Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Selasa, 12 November 2013

Malam itu Teman Berkata: Tentukan Sendiri, Lo Udah Dewasa, Di

Kali ini, gue mau ceritakan sebuah hal yang berbeda lagi dengan yang sebelum-sebelumnya.

Memang, ada benang merah antara tiga cerita ini. Benang merah yang muncul ialah pendapat teman mengenai diri gue. Gue butuh mereka berpendapat agar diri ini semakin baik. Demi kebaikan diri sendiri dan demi kebaikan orang-orang yang membutuhkan gue, Atas Nama Yang Ilahi.

Selama gue masih hidup. Selama jantung gue masih berdetak. Selama gue masih diizinkan menghisap dan menghembuskan nafas. Selama ruh gue masih bersambung dengan tubuh. Selagi pikiran dan jiwa gue masih dianggap normal.

Gue akan masih terus menunggu dan menampung kritik yang terus bertubi-tubi menusuk diri ini.

Kalau bukan buat kebaikan bersama, kenapa enggak?

Ada sebuah malam lagi yang gue paksakan ia untuk menemani gue biar berkontemplasi kembali bersama kawan.
Dan semoga saja Sang Rembulan tetap murka di samping ia mengingatkan diri gue dengan lembut.

"Jangan malam-malam. Kamu besok mesti nyupir." - katanya mungkin seperti itu.

Suatu siang, gue datang ke kampus awalnya untuk berdiskusi dengan salah seorang teman saya. Teman saya itu bernama Mbing. Seorang teman yang sangat baik ke diri ini. Dia selalu menenangkan diri gue ketika diri gue ini lagi dilanda kegalauan. Sangat jelas - saya berani menilai ia sebagai orang yang enggak tahan terhadap teman seperjuangan sendiri yang teralienasi atas dasar apapun.
Atas dasar apapun, dasar tersebut tetaplah menghasilkan sesuatu yang tidak baik. Dan hal itu harus dihindarkan sebisa mungkin. Kalaupun terjadi, hal itu harus dicarikan solusinya dan dipraktikan sesegera mungkin.

Teman itu datang ke kampus agak siang. Dia menyuruh saya untuk menunggunya di penjara. Maksudnya, penjara itu tempat fotokopi yang ada di FISIP UI karena bentuknya mirip penjara. Tepat pukul 12.00 WIB, pria tersebut datang dan menyahut, "Udah lama nungguin? Sorry ya, Di!".

Kemudian, tanpa berbasa-basi gue langsung mengajak dia untuk belajar di rumah gue. Menginap dalam waktu sehari. Gue pikir dan gue rasa, Mbing merupakan teman pertama di waktu kuliah yang bermalam di rumah gue,

Berjalan dengan santai, kami berdua tiba di rumah pada pukul 13.15 WIB. Kami disambut dengan hangat oleh keluarga besar gue. Keponakan gue malu-malu melihat ada Om Mbing yang baru saja pertama kali datang ke rumah gue. Kemudian, kami berdua diajak makan siang bareng keluarga.

Sembari makan siang, Mbing diajak ngobrol sama nyokap. Nyokap banyak bertanya-tanya kepada Mbing. Mulai dari hal yang penting seperti waktu kuliah hingga hal yang enggak penting seperti udah pernah punya pacar apa belum. Tapi gue pribadi sama sekali enggak malu. Nyokap berhak buat bertanya tentang apapun tentang teman gue. Dan begitu juga dengan kebalikannya. Soal konsensus mengenai pertanyaan dan jawaban yang dirasa sensitif, ya itu merupakan urusan kedua belah pihak. Bukan gue yang mengurusnya. Bukan gue yang mengaturnya. Itu hak mereka semua sepenuhnya. Bukan hak gue.

Sore telah tiba. Mbing masih sibuk mengerjakan transkrip yang disuruh sama Kak Hestu. Setelah ia selesai, ia minta istirahat dulu. Ia gue izinkan untuk bersetubuh dengan kasur yang biasa gue setubuhi. Enggak apa-apa, teman laki ini. Kalau teman perempuan, itu ceritanya beda 180 derajat.

Malam telah tiba. Sang Rembulan gue perhatikan mulai bekerja dengan giat. Ia terus menatap kami semua yang masih berkegiatan. Ia merasa bahwa tugasnya selesai dalam mengurus masyarakat terisolir (remote communities) seperti Etnis Tengger di Pegunungan Semeru. Kemudian, ia merasa bahwa tugasnya baru separuh selesai dalam mengurus masyarakat pedesaan seperti Desa Nunuk di Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu - yang tidak lain dan tidak bukan merupakan desa kedua yang pernah gue  temui setelah Desa Cigombong di Diklat Pesantren al-Azhar.

Dan, ia mulai mengeluh ketika diminta mengistirahatkan perkotaan, manusia, dan kebudayaannya.
Mereka masih saja sibuk. Ada yang kerja lembur. Ada yang masih mengatasi kemacetan. Ada yang masih bekerja di tengah jalan membangun proyek tertentu. Ada kuli yang masih melek matanya. Ada pramu syahwat yang baru saja bekerja. Ada berbagai orang yang baru saja memulai kegiatannya berfoya-foya di diskotik atau bar tertentu. Ada pula suami yang baru pulang dari kerja kantornya dan dicium oleh istrinya... Dan istrinya bertanya, "Bau apaan ini? Kok wangi bener - kayak bau cewek. Kamu enggak selingkuh, kan?". Enggak sih, yang terakhir ini cuma bayangan yang muncul secara random dari benak gue yang begitu minim fantasinya.
Tapi, begitulah sekelumit budaya perkotaan pada umumnya di malam hari. Dan semakin ke sini bukannya kita semakin menyadari, bahwa - kata 'budaya' itu bisa diganti menjadi 'masalah'. Jadi, apa bedanya budaya perkotaan dengan masalah perkotaan? Siapa suruh tinggal di kota kalau kota merupakan sumber daya masalah. Memang, kota mempunyai sumber daya yang enggak ada di desa maupun daerah terisolir. Misalnya, kemewahan. Tetapi, dalam konteks yang ada di saat ini, kota malahan juga mempunyai segala macam sumber daya masalah yang bikin sakit kepala manusia-manusianya, seperti: kemacetan, perselingkuhan, tipu muslihat, kriminalitas, gosip - kabar burung - fitnah, korupsi, dan sebagainya! Orang-orang yang hidup di situ pasti sadar akan hal ini.
Tetapi, mereka enggak mau tahu. Mereka terus berpikir bahwa sumber daya terbaik hanya bisa didapatkan di kota. Maka, pantas saja angka kepadatan di Jakarta dan sekitarnya tiap tahun semakin naik apalagi setelah musim lebaran baru saja habis. Sebelum lebaran, kemacetan berkurang drastis. Setelah lebaran, kemacetan bertambah parah - lebih parah malahan ketimbang yang pernah dialami seperti yang sebelum-sebelumnya. :"(

Teman yang menumpang sementara di rumah gue buat hari ini mengerut dan bertanya, "Kenapa Di. Ngelamun sambil nengokin bulan?".
Saya jawab, "Eh, Mbing.".
Kemudian gue langsung aja menceritakan apa yang tadi muncul di benak gue. Dia langsung berkata dengan tanggap, "Lo sangat suka berkontemplasi ya. Jangan pelit-pelit dong! Maksudnya, kan ada orang lain nih (nunjuk ke diri sendirinya) - ajak-ajak gue buat ikutan kontemplasi kenapa? Kayaknya lo lagi banyak pikiran dan pemikiran nih. Mungkin-mungkin aja gue bisa bantuin menyederhanakan?".
"Terima kasih, hai kawan." Gue menjawabnya dan melanjutkan, "Ceritanya baru aja gue mulai, nih.".

Gue: Jadi, Nendi berkata ke gue kalau diri gue terlalu baik. Sedang, Imam berkata bahwa diri gue tetap harus baik. Apa yang mesti gue lakukan, at this rate?

Mbing: Tentukan sendiri, lo udah dewasa, Di. Apa mendingan gue ceritain pengalaman gue aja?

Gue: Boleh. Soalnya gue bingung.

Mbing: Oke, jangan bingung. Soalnya, abis lo bingung - lo terus galau. Jadi gini. Gue malah bersyukur ketika gue masih bisa berbuat baik sama orang lain. Kenapa? Artinya gue masih berguna buat orang lain dong. Ya enggak?

Gue: Ooh.

Mbing: Dan ketika lo menjawab bahwa... Lo baik karena gue pengen diri lo berbahagia bersama orang lain, lo udah bagus. Sebenernya, tinggal gimana lo mempertahankan argumentasi lo yang tadi.

Gue: Oke...

Mbing: Tapi, lo masih harus ingat sama batasan.

Mbing (lagi): Ketika lo terus melakukan kebaikan, lo mesti sadar sama batasan tertentu. Gini, Nendi kasihan sama lo karena dia takut ketika orang lain yang pernah lo tolongin enggak bisa membalas kebaikan lo. Atas dasar apapun. Entah gara-gara sibuk, atau malah malas!

Diri gue terperanjak!

Gue: Malas? Lho, gue selama ini udah rajin-rajinnya nolongin dia. Kok dia bisa serta-merta males nolongin gua??

Mbing: Karena dia punya masalah sendiri. Ada pengalaman yang membentuknya jadi enggan buat membalas kebaikan orang lain, tapi tetap harus menerima kebaikan orang lain.

Gue: Karena?

Mbing: Iya. Itu gue gak bisa jelasin secara detail. Pokoknya gitulah. Karena, ujung-ujungnya itu masalah pribadi orang tersebut.

Gue: Oke...

Mbing: Dan mendingan kita fokus dulu ke masalah diri sendiri. Ke masalah pribadi lo dulu, mengenai 'apakah gue pantas berbuat baik ke orang lain apa kagak, sih'. Ya, kan?

Gue: Tepat.

Mbing: Gue lanjutin.. Tadi sampai di mana? Ingat batasan! Ingat ketika ada orang lain yang malas buat membalas kebaikan lo. Coba, gue tanya. Apa yang mesti lo lakukan?

Gue: Hm.. Gue cerita deh.

Mbing: Cerita!

Gue: Contoh aja.. Yang patut gue sesali itu Rakhmat. Khusus ke diri gue dengan Rakhmat aja. Dia selama ini gue tolong. Terutama buat MPE. Tapi, ada kejadian ketika dia ngomong 'Di, kayaknya gue mau mengundurkan diri.'. Terus gue tanya 'kenapa' - dia gak mau jawab. GUE KAGET. GUE MENYESAL.

Mbing: Kenapa lo menyesal?

Gue: Karena, selama ini gue menolong dia karena gue pengen diri dia sukses bersama dengan diri gue. Akan lebih indah ceritanya apabila dia bisa sukses bersama dengan orang yang pernah menolong dia. Dan lagian, ini masih berdasarkan kemampuan gue kok. Artinya, ini masih bisa gue kendalikan.

Mbing: Apa kemudian keputusan lo?

Gue: Gue cuekin dia sepenuhnya. Dengan terpaksa, gue cuekin dia - jadikan dia dan Tango sebagai dua orang yang gue cuekin - selain mantan ayah kandung.

Gue (lagi): Tapi, gue bingung Mbing. Kenapa gue cuekin mereka? Masa, cuma gara-gara gue kesal terhadap timbal balik yang enggak pantas dari diri mereka ke gua?

Mbing: Karena itu, gue tahu jawabannya.

Gue: Apa itu?

Mbing: Lo menghargai keputusan mereka dengan mengacuhkan mereka. Lebih baik mereka diacuhkan daripada dicelakakan. Karena, lo bukan tipe orang yang suka mencelakai orang lain, kan? Terus, lebih baik mereka diacuhkan daripada mereka diperhatikan. Karena, ketika mereka diperhatikan, mereka malahan enggak mau mengapresiasikan kebaikan lo.

Gue: Mengapa mereka enggak mau mengapresiasikan kebaikan gue? Padahal ini bermanfaat buat diri mereka, lho.

Mbing: KARENA ITULAH KEPUTUSAN MEREKA. LEBIH DETAIL LAGI, KARENA MEREKA PUNYA MASALAH PRIBADI SENDIRI. DAN SELANJUTNYA, MARI KITA SERAHKAN URUSAN INI KEPADA MEREKA. BIARKAN MEREKA BERKONTEMPLASI SENDIRI - ITUPUN KALAU MEREKA MAU MENGONTEMPLASIKAN HAL TERSEBUT.

....

Sang Rembulan kemudian berkata, "Jalanan yang macet udah gue istirahatin jadi lowong lagi. Suami istri bisa tidur nyenyak dengan kegiatan percintaan mereka - melupakan perdebatan apakah masing-masing dari diri mereka pernah selingkuh apa tidak. Dan sekarang, lo istirahat - berdua sama Mbing. Karena besok lo harus jadi supir pagi2 nganterin Mbing ke kampus. Soal masalah malam lainnya kayak hura-hura di diskotik, malam pelacuran, dan sebagainya itu - biar gue aja yang ngurusin. Sejatinya, ini merupakan urusan gue - yang enggak selesai-selesai - yang sebenarnya bisa selesai sepenuhnya atas dasar keinginan manusia itu sendiri. Tapi sayang, manusia enggak sepenuhnya bisa menyadari hal tersebut.".

Mari kita tutup malam ini dengan mengucapkan hamdalah seraya berkata, "Ya Allah, terima kasih atas kontemplasinya hari ini. Berikan hamba segenap kekuatan untuk mengatasi hari esok dengan istirahat malam dengan tenang di malam ini. Aamiin YRA,".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar