begitu berbeda dengan diri gue: di atas 100 km/jam!

Hingga suatu kali bus itu rem mendadak karena harus bisa mengikuti kecepatan truk yang menghalanginya di depan. Kalau mereka tidak memaksakan rem tersebut, kami semua akan celaka. Truk yang ada di depan juga akan celaka.

Klakson dibunyikan. Gue begitu sakit hati melihat kelakuan supir yang 'begitu santai' itu. Ini merupakan sebuah ironi dari hati dan jantung gue yang begitu lemah terhadap budaya mengebut a la Supir dan Kenek Loragung jalur Pantura.

Sang Supir agak kesal. Sang Kenek agak tertawa melihat perilakunya itu. Ia menertawakan perilaku truk yang menghalangi kami. Sepertinya begitu. Atau mudah-mudahan interpretasi dalam benak imaji diri gue yang begitu minim ini salah sepenuhnya.

Gue sama sekali enggak bisa memahami budaya mereka. Karena gue enggak biasa melakukan budaya tersebut. Karena gue enggak bisa mengikuti budaya tersebut. Karena...

"Di, kenapa? Kok tampangnya stres gitu?". Sahut Damar kepada diri gue. Sahutannya itu membuat diri gue tenang dan sedikit demi sedikit melupakan pahitnya menumpang di Bus Loragung ini.

Gue: Iya. Biasa, gue tadi takut banget ngelihat supirnya hampir nabrak truk tadi. Gila, jantung gue mau copot. Untung aja selamat gara2 doa nyokap.

Damar: Hahaha, seloow. Gue juga mayan tegang kok (tertawa). By the way, lo tahu enggak, cheat terpenting di GTA San Andreas?

Gue: Hehehe. Tahu dong. R1 R2 L1 R2 kiri kanan atas bawah kiri kanan atas bawah.

Damar: Itu cheat health ya. Itu gak penting lho.

Gue: Lho, apaan lagi yang lebih penting?

Kemudian dia melantunkan sebuah cheat yang sama sekali enggak gue ngerti. Gue enggak inget sama cheat itu.

Damar: Tahu enggak?

Gue: Enggak. Apaan sih?

Damar: Jet pack.

Gue tertawa keras-keras di bus itu. Kali ini, kebalik. Semua hening bukan gara-gara melihat kecelakaan yang tadi hampir aja terjadi, melainkan... Hening gara-gara melihat diri gue tertawa terbahak-bahak. Lambat laun, anak antrop yang ikut pada tertawa, dosen juga ikutan tertawa, bahkan... Para supir dan kenek juga tersenyum - sinis, lebar, biasa, bahkan juga tertawa kecil melihat tingkah laku bocah dari Bintaro ini!

Terima kasih, Damar. Lo udah bisa membuat diri gue melupakan kerasnya hidup di jalan raya. Sekaligus, lo bisa membuat diri gue malu di depan umum! XD

baca: ucapan terima kasih gue terhadap Damar itu senada dengan ucapan terima kasih a la testimonial... Klinik Tong Tong... You know what I mean XD maaf kalau2 ada berbagai pihak yang tersungging eh salah tersinggung atas bercandaan yang satu ini. Gue gak bermaksud rasis kok :D

Selasa, 12 November 2013

Teman sebagai Penghibur Sejati - Teman itu Bernama Damar (1)

Ada berbagai orang yang bisa kita klasifikasikan di dalam benak.

Ada orang-orang yang kita golongkan di dalam daftar 'orang-orang yang gue cintai'. Golongan ini hadir sebagai rumah dan kediaman. Tempat kita kembali - mengistirahatkan sejenak jiwa raga yang telah lelah akibat masalah-masalah yang enggak lain dan enggak bukan berasal dari perilaku tidak seronok makhluk sesama spesies kita - manusia! So, feel at home, safe as houses.

Itulah orang-orang yang kita. Oke, khususnya buat diri gue - merekalah orang yang gue cintai. Keberadaan mereka membuat gue bagaikan di rumah sendiri dan merasa aman dan nyaman. Ketika gue bertemu dengannya, kedua rasa yang menyenangkan itu muncul serta-merta.

Orang yang gue cintai ini secara primer berasal dari keluarga inti. Kecuali ayah kandung. Kemudian, itu melebar jadi keluarga luas. Hingga kemudian, itu meluas lagi menjadi teman-teman seperjuangan.

Dalam konteks teman seperjuangan, ada beberapa kelas lagi yang bisa gue bagi-bagi seenak jidat. Ada sahabat terbaik sepanjang masa: Arifi, Arif Gendut, Irrul, Gilang, dan Riandi. Ada sahabat tambahan yang juga setia: Naufal, Yudha Bibir, Tomang, Ben, dan... Semua teman di jurusan Antrop 2010. Selain itu, ada juga teman-teman biasa yang biasa gue tolong dan enggak gue acuhkan ketika mereka meminta tolong sampai nugging-nungging enggak karuan.

Salah seorang teman di jurusan Antrop 2010 itu ialah Damar.
Gue selalu tertawa terbahak-bahak ketika dia mendeskripsikan dirinya di twitter-nya hanya dalam sebuah kata: GANTENG. Mar, lo mau narsis apa mau jujur? XD

Damar ini merupakan teman yang gak mau pilih kasih dengan teman sesama Antropnya. Gue masih inget, ketika gue masih maba bersamanya, gue selalu takut diawasi oleh senior. Dia - bersama dengan Anis, Mbing, dan Bacang - serta-merta menenangkan diri gue dengan berkata, "Jangan takut, Di. Namanya juga senior. Mereka ngospekin kita cuma buat ngisengin mental kita aja. Kalau kita sadar, lama-lama rasa takut juga bakalan hilang!".

Sungguh baik teman itu. Dan diri gue sangat beruntung karena pernah memilikinya.

Ada seorang senior yang waktu itu paling gue takutin. Perawakannya besar, bongsor. Mukanya brewokan - subur makmur  kalau sekedar soal jenggot dan kumis (?). Kemudian, dia suka banget berkata kasar ke juniornya yang menurutnya enggak becus. Waktu itu, dia kebetulan jadi senior yang suka mendisiplinkan juniornya dalam konteks Ospek di FISIP UI - biasa disebut denga kepanitaan Tibum (ketertiban umum).

Dia suka banget berkata, "Lari lari lari! Cepetan, gak pake lama!".
Gue takut sambil berlari. Damar menangkap gue dan berkata, "Enggak usah lebay, Di. Santai.". Gue menenangkan diri dengan mengikuti irama jalan cepatnya Damar. Kemudian, Damar berkata, "Gak pake lama. Kata si Paul... Gak pake lama, kayak mau mesen makanan di restoran aja.".

Gue tertawa terbahak-bahak.

Dan Paul pun berkata keras, "Siapa tuh yang ketawa?".

Gue dan Damar baru kemudian lari secepat Usain Bolt (?) atas peringatan yang lebih keras tersebut. Setelah sampai di tujuan, kami berdua tertawa terbahak-bahak melepaskan penat yang ada.

Ternyata, di tengah kejadian yang terkeras sekalipun ada juga hal yang lucu.

Malam itu Teman Berkata: Tentukan Sendiri, Lo Udah Dewasa, Di

Kali ini, gue mau ceritakan sebuah hal yang berbeda lagi dengan yang sebelum-sebelumnya.

Memang, ada benang merah antara tiga cerita ini. Benang merah yang muncul ialah pendapat teman mengenai diri gue. Gue butuh mereka berpendapat agar diri ini semakin baik. Demi kebaikan diri sendiri dan demi kebaikan orang-orang yang membutuhkan gue, Atas Nama Yang Ilahi.

Selama gue masih hidup. Selama jantung gue masih berdetak. Selama gue masih diizinkan menghisap dan menghembuskan nafas. Selama ruh gue masih bersambung dengan tubuh. Selagi pikiran dan jiwa gue masih dianggap normal.

Gue akan masih terus menunggu dan menampung kritik yang terus bertubi-tubi menusuk diri ini.

Kalau bukan buat kebaikan bersama, kenapa enggak?

Ada sebuah malam lagi yang gue paksakan ia untuk menemani gue biar berkontemplasi kembali bersama kawan.
Dan semoga saja Sang Rembulan tetap murka di samping ia mengingatkan diri gue dengan lembut.

"Jangan malam-malam. Kamu besok mesti nyupir." - katanya mungkin seperti itu.

Suatu siang, gue datang ke kampus awalnya untuk berdiskusi dengan salah seorang teman saya. Teman saya itu bernama Mbing. Seorang teman yang sangat baik ke diri ini. Dia selalu menenangkan diri gue ketika diri gue ini lagi dilanda kegalauan. Sangat jelas - saya berani menilai ia sebagai orang yang enggak tahan terhadap teman seperjuangan sendiri yang teralienasi atas dasar apapun.
Atas dasar apapun, dasar tersebut tetaplah menghasilkan sesuatu yang tidak baik. Dan hal itu harus dihindarkan sebisa mungkin. Kalaupun terjadi, hal itu harus dicarikan solusinya dan dipraktikan sesegera mungkin.

Teman itu datang ke kampus agak siang. Dia menyuruh saya untuk menunggunya di penjara. Maksudnya, penjara itu tempat fotokopi yang ada di FISIP UI karena bentuknya mirip penjara. Tepat pukul 12.00 WIB, pria tersebut datang dan menyahut, "Udah lama nungguin? Sorry ya, Di!".

Kemudian, tanpa berbasa-basi gue langsung mengajak dia untuk belajar di rumah gue. Menginap dalam waktu sehari. Gue pikir dan gue rasa, Mbing merupakan teman pertama di waktu kuliah yang bermalam di rumah gue,

Berjalan dengan santai, kami berdua tiba di rumah pada pukul 13.15 WIB. Kami disambut dengan hangat oleh keluarga besar gue. Keponakan gue malu-malu melihat ada Om Mbing yang baru saja pertama kali datang ke rumah gue. Kemudian, kami berdua diajak makan siang bareng keluarga.

Sembari makan siang, Mbing diajak ngobrol sama nyokap. Nyokap banyak bertanya-tanya kepada Mbing. Mulai dari hal yang penting seperti waktu kuliah hingga hal yang enggak penting seperti udah pernah punya pacar apa belum. Tapi gue pribadi sama sekali enggak malu. Nyokap berhak buat bertanya tentang apapun tentang teman gue. Dan begitu juga dengan kebalikannya. Soal konsensus mengenai pertanyaan dan jawaban yang dirasa sensitif, ya itu merupakan urusan kedua belah pihak. Bukan gue yang mengurusnya. Bukan gue yang mengaturnya. Itu hak mereka semua sepenuhnya. Bukan hak gue.

Sore telah tiba. Mbing masih sibuk mengerjakan transkrip yang disuruh sama Kak Hestu. Setelah ia selesai, ia minta istirahat dulu. Ia gue izinkan untuk bersetubuh dengan kasur yang biasa gue setubuhi. Enggak apa-apa, teman laki ini. Kalau teman perempuan, itu ceritanya beda 180 derajat.

Malam telah tiba. Sang Rembulan gue perhatikan mulai bekerja dengan giat. Ia terus menatap kami semua yang masih berkegiatan. Ia merasa bahwa tugasnya selesai dalam mengurus masyarakat terisolir (remote communities) seperti Etnis Tengger di Pegunungan Semeru. Kemudian, ia merasa bahwa tugasnya baru separuh selesai dalam mengurus masyarakat pedesaan seperti Desa Nunuk di Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu - yang tidak lain dan tidak bukan merupakan desa kedua yang pernah gue  temui setelah Desa Cigombong di Diklat Pesantren al-Azhar.

Dan, ia mulai mengeluh ketika diminta mengistirahatkan perkotaan, manusia, dan kebudayaannya.
Mereka masih saja sibuk. Ada yang kerja lembur. Ada yang masih mengatasi kemacetan. Ada yang masih bekerja di tengah jalan membangun proyek tertentu. Ada kuli yang masih melek matanya. Ada pramu syahwat yang baru saja bekerja. Ada berbagai orang yang baru saja memulai kegiatannya berfoya-foya di diskotik atau bar tertentu. Ada pula suami yang baru pulang dari kerja kantornya dan dicium oleh istrinya... Dan istrinya bertanya, "Bau apaan ini? Kok wangi bener - kayak bau cewek. Kamu enggak selingkuh, kan?". Enggak sih, yang terakhir ini cuma bayangan yang muncul secara random dari benak gue yang begitu minim fantasinya.
Tapi, begitulah sekelumit budaya perkotaan pada umumnya di malam hari. Dan semakin ke sini bukannya kita semakin menyadari, bahwa - kata 'budaya' itu bisa diganti menjadi 'masalah'. Jadi, apa bedanya budaya perkotaan dengan masalah perkotaan? Siapa suruh tinggal di kota kalau kota merupakan sumber daya masalah. Memang, kota mempunyai sumber daya yang enggak ada di desa maupun daerah terisolir. Misalnya, kemewahan. Tetapi, dalam konteks yang ada di saat ini, kota malahan juga mempunyai segala macam sumber daya masalah yang bikin sakit kepala manusia-manusianya, seperti: kemacetan, perselingkuhan, tipu muslihat, kriminalitas, gosip - kabar burung - fitnah, korupsi, dan sebagainya! Orang-orang yang hidup di situ pasti sadar akan hal ini.
Tetapi, mereka enggak mau tahu. Mereka terus berpikir bahwa sumber daya terbaik hanya bisa didapatkan di kota. Maka, pantas saja angka kepadatan di Jakarta dan sekitarnya tiap tahun semakin naik apalagi setelah musim lebaran baru saja habis. Sebelum lebaran, kemacetan berkurang drastis. Setelah lebaran, kemacetan bertambah parah - lebih parah malahan ketimbang yang pernah dialami seperti yang sebelum-sebelumnya. :"(

Teman yang menumpang sementara di rumah gue buat hari ini mengerut dan bertanya, "Kenapa Di. Ngelamun sambil nengokin bulan?".
Saya jawab, "Eh, Mbing.".
Kemudian gue langsung aja menceritakan apa yang tadi muncul di benak gue. Dia langsung berkata dengan tanggap, "Lo sangat suka berkontemplasi ya. Jangan pelit-pelit dong! Maksudnya, kan ada orang lain nih (nunjuk ke diri sendirinya) - ajak-ajak gue buat ikutan kontemplasi kenapa? Kayaknya lo lagi banyak pikiran dan pemikiran nih. Mungkin-mungkin aja gue bisa bantuin menyederhanakan?".
"Terima kasih, hai kawan." Gue menjawabnya dan melanjutkan, "Ceritanya baru aja gue mulai, nih.".

Gue: Jadi, Nendi berkata ke gue kalau diri gue terlalu baik. Sedang, Imam berkata bahwa diri gue tetap harus baik. Apa yang mesti gue lakukan, at this rate?

Mbing: Tentukan sendiri, lo udah dewasa, Di. Apa mendingan gue ceritain pengalaman gue aja?

Gue: Boleh. Soalnya gue bingung.

Mbing: Oke, jangan bingung. Soalnya, abis lo bingung - lo terus galau. Jadi gini. Gue malah bersyukur ketika gue masih bisa berbuat baik sama orang lain. Kenapa? Artinya gue masih berguna buat orang lain dong. Ya enggak?

Gue: Ooh.

Mbing: Dan ketika lo menjawab bahwa... Lo baik karena gue pengen diri lo berbahagia bersama orang lain, lo udah bagus. Sebenernya, tinggal gimana lo mempertahankan argumentasi lo yang tadi.

Gue: Oke...

Mbing: Tapi, lo masih harus ingat sama batasan.

Mbing (lagi): Ketika lo terus melakukan kebaikan, lo mesti sadar sama batasan tertentu. Gini, Nendi kasihan sama lo karena dia takut ketika orang lain yang pernah lo tolongin enggak bisa membalas kebaikan lo. Atas dasar apapun. Entah gara-gara sibuk, atau malah malas!

Diri gue terperanjak!

Gue: Malas? Lho, gue selama ini udah rajin-rajinnya nolongin dia. Kok dia bisa serta-merta males nolongin gua??

Mbing: Karena dia punya masalah sendiri. Ada pengalaman yang membentuknya jadi enggan buat membalas kebaikan orang lain, tapi tetap harus menerima kebaikan orang lain.

Gue: Karena?

Mbing: Iya. Itu gue gak bisa jelasin secara detail. Pokoknya gitulah. Karena, ujung-ujungnya itu masalah pribadi orang tersebut.

Gue: Oke...

Mbing: Dan mendingan kita fokus dulu ke masalah diri sendiri. Ke masalah pribadi lo dulu, mengenai 'apakah gue pantas berbuat baik ke orang lain apa kagak, sih'. Ya, kan?

Gue: Tepat.

Mbing: Gue lanjutin.. Tadi sampai di mana? Ingat batasan! Ingat ketika ada orang lain yang malas buat membalas kebaikan lo. Coba, gue tanya. Apa yang mesti lo lakukan?

Gue: Hm.. Gue cerita deh.

Mbing: Cerita!

Gue: Contoh aja.. Yang patut gue sesali itu Rakhmat. Khusus ke diri gue dengan Rakhmat aja. Dia selama ini gue tolong. Terutama buat MPE. Tapi, ada kejadian ketika dia ngomong 'Di, kayaknya gue mau mengundurkan diri.'. Terus gue tanya 'kenapa' - dia gak mau jawab. GUE KAGET. GUE MENYESAL.

Mbing: Kenapa lo menyesal?

Gue: Karena, selama ini gue menolong dia karena gue pengen diri dia sukses bersama dengan diri gue. Akan lebih indah ceritanya apabila dia bisa sukses bersama dengan orang yang pernah menolong dia. Dan lagian, ini masih berdasarkan kemampuan gue kok. Artinya, ini masih bisa gue kendalikan.

Mbing: Apa kemudian keputusan lo?

Gue: Gue cuekin dia sepenuhnya. Dengan terpaksa, gue cuekin dia - jadikan dia dan Tango sebagai dua orang yang gue cuekin - selain mantan ayah kandung.

Gue (lagi): Tapi, gue bingung Mbing. Kenapa gue cuekin mereka? Masa, cuma gara-gara gue kesal terhadap timbal balik yang enggak pantas dari diri mereka ke gua?

Mbing: Karena itu, gue tahu jawabannya.

Gue: Apa itu?

Mbing: Lo menghargai keputusan mereka dengan mengacuhkan mereka. Lebih baik mereka diacuhkan daripada dicelakakan. Karena, lo bukan tipe orang yang suka mencelakai orang lain, kan? Terus, lebih baik mereka diacuhkan daripada mereka diperhatikan. Karena, ketika mereka diperhatikan, mereka malahan enggak mau mengapresiasikan kebaikan lo.

Gue: Mengapa mereka enggak mau mengapresiasikan kebaikan gue? Padahal ini bermanfaat buat diri mereka, lho.

Mbing: KARENA ITULAH KEPUTUSAN MEREKA. LEBIH DETAIL LAGI, KARENA MEREKA PUNYA MASALAH PRIBADI SENDIRI. DAN SELANJUTNYA, MARI KITA SERAHKAN URUSAN INI KEPADA MEREKA. BIARKAN MEREKA BERKONTEMPLASI SENDIRI - ITUPUN KALAU MEREKA MAU MENGONTEMPLASIKAN HAL TERSEBUT.

....

Sang Rembulan kemudian berkata, "Jalanan yang macet udah gue istirahatin jadi lowong lagi. Suami istri bisa tidur nyenyak dengan kegiatan percintaan mereka - melupakan perdebatan apakah masing-masing dari diri mereka pernah selingkuh apa tidak. Dan sekarang, lo istirahat - berdua sama Mbing. Karena besok lo harus jadi supir pagi2 nganterin Mbing ke kampus. Soal masalah malam lainnya kayak hura-hura di diskotik, malam pelacuran, dan sebagainya itu - biar gue aja yang ngurusin. Sejatinya, ini merupakan urusan gue - yang enggak selesai-selesai - yang sebenarnya bisa selesai sepenuhnya atas dasar keinginan manusia itu sendiri. Tapi sayang, manusia enggak sepenuhnya bisa menyadari hal tersebut.".

Mari kita tutup malam ini dengan mengucapkan hamdalah seraya berkata, "Ya Allah, terima kasih atas kontemplasinya hari ini. Berikan hamba segenap kekuatan untuk mengatasi hari esok dengan istirahat malam dengan tenang di malam ini. Aamiin YRA,".

Malam itu Teman Berkata: Lakukan, Karena Ardi adalah Kebaikan

Ada malam lain yang memaksa gue kembali berkontemplasi.

Sekalipun fakta mengungkap bahwa yang terjadi justru malah sebaliknya: diri gue memaksakan diri buat berkontemplasi. Di tengah lembutnya kemurkaan Sang Rembulan dan Awan Malam yang tiada henti-hentinya menenangkan manusia yang memandangnya untuk istirahat malam.

Mengapa malam menjadi waktu yang cocok untuk berkontemplasi sekaligus untuk beristirahat?

Gue kira, hanya Allah Swt yang mengetahui jawaban ini.
Kita sebagai manusia hanya bisa menyimpulkan bahwa malam memang menjadi waktu yang ajaib untuk melakukan beberapa hal seperti:
1. Tidur malam menyiapkan tenaga untuk hari esok
2. Ibadah malam, berkontemplasi Atas Nama Yang Ilahi
3. Menenggelamkan jiwa raga ke dalam percintaan - sebuah hal yang wajib dilakukan oleh tiap pasangan yang dianugrahi Oleh-Nya dalam konteks mawadah atas dasar warahmah
4. Berdiskusi dengan teman yang kebetulan juga ikut begadang. Sekalipun Bang Rhoma melarang hal yang satu ini, tapi kalaupun terlanjut terjadi ya sudahlah
5. Stargazing - Sykscraper - gazing... Menatap keindahan budaya manusia dan (hanya sebagian) Karya Yang Ilahi dalam selimut Langit Biru Tua itu... Tanpa lupa memuji Nama-Nya.
Boleh juga, lho:
6. Olahraga... Tanding sepak bola pada waktu dini hari, mungkin? Bisa juga balapan FIA GT untuk meyemarakan suatu endurance racing event, mungkin?
Bahkan! Sampai-sampai kita bisa melakukan...:
7. Berbuat kriminal seperti maling dan memperkosa manusia (?).

Iya. Pantas saja Sang Rembulan dan kawan-kawannya murka. Tetapi, kemurkaan mereka semua - yang disertai dengan kelembutan - tetap saja tidak mempengaruhi manusia untuk bisa mereduksi kegiatan-kegiatan malamnya hingga tetap pada nomor pertama.
Nomor pertama? Tidur malam menyiapkan tenaga untuk hari esok.

Termasuk diri gue.
Kebetulan gue masuk ke dalam nomer empat.
Sekali lagi - gue memaksakan diri gue berkontemplasi dengan seorang teman yang bernama Imam. Tepatnya di bawah naungan Indung Semar Desa Nunuk, kemudian...
Imam gue ajak berbincang bersama di rumah, sembari menunggu Bacang datang ke rumah.

Gue: Imam, gue mau nanya sebuah hal.

Imam: Cerita aja.

Gue: Oke.

Imam: Ya, jangan sekedar nanya langsung. Ceritain dulu kenapa lo mau nanyain itu ke gua, gituloh.

Gue: Iya. Jadi gini, ketika gue kemaren berduka di RS Mitra Plumbon, Cirebon... Gue curhat bersama dengan Nendi. Nendi enggak suka dengan sebuah hal dari diri gue...

Imam: Hem.. Jadi, alasannya kenapa dulu?

Gue: Ya.. Gue sedih bahwa ada sebuah hal yang orang lain itu enggak suka sama diri gue...

Gue (lagi): Gini, Mam. Dia bilang ke gue bahwa diri gue itu terlalu baik. Dia bahkan capek banget nonton gue disuruh-suruh sama temen melulu. Dia juga bilang bahwa belum tentu semua orang yang gue tolongin itu bakalan bisa membalas hal yang sama dengan pertolongan yang pernah gue kasih ke diri mereka...

Imam: Oke...

Gue: Jadi, apa yang mesti gue lakukan? Apakah gue mesti serta-merta melakukan saran Nendi? Apakah gue mesti berhenti menolong orang?

Imam: Sebelumnya, gue boleh nanya satu hal enggak... Kenapa lo pengen nolong orang lain?

Gue: Orang yang gue tolong adalah orang yang gue cintai. Atau, orang yang gue tolong adalah orang yang gue kasihani. Mereka gue kasihani karena mereka benar-benar kekurangan sumber daya yang mereka butuhkan. Sedangkan, gue memiliki kelebihan dari sumber daya yang benar-benar mereka butuhkan itu. Gue enggak tahan melihat ketimpangan tersebut! Apalagi dalam konteks ilmu pengetahuan!

Imam: Oke, cukup. Kenapa lo gak bilang ini ke Nendi?

Gue: Udah. Tapi, Nendi tetap kekeh, makanya gue bingung.

Imam: Gini, Di. Nendi tetap kekeh karena dia terlalu sensitif sama lo. Dia kepikiran sama keadaan lo. Dan dia berusaha memposisikan dirinya dengan diri lo. Tapi...

Gue: Apa?

Imam: Orang bisa aja bersimpati, berempati. Tapi, orang lain enggak pernah bisa memposisikan dirinya dengan orang lainnya karena... Dia sendiri bukanlah orang lain. Dia adalah dirinya sendiri. Dia berhak buat mengatur hidupnya sendiri. Celakanya, dia enggak bisa serta-merta mengatur hidup orang lain, karena sebenarnya bukan haknya dia. Hak sepenuhnya, lho.

Gue: Iya...

Imam: Iya, Nendi dalam konteks ini gagal memposisikan dirinya dengan diri lo. Dia cuma bisa mentok ampe taraf empati. Ya, dia cuma kasihan sama diri lo.

Gue: Lho, gue jadi gak bisa mikir apa bedanya. Beda empati sama memposisikan diri orang lain itu gimana, Mam?

Imam: Empati itu cuma merasa, tapi tetep dari kacamata diri sendiri, bukan diri orang lain. Simpati itu empati yang paling dangkal. Memposisikan diri itu...

Gue: merasakan dan mengetahui betul kenapa orang lain itu berbuat yang demikian?

Imam: Tepat! Makanya kan, Nendi enggak paham sama argumen lo mengenai dasar lo berbuat kebaikan. Entah buat bayar utang lah. Entah buat anti ketimpangan lah. Dia selalu membalas dengan rasa kasihan ke diri lo. Dia khawatir kalau diri lo kelelahan pada akhirnya, Di.

Gue: Oke...

Imam: Tapi, lo mesti nyadar satu hal... Kasihan dan kelelahan itu ada di dalam diri Nendi, berasal dari diri Nendi juga. Enggak dari lo!

Bener juga. Menyeramkan, mendengar kata-kata kawan yang satu ini.

Gue: Oke... Jadi, lakukan apa yang mesti gue lakukan, ya? Ikuti hati nurani gua?

Imam: Ya. Karena hati nurani lo selalu menyuruh lo melakukan kebaikan. Ya, itupun berasal dari Yang Ilahi juga, jadi jangan menuhankan hati nurani Daripada-Nya.

Gue: Itu artinya gue Mempersekutukan-Nya dong, Mam.

Kami berdua tertawa keras memecahkan keheningan malam. Sang Rembulan sepertinya setengah kecewa dan setengah terharu melihat tingkah laku kami berdua.

Imam: Ya. Karena, diri lo sebenarnya bisa digambarkan dalam sebuah kata - kebaikan. Selanjut-lanjutnya, ya yang berada di bawah naungan kebaikan itu sendiri, kayak keadilan, kebersamaan, kebahagiaan, kelebihan sumber daya.

Gue: Lo terlalu memuji diri gue, Mam.

Imam: Ya. Tapi itu fakta.

Diri gue terperanjak.

Gue: Kok lo bisa serta-merta ngomong begitu?

Imam: Lihat teman-teman lo. Berbagai simpati empati muncul ke lo yang baik-baik. Salah satunya tadi Nendi. Rasa khawatir dan kasihan itu baik. Terus, Bayu dan lain-lainnya yang sering minta tolong ke lo. Mereka hormat ke lo. Hormat itu baik. Lihat Tango.

Gue terperanjak, lagi-lagi!

Gue: Ada apa dengan si Tango??

Imam: Ini cuma interpretasi gue aja ya, Di. Ada kemungkinan si Tango akan mengacuhkan diri lo setelah kejadian naas. Tapi, mengacuhkan di sini dapat diartikan segan. Segan itu baik. Segan itu model sarkastik dari hormat.

Gue: Oke. Tango segan sama gue.

Imam: Ingat kata-kata terakhirnya dia pas lagi debat kemaren sama lo, Di. Katanya, 'Di, gue belum bisa setulus lo.'. Sekalipun dia bohong, dia cuma bohong dalam konteks memuji lo. Dia jujur, dia jujur mengakui ketulusan lo. Dia jujur - dia terlalu malas untuk tulus seperti diri lo. Karena, dia enggak punya simpati terhadap diri lo yang tulus. Padahal, kata tulus kan berada di bawah naungan kebaikan. Ya?

Gue: Oke, cukup. Gue udah tahu simpulannya. Jantungan gue, dengernya.

Sekali lagi, kami berdua tertawa menyaksikan komentar terakhir gue tadi dengan seksama.

Mari... Kita sudahi kontemplasi malam ini.
Karena, kontemplasi malam ini telah menunjukan sebuah simpulan mengenai kaca diri gue: nama Muhammad Ardi. Muhammad Ardi adalah nama dalam diri gue. Dan dia itu artinya "Manusia Terpuji di Bumi". Sedangkan, terpuji juga merupakan kawan baik dari kebaikan. Terima kasih Ya Allah Swt, Engkau telah memberikan nama yang bagus ini. Terima kasih Mama, aku udah dikasih nama yang bagus sekali :D

Rabu, 06 November 2013

Malam Itu Teman Berkata: Lo Terlalu Baik, Di

Kita adalah makhluk manusia.
Kita selalu mengarungi waktu yang telah Ia berikan baik2 kepada kita.
Apabila siang kita diharuskan bekerja, maka malam kita diharuskan untuk beristirahat.

Dan diri gue... Melanggar normativitas tersebut.
Apa yang gue lakukan malam ini? Tepatnya di RS Mitra Plumbon, Cirebon. Ketika gue dihadapi dengan kejadian naas. Apa?
Mencari ilmu di tengah malam? Egad, dan gue masih mengharapkan hal itu di tengah kejadian naas.
Gue masih haus akan inspirasi. Gue sedang mencari source of inspiration that I admire of.
Gue termenung sembari istighfar.

Sang rembulan mengomentari perilaku bodoh gue. Ia berkata dengan lembut namun tegas di atas langit sana, "Hai Ardi. Seperti yang udah gue bilang ke lo: kapan lo istirahat? Hari sudah malam. Gue udah berusaha menidurkan mahluk2 sejenis lo. Eksistensi kesadaran lo hanya akan mempersulit hidup gue. Hidup lo juga bakal sulit apabila lo kurang istirahat malam, lho. Oh, tunggu sebentar. Lo istighfar? Oh, karena ingin mendekatkan diri Kepada Yang Ilahi, atau berdoa mengharapkan ilmu-Nya datang percuma - hanya buat diri lo yang berada di tengah kegalauan ini? Ya Allah, aku bersaksi atas Nama-Mu, makhluk manusia memanglah makhluk yang rumit! Salah satunya yang bernama... Ardi Pritadi ini...!".

Gue kaget mendengar kata2 metaforis yang melayang menjadi sinistik a la Rembulan Malam tersebut!
Apa yang gue lakukan malam ini? Pikir gue, kemudian gue kembali lagi termenung. Kali ini dengan rasa yang shock.
Iya. Masih ada hari esok. Berharap dan berdoalah agar gue esok pagi bisa menuntut Ilmu Dari Yang Ilahi. Malam ini gue mesti istirahat. Kasihan sang Rembulan Malam hari ini - dia begitu kerepotan ngurusin bocah enggak jelas dari Bintaro ini.

Suara seorang pria tiba-tiba memecahkan heningnya malam ini. Kali ini suara seseorang tersebut yang mengagetkan gue buat kedua kalinya. Pria itu bernama Nendi. Dia enggak lain dan enggak bukan merupakan teman seperjuangan gue di kala meneliti di Desa Nunuk sekaligus teman yang baik buat menjaga Zae di RS ini.

Nendi: Ardi.

Gue: (kaget).

Nendi: Gitu doang kaget.

Gue: Sorry. Gue lagi kontemplasi, nih.

Nendi: Hidup lo berat bener. Gimana, jadi enggak bantuin gue bikin catetan lapangan?

Gue: Biasa. Ya, jadi, dong. Kapan lagi, Bu YTW kan besok datang.

Gue membantu teman itu sebisa mungkin. Dengan segenap pemikiran yang bisa gue ceploskan buatnya, gue ajukan tips2 singkat membuat catatan lapangan yang tentu saja hingga saat ini menjadi kesulitan utama sang antropolog maupun sang etnografer pada umumnya.

Gue: Gimana. Ngerti, kan? Pokoknya, di catetan ini lo mesti punya ingatan fotografer. Ingatan film, atau apapunlah itu. Di lapangan nanti, lo mesti permainkan empiris lo. Mutlak, wajib banget.

Nendi: Oke2... Susah juga ya.

Gue: Sebenernya enggak susah. Bukannya di tingkat tiga kita sering turlap buat bikin makalah UAS, ya?

Nendi: Emang iya, ya? Gue kira pas tingkat tiga kita cuma pelajarin teorinya aja.

Gue: Iya, buat bikin makalah kan mesti pake catatan lapangan.

Nendi: Gue gak pernah tuh bikin catatan lapangan yang proper pas bikin makalah.

GUBRAK! May Allah forgives you, my portly comrade :D

Tibalah sesi curhat ini dimulai. Kira2, ilmu apa yang gue dapatkan selain mengajari orang akan membuat catatan lapangan?
Malam ini menjadi drama yang membuat jantung gue berdetak lebih cepat. Siap2: kritik sinistik akan muncul juga. Buat malam ini, selain Sang Rembulan Malam, ternyata pria yang satu ini siap mengritik gue secara sinistik.

Nendi: Di, kenapa lo baik banget?

Gue: Mulai deh, lo nanya yang gak jelas. Buat temen seperjuangan sendiri kenapa mesti pelit sih?

Nendi: Iya... Lo nyadar gak? Kalo lo gini terus, gue gak yakin temen2 lo gak memanusiakan diri lo. Lo cuma dijadiin maskot akademis. Ketika temen2 gak punya kesulitan akademis, lo gak dibutuhin. Kerasa enggak?

Gue: Kadang gue merasa begitu. Tapi, apa gunanya mikirin itu. Toh, gue sudah dan selalu berusaha yang terbaik buat mereka.

Nendi: Dan mereka belum tentu berusaha yang bahkan sama baiknya kayak lo, Di.

Diri gue termenung mendengar kata2nya dia. Sadis. Tetapi, benar juga.

Gue: Ya... Kalo gue mikir gitu, artinya gue makhluk yang pamrihan dong. Gue bukan tipe orang yang suka minta orang lain ngebales kebaikan gue sih. Gue gak minta agar mereka ngebalas sebaik apa yang gue selama ini kasih ke mereka...

Nendi: Entar, Di.. Entar... Nah, enggak bagusnya di sini. Kita, manusia - tetap memerlukan balasan kebaikan agar hidup terasa aman dan nyaman. Ini sama aja kayak, lo mau nginep di hotel. Lo udah bayar mahal2, tapi kok hospitality nya gak ada. Pelayannya cuek. Bell boy nya gak mau ngangkatin barang2 lo. Gimana tuh, Di? Sayang kan, lo udah bayar mahal2 gitu.

Gue: Ya... Karena kita gak sendiri dan butuh bantuan orang lain, mutlak?

Nendi: Iya. Dan menurut gue, orang lain yang nerima kebaikan lo harus banget baik ke lo juga. Dengan cara yang lo suka. Lo inginkan. Tapi kan susah. Makanya, saran gue, mulai sekarang lo jangan terlalu baik ke orang deh.

Gue diam.

Nendi: Atau kita bikin gampang aja deh. Kenapa lo baik banget ke gua? Lo bantuin gue bikin catetan lapangan, malem2 gini pula. Kan lo bisa aja gak usah bantuin, langsung aja tidur malem? Atau enggak usah gitu - lo minta Bacang nemenin gue hari ini. Biar lo bisa istirahat malam di rumah Mas Warkim?

Gue: Eh... Karena gue mau bayar utang ke elo...

Nendi: (mengerut tanda bingung)... Utang apaan, Di?

Gue: Utang kebaikan. Lo hari ini udah baik2 banget nganterin gue naik motor, di jalur Pantura lagi. Lo juga bayarin bensin motor. Lo juga berusaha menenangkan Zae. Lo...

Nendi: ENGGAK SEMUA ORANG MEMIKIRKAN UTANG BERNAMA KEBAIKAN. Termasuk teman2 lo yang sering banget minta bantuan akademik ke lo.

Gue: ...

Nendi: Gini, apa yang lo dapetin abis lo ngasih bantuan akademik ke mereka?

Gue: Doa.

Nendi: Cliche. Semua orang yang kafir sekalipun juga bisa doa. Dan belum tentu doa mereka - temen2 lo yang nungging2 minta tolong itu - di-ijabah. Ada enggak yang konkret? Misalnya, lo dikasih contekan UAS sama mereka. Atau tugas lo dikerjain sama mereka? Atau gini, ada temen yang bisa kerja gara2 lo bantuin mereka. Lo dikasih link buat kerja juga, ga?

Gue: Enggak...

Nendi: Ya. Mereka enggak memikirkan utang. Bagi mereka, bantuan akademik lo itu merupakan hibah, bukan utang. Mereka gak perlu bales

Gue: Nendi...

Nendi: Jangan manggil nama gue. Gue minta lo mikir dan ngerasain sendiri, pake hati nurani sendiri, lah. Coba bayangin, coba jadikan itu kepercayaan - apakah benar apa yang lo lakuin ke mereka selama ini? Berguna buat mereka, ya iya. Tapi berguna juga enggak buat lo?

Gue diam seribu bahasa. Gue terpaku dengan kata2 sinistik yang isinya gue terima - benar juga. Apakah yang gue lakuin selama ini emang benar?

Gue kemudian menyempatkan dua mata ini memandang langit biru tua itu. Di sana tersaji pemandangan malam yang begitu indah... Yaitu, pemandangannya Sang Rembulan Malam yang diselimuti oleh kawanan awan - berjalan dengan syahdunya.

Gue bertanya kepada mereka.

Kawanan awan menjawab, "Sungguh pertanyaan filosofis yang mengganggu tidur. Hai anak Adam - mengapa engkau tidak kunjung2 tidur?".
Gue kaget.
Sang Rembulan bertanya, "Ada keributan apa ini? Lo tahu, hai awan - bahwa saat ini gue masih perlu menunaikan tugas mengheningkan malam agar makhluk2-Nya bisa tidur dengan lelap? Sebentar lagi Sang Surya Matahari akan datang. Gue harus bisa menunaikan tugas gue - sebagai pertanda diri gue bersyukur Kepada Yang Ilahi.".
Salah satu awan menjawab, "Lihatlah anak Adam itu! Dia masih berkontemplasi tanpa tidur malam terlebih dahulu! Bukankah ini memberatkan tugas lo, duhai Rembulan?".

Sang Rembulan murka sembari menumpahkan kasih sayangnya. Ia hari ini begitu tajam namun lembut khususnya ke diri gue.
Katanya, "Hai, Anak Adam yang bernama Ardi Pritadi. Lo sudah lelah, nak. Tidur, nak, TIDUR! Carilah ilmu di kemudian hari! Tugasmu buat yang saat ini ialah... Tidur, istirahat malam yang cukup. Sudah cukup hari ini buat berkontemplasi, mengerti maksud gue?".

Gue enggak menjawab pertanyaan sinis-metaforistik tadi. Enggak berani, soalnya. Gue langsung aja ke kamar tempat Zae istirahat. Di sana, gue melihat ada gulungan tikar yang telah disiapkan oleh kedua orang tuanya Zae. Kata sang Ibu, "Nak, kamu belum istirahat? Ayo nak, istirahat. Tidur aja. Enggak apa2 kok.".

"Punten, bu. Saya istirahat dulu ya bu. Terima kasih buat kebaikan ibu.". Setelah itu pandangan mata langsung gelap mencekam. Itu menjadi pertanda bahwa diri gue sudah sangat lelah menghadapi tusukan2 kontemplasi yang menghunus jiwa raga - pikiran dan perasaan... Nurani...!

Senin, 04 November 2013

Malam Suka dan Malam Duka: Padahal Malam adalah Hal yang Sunyi

Di RS itu, diri gue termenung. Menunggu kepastian belaka. Menanti kehidupan yang lebih baik. Menanti apa sih ilmu pengetahuan yang bisa gue serap dalam lingkupan andragogis ini.

Lingkupan andragogis ini ternyata berada di rumah sakit. Rumah sakit inipun juga bukanlah tempat yang familiar buat diri gue. Kenapa bisa begini? Hati gue terus-menerus bertanya hal itu.

Waktu sudah menunjukan pukul 21.13 WIB. Semua orang normal pasti sedang bersiap-siap untuk beristirahat alias tidur malam. Gue yakin, ada berbagai macam varian yang ada dalam persiapan tersebut.
Mungkin ada anak lelaki yang tidak bisa tidur karena ia menganggap bahwa waktu itu telalu kesorean. Akhirnya, orang tuanya menegur ia untuk segera tidur. "Kalau enggak, digigit nyamuk.". Katanya seperti itu.
Mungkin ada dua bersaudara yang memiliki kamar tidur yang sama belum tidur juga. Mereka berdua masih melamun. Melamuni langit-langit kamarnya yang kecil tetapi megah itu. Sampai akhirnya keheningan dipecahkan ketika si adik berkata, "Kak, curhat yuk.". Kemudian, sang kakak berkata, "Yaelah Dek, mau curhat apa? Udah malam. Tapi, enggak apa2 juga sih. Ayo, mau cerita apa?". Apapun topik yang mereka ceritakan, hal itu udah berada di luar urusan imajinasi gue yang begitu minim.
Mungkin ada sepasang suami istri yang menutup pintu kamarnya rapat2. Istri berkata, "Anak2 udah pada tidur kan?". Suami menjawabnya dengan komunikasi verbal. Kemudian, suami berkata, "Ayo, kita mulai saja.". Istrinya tersenyum lebar mendengar tawaran menggiurkan tersebut dan pada akhirnya... Pasangan tersebut... Lenyap di dalam kegairahan, lenyap di dalam kegiatan intim - yang tidak boleh orang lain ketahui - bahkan orang lain itu adalah darah dagingnya sendiri! ... Keheningan malam menjaga kegiatan percintaan mereka. Bina cinta, semakin cinta, mereka semakin mengerti satu sama lain, bukan?

Ketiga cerita malam tadi adalah contoh yang terbayangkan lewat benak saya. Ketiga cerita malam itu memiliki benang merah yang sama: kebahagiaan memeluk kehangatan akan Malam-Nya Yang Indah.
Bagaimana kemudian apabila gue imajinasikan mengenai malam yang enggak diharapkan sama sekali?
Mungkin ada seorang kuli bangunan yang kerja malam. Malam yang seharusnya hening akhirnya harus dipecahkan oleh suara-suara pertukangan bangunan seperti mengecat, melapisi semen, mematuk-matuk atap, dan apapunlah itu yang gue sendiri enggak ngerti sama istilah per-kuli-an. Sang kuli mengeluh dan berkontemplasi. Katanya di dalam hati, "Huh... Kerja kok malam, dini hari begini... Tapi, kalau saya enggak kerja... Saya bisa kasih makan anak sama istri apaan? Bukannya saya udah berikrar kepada kaum2 elit bahwa... Saya rela jadi kacung. Saya rela diperbudaki jasmaninya. Asalkan, kebutuhan primer saya terpenuhi.".
Mungkin, ada seorang supir travel yang bertugas menjadi supir di malam hari. Malam yang tenang seharusnya akhirnya harus terusik sedikit akibat kendaraan yang ia bunyikan. Sang supir mengeluh dan berkontemplasi. Tetapi, demi bertahan hidup, ia mengakhiri pengeluhan dan kontemplasi tersebut dengan kembali lagi menjadi supir malam. Kembali lagi mengarungi jalanan yang gelap dan sebenarnya mengganggu pandangan mata tersebut.
Mungkin, ada seorang wanita cantik yang... Sayangnya ia menjadi kupu-kupu malam. Awalnya, ia ingin kerja di Jakarta jauh2 dari kampungnya karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi dengan baik. Akhirnya, ia memilih jalan menjadi 'idola seksual' bagi kaum 'pria pemburu'. Ia kemudian menutup kamar yang dipesan oleh sang pria. Sang pria mengunci kamar dan berkata dengan dinginnya, "Hari ini saya kerja, dan capek banget! Kamu harus bisa melayani saya dengan maksimal, ya!". Bagaikan kupu-kupu yang terperangkap di sarang buatan makhluk-makhluk jahat - ia malu, ia tertegun, Ia berkontemplasi, "Saya harus melayaninya dengan cinta... Tidak, saya akan melayaninya dengan teknik2 yang saya kuasai... Ia saat ini mengeluh akibat kelelahan dalam bekerja, bukan? Ya, saya tahu teknik apa yang cocok! Saya tidak perlu cinta, saya hanya memerlukan teknik... Karena, pramu syahwat seperti diri saya tidak memerlukan cinta untuk kliennya.. Agar saya bisa hidup di kemudian hari.". Bagaikan sang kupu-kupu yang melewati tiga perangkap besar - ketiga perangkap itu bernama: rasa malu, kontemplasi, dan penyesalan tiada gunanya. Pramu syahwat itu kembali lagi melanjutkan pekerjaannya.

Termasuk diri gue buat saat ini.
Apa yang gue lakukan di malam ini? Menunggu kepastian apa? Menanti ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan itu datangnya di pagi hari! Apalagi buat mahasiswa seperti gue ini! Ardi, kenapa lo tetep kekeh mencari pengetahuan di malam ini? Malam merupakan waktu bagi lo biar bisa mengistirahatkan badan.
Tapi, dalam keadaan yang seperti ini.
Malam yang seharusnya hening itu mesti gue ganggu atas dasar nafsu amara mencari ilmu. Yang baru aja gue sadari: ketika gue marah, ketika gue enggak puas, gue ternyata dengan implisit juga merangsang stimulus atas kepenasaran gue terhadap suatu ilmu apapun. Ilmu apapun! Apalagi yang menyangkut ilmu tentang inspirasi kehidupan. Agar gue bisa mengantisipasi keanehan dari kebingungan ini. Agar gue gak mengalami disorientasi kehidupan.
Gue butuh inspirasi...
Gue khawatir kalau malam ini akan berakhir dengan kejadian yang mirip dengan ketiga malam duka itu: kuli bangunan, supir travel, dan pramu syahwat. Tidak, gue adalah mahasiswa. Kenapa hidup gue di malam ini harus berakhir dengan kejadian yang mirip seperti itu? Apabila mereka bekerja di tengah kegalauan, maka gue melamun di tengah malam. Lamunan gue memecahkan sunyi senyapnya Malam Yang Indah. Gue sendirilah yang mengganggu Keindahan-Nya. Dan gue menyesal. :"(
Tapi, dari manakah inspirasi itu muncul?

Gue tetep menunggu... Di tengah2 jiwa raga ini diselimuti oleh kabut duka atas kegalauan di RS... Sembari melihat langit-langit yang kebetulan tidak memiliki atap... Maka, gue langsung saja melihat langit yang berwarna biru tua menjelang hitam itu... Ia seakan berkata kepada diri gue, "Mengapa masih sadar? Melamun pula? Ayo, tidur. Istirahatlah yang cukup. Gue lagi sibuk menenangkan jiwa-jiwa yang sedang bercengkrama akan mimpi indahnya, nih. Jangan ganggu urusan gue.".

Langit itu murka terhadap diri gue, tetapi ia tetap sayang terhadap diri gue. Ia kembali bekerja. Ia kembali sunyi.

Teman Berkata: Ayo, Beranikan Diri Lo

Assalamualaikum Wr. Wb.
Apa kabar pembaca? Enggak bosen2 gue ngomong begini ke kalian: sukses selalu dan selalu berada di dalam Lindungan-Nya, Aamiin. Dan tentu saja dengan hal yang sama aja seperti yang sebelum-sebelumnya: sampaikan doa dan salam hangat tadi kepada yang belum bisa membaca, enggak mau membaca, bahkan yang membenci blog gue ini :D.

Sama seperti tulisan-tulisan gue yang sebelumnya, kali ini gue bakalan membahas apa sih gunanya teman. Iya, teman adalah lembaga. Teman bukan sekedar teman - itulah pandangan gue semasa gue hidup ini. Karena, sekalipun usia gue masih muda - tapi gue juga punya cukup banyak pengalaman mengenai pertemanan. Sehingga, gue berani menyimpulkan hal itu. Karena, pengalaman itu memang terasa hidup dan mengafeksi kehidupan gue.

Buat tulisan yang saat ini dan yang akan ke depan-depannya kemungkinan besar gue akan ngomongin hal itu. Hal itu melulu. Jadi, gak usah takut buat ngomong 4L alias Lo Lagi Lo Lagi. Iya, gue bakalan terus-terusan ngomongin apa sih gunanya teman buat hidup gue. Dan mungkin juga buat hidup lo, apabila memang pengalaman kita dirasakan mirip. Kalau pun enggak, ya gue mohon maaf ya, itu gue rasa di luar tanggung jawab gue. Silahkan lo berkontemplasi sendiri, kalau sama gue mah itu bebas2 aja :D.

Apa gunanya teman? Ia bisa mengubah lo dari yang tadinya penakut alias pengecut menjadi pemberani.

Sekali lagi, hal ini gue pelajari ketika gue masih berjuang di Desa Nunuk. Sekali lagi, Allah Swt Maha Sayang terutama kepada diri gue yang lemah dan enggak berdaya ini. Allah memberikan gue akan pelajaran andragogis mengenai gunanya teman.

Ketika gue mendapatkan kabar bahwa Zae dirawat di RS Mitra Plumbon, Cirebon, gue langsung kaget mendengar kabar naas itu. Sampai akhirnya Pepep meminta gue dan Nendi untuk ikut bergilir jaga malam, akhirnya kami mengiyakan permintaan itu. Sebuah permintaan yang gue sendiri enggak tahu apa implikasinya buat kehidupan gue baik di jangka pendek maupun jangka panjang.

Nendi datang ke rumah tempat gue menginap sementara. Nendi berkata, "Ayo, Di. Cek dulu. Ada yang ketinggalan apa enggak?". Setelah semuanya dicek, kami berdua terlebih dahulu mampir ke rumah Ubed dan Aria. Kebetulan di rumah yang ada cuma si Ubed. Ubed bertanya, "Prof mau berangkat sama Nendi, nih? Awas lo Nen, Prof itu aset negara. Kalau ada apa2, wah bisa bahaya...". Nendi menjawab, "Iya, gue tahu...".

Siapa yang mereka maksud dengan profesor? Bukan maksudnya sombong, julukan itu merujuk kepada diri gue. Sejauh yang gue tangkep, gue mendapat julukan itu karena teman2 tahu bahwa gue suatu saat ingin bercita2 menjadi profesor, Kedua, saat ini mereka sangat membutuhkan kehadiran akan bantuan gue ketika mereka dihadapi oleh suatu kesulitan akademis.

Ubed pun bergegas untuk melaksanakan Sholat Ashar. Katanya, "Prof, saya sholat dulu ya. Prof jangan lupa sholat. Kalau Nendi mah enggak masalah mau sholat apa enggak (tertawa)". Nendi pun menjawabnya dengan lelucon yang enggak kalah lucunya juga - tapi gue lupa lelucon apa yang ia keluarin. Pokoknya lucu, deh.

Di sinilah terjadi perbincangan antara gue dan Nendi tepat di kamar tidurnya Ubed dan Aria.

Gue: Nen, gue takut.

Nendi: Takut kenapa?

Gue: Kita bakalan naik motor ya? Ke jalur pantura lagi? Huf, pasti bakalan capek banget.

Nendi: Yaelah, kok gitu aja takut. Eh tapi, lo enggak biasa naik motor ya? Ya, susah juga sih. Lonya sendiri yang mesti sabar..

Gue: Hehe, why thank you, bro. Iya, jalan jauh mah gue biasa. Tapi pake mobil. Kalau pake motor gue cuma tahan buat jalan dekat aja.

Nendi: Hmm... Gini sih, biar lonya enggak takut.. Maksud gue sabar itu, lo jangan pikirin apa2. Lo ada kepikiran apa2 engga?

Gue: Ngerasain dan kepikiran sih, sama kecelakaannya Zae. Gue kira, emang sih gue ngerasa takut menghadapi perjalanan nanti. Karena ini di luar zona nyaman gue. Karena ini gak biasa gue lakuin. Tapi, gue juga mesti mikir akan satu hal, yaitu demi Zae. Demi teman seperjuangan. Demi teman yang saat ini lagi diselimuti kabut tebal berupa duka, gue mau menerobos kabut tersebut dan mengantarkan cahaya matahari berupa hiburan dari teman seperjuangannya. Menurut lo, gimana Nen? Apa gue salah?

Nendi: Ya... Gimana...

Gue: Apa jangan-jangan lo gak ngerti sama apa2 yang gue sampaikan tadi?

Nendi: Ya, gue ngerti. Jangan lo anggep diri gue dodol gitu dong! Gue ngerti, tapi gue bingung nih mau balesnya kayak gimana...

Gue: Sama satu lagi. Besok kan Bu Yunita datang. Gue sekalian nginep, sekalian bantuin lo ngerjain field notes. Kan dari pada lo gak punya kerjaan apa2. Bu Yunita itu berbahaya lho. Sebenernya, alternatif orang lain selain gue kan Bacang. Bukan maksudnya apa2, gue khawatir Bacang gak bisa bantuin lo apa2 soal bikin field notes.

Nendi: Bacang mah beneran dodol, Di.

Kami berdua tertawa terbahak-bahak di rumah itu.

Gue: Ya... Gitu deh...

Nendi: Ya, intinya gini, Di. Beranikan diri lo. Yang penting lo berani dulu. Caranya gimana? Jangan pikirin apa2 dulu. Yang penting kerjain aja.

Gue: Oke...

Kami berdua akhirnya jalan dengam motornya Mas Tatang. Di tengah perjalanan kami membeli bensin terlebih dahulu. Sembari bertanya kepada tukang bensin mengenai keberadaan RS itu, akhirnya kami berangkat kembali.

Sesampainya di parkiran RS, kaki gue gemetaran enggak ada habis2nya.

Nendi: Kenapa kaki lo?

Gue: Gemeteran.... Gue enggak biasa jalan sejauh itu pake motor, apalagi lewat jalur pantura..!

Nendi: Iya... Semangat Di. Anggep aja itu kado buat lo hadapi ketakutan itu. Lo bisa jadi pemberani kok.

Gemetaran tersebut serta merta hilang. Nilai keberanian mulai tumbuh besar di sanubari. Setelah itu, kami berdua naik ke atas untuk bertemu dengan Botak dan Pepep dan tentu saja menemani Zae. Apa kabar Zae? Kami semua - teman seperjuanganmu yang pemberani - ingin mengantarkan cahaya suka cita buat lo yang selama ini berani menghadapi kabut tebal duka dalam serangkaian kejadian naas ini. Beranilah, Zae! Karena, teman2 lo ini juga menjadi pemberani! :D

Gunanya Teman: Sarang Kontemplasi

Assalaualaikum Wr. Wb.

Hai pembaca, apa kabar semua? Semoga sehat selalu, lancar dalam aktivitas, dan tercapai dengan baik cita2 dan impian. Aamiin. Sampaikan salam ini buat yang enggak membaca ini ya :D bilangin ke mereka juga biar senantiasa sukses :).

Kali ini, gue mau cerita tentang gunanya teman.
Iya, masing-masing di antara kita pasti bakalan memiliki perbedaan pandangan dalam memandang teman. Betul? Betul sekali.

Mungkin ada di antara kita yang menganggap bahwa teman itu lebih berharga daripada orang tua. Kenapa? Karena orang tua belum tentu mengerti kita. Kalau kita curhat ke orang tua, belum tentu beliau mau menanggapi sesuai dengan yang kita inginkan. Misalnya, malah dibales marah2. Ya, enggak satupun dari kita yang berharap 'ingin dimarahi' dalam artian literal, bukan?

Mungkin ada di antara kita yang menganggap bahwa teman itu adalah teman yang 'sekedar teman'. 'Sekedar teman' ini memberikan kesan bahwa subjek yang bersangkutan bukanlah orang yang penting di dalam hidup kita. Wajar aja sih kalau kita sesekali berpikir seperti itu, karena kita toh memiliki pengalaman yang berbeda.
Menganggap teman sebagai harta benda hidup yang sangat berharga adalah sia2 karena si teman itu belum tentu menganggap kita sebagai harta benda hidupnya. Apakah betul? Gue pribadi gak peduli. Apakah itu opini maupun fakta ya jatuhnya bakalan sama aja. Opini dan fakta itu juga bentukan dari campur tangan kita2 sebagai manusia - yang bisa disebut dengan diskursus. Jadi, kalau ada kesepakatan, kalau ada ketidaksetujuan, anggap aja bahwa hal itu wajar.
Manusia berbeda, manusia itu berwarna-warni. Gak ada definisi tunggal yang bisa mendefinisikan keunikannya.
Termasuk mendefinisikan apa sih artinya teman itu. Teman sesama manusia lho, bukan teman beda spesies.

Dan buat gue: gunanya teman dalam hidup - salah satunya adalah sebagai wadah atau penerima sekaligus penampung pemikiran. Sebagai sarang kontemplasi. Anggap kita bakalan punya burung peliharaan yang bakalan dikurung di sarang agar ia gak ke mana2. Iya, burung itu dapat dianalogikan sebagai pemikiran kita. Sedang, sarangnya yang indah dan membuat si burung berasa aman dan nyaman adalah teman2 sebagai pewadah aspirasi pemikiran kita.

Hal itu terjadi ketika gue lagi sibuk2nya ngerjain makalah UAS Antropologi Terapan (Anter). Gue kebingungan banget mencari subjek apa yang pantes buat ditanyakan masalah pembangunan Apartemen Margonda. Awalnya, gue kira gue bisa mewawancarai penduduk sekitar Margo, betul? Salah. Susah banget kalau itu dilakukan - apalagi deadline tugas sudah ditetapkan dua minggu lagi. Kalau itu dilakukan, maka gue harus bina hubungan (rapport relationship) dahulu terhadap warga sekitar Margo. Sedangkan, ya gue juga berhak ngomong yang kayak gini dong: gue juga memiliki berbagai kegiatan turun lapangan lain untuk mata kuliah lain. Sekalinya bukan dalam turun lapangan, gue perlu belajar buat menghadapi soal uraian alias esai. Ribet deh, ya hidup calon antropolog atau etnografer itu - ya kayak begini.

Akhirnya, gue mencoba menenggelamkan diri terlebih dahulu ke dalam kontemplasi. Gue mencoba melihat metodologi yang ada di Anter pada akhirnya. Ternyata, ada sebuah jenis subjek yang bisa ditarik dan itu sangat relevan dengan jangkauan gue: informan kunci (key informants). Informan kunci artinya siapapun yang diasumsikan oleh si peneliti tahu akan keadaan sosial budaya di lokasi penelitian.

Ada dua orang mahasiswa yang lagi ngekos di situ, yang gue tahu. Yang gue kira (dan bener juga) bisa jadi subjek dari informan kunci. Dua orang itu emang merupakan sahabat gue semasa kuliah - dan tentunya jadi sahabat juga buat ke depan2nya. Dua orang itu bernama Darsya dan Abang Giri.

Sore setelah kuliah, Imam mengajak Darsya, Abang Giri, dan gue buat makan di kantin Fasilkom. Gue setuju2 aja tanpa kepikiran suatu apapun. Sampai akhirnya gue keinget sama tugas Anter, akhirnya gue minta izin ke mereka berdua. Kata Abang Giri, "Haha, ya enggak masalah, Di.". Bahkan, Imam malahan berkata, "Wah, gue ikutan dong jadi informan kunci, ahahah!".

Tempat duduk yang kami duduki itu semula menjadi tempat yang lezat karena makanannya yang murah meriah. Begitu juga dengan minumannya yang mampu dengan kompeten melepas dahaga kita. Selanjutnya, tempat duduk itu menjadi panas dan hangat akibat perbincangan kami yang begitu berat mengenai pembangunan Apartemen Margonda. Akhirnya, gue mendapatkan simpulan dari wawancara mereka bahwa pembangunan tersebut belum tentu direstui oleh warga sekitar. Pembanguann itu hanya direstui oleh the capitalist dan masyarakat berkelas atas (higher end-brow societies).

Gue pikir dan gue rasa, hal itu sih wajar2 aja. Karena, negara kita menganut paham neoliberalisme pasar, yang tentu saja ini ditentukan oleh petinggi2 negara alias pejabat. Emang sih, secara normatif kita menganut Pancasila yang sebenarnya berhaluan demokrasi kerakyatan. Tapi, kenyataan yang ada ialah kita menganut neolib itu. Sungguh sebuah kaca lanjutan dari bias barat yang disebut 'procrastinating domocratization a la Indonesia' - yang pernah disebut oleh Andreas Ufen - yang tentu aja bikin sakit hati para nasionalis - termasuk gua! But, we have to admit it, yea? :(

Guess what? Sejak kapan pula kantin Fasilkom itu menjadi gudang ilmu andragogik buat diri gue dan teman2 yang menjadi informan kunci itu. Sehingga, menuntut ilmu bukan cuma dari pedagogik alias dari perkuliahan aja, tapi juga di luar sana. Inilah yang disebut ilmu dewasa sejati.

Dan salah satu lembaga informal yang mampu mewadahi ilmu dewasa sejati ialah... Lembaga 'Teman sebagai Sarang Kontemplasi'... Gue berani mengatakan yang demikian karena dia memiliki struktur dan sistem sosial sendiri, yang beda daripada berbagai jenis lembaga informal lainnya... (ya, emang lembaga cuma terbatas di 'Lembaga Pendidikan' , 'Lembaga Kesehatan', dan sebagainya. Kalaupun toh itu bisa memenuhi kebutuhan tertentu, ya namanya ya lembaga, dong.).

:D