Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Senin, 28 November 2011

Pancasila Dream! (Kapan ya??)

Suatu hari pas kuliah, gue lagi berdiskusi di kelas bersama seorang teman yang (cukup) aneh alias lucu. Namanya Bayu. Dia orang yang cerdas, tapi lucunya terkadang ia sering mengeluarkan kata2 yang membuat orang2 terkocok perutnya lewat pendekatan ilmiahnya (hm?) , termasuk gue (hm?). Nah, langsung aja deh ceritanya kita mulai... (Tokoh : Dosen, Gue, Bayu)

Dosen : Ya, tolong diperhatikan pertanyaannya nih. Ya, apa yang menyebabkan bangsa heterogen seperti Indonesia lebih banyak mengalami stagnansi ketimbang bangsa2 yang homogen seperti Jepang?

Dosen : Kita juga perlu memerhatikan bahwa Jepang yang homogen juga maju, dari zaman Restorasi Meiji dia udah lepas landas loh (teori ekonomi-nya take off). Nah, kenapa tuh?

Bayu : Di, menurut loe apa..?

Gue : ..... (lagi mikir keras..)

Bayu : Di, menurut loe apa..?

Gue : ..... (lagi mikir keras..)

Bayu : Di, menurut loe apa..?

Gue : ..... (lagi mikir keras..)


** Gila gak bakalan berhenti ampe tahun depan nih kalo gue asal main copas copas mulu! **

(dialog tambahan: tokohnya gue sama Orang Imajiner)

Orang Imajiner : Pak Ardi, mohon jangan copas. Karena itu telah melanggar akademis!

Gue : Iya, plagiarisme kan?

Orang Imajiner : Ya kalo udah tahu gitu kenapa tetep dilakuin, Pak?

Gue : ....

** Sudahlah! **

Lanjut ke yang tadi ya??

Gue : BUSET DAH BERISIK LOE BAY!

Bayu : ....!!

Dosen : Mohon yang di sudut sana jangan berisik, paham maksud saya?

Gue dan Bayu : .....

Dosen : Lanjut, silahkan saudara sekalian berpikir sejenak dahulu lalu ajukan jawabannya ke saya apabila sudah ketemu...

Bayu : Di, loe nyadar gak, kalo Amerika kan heterogen juga, malah dia menganut multiras.

Bayu (lagi) : Kalo main itung2an, parahan Amerika malahan yang udah mainin multi ras, padahal Indonesia aja baru multi etnis

Gue : Bay, gue gak ngerti main itung2an, otak gue lemah di matematik.

Bayu : YEE BUKAN ITUU!

Dosen : Mohon tenang...!

Gue dan Bayu : ....

Gue : Haha, canda aja. Ya, gak bisa itung2an lah Bay. Indonesia sama Amerika sama aja parahnya kok, mereka kan juga sama2 pemangku pluralisme (berbeda2 tetapi saling mengkotak2an atau memisahkan diri).

Bayu : Nah, terus... Yang gue bingungin cara menyatukannya itu loh..

Gue : Iya. Pake jargonlah (baca: istilah iklan atau slogan yang dapat meyakinkan ke orang awam sekalipun). Misalnya, Indonesia bersatu karena Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda2 tepi tetap satu. Itu sebenernya merujuk kepada antitesis pluralisme, yaitu multikulturalisme.

Bayu : Oww... Nah, kalo Amerika itu...

Gue : Wah, Amerika gue gak tahu...

Bayu : Namanya kalo gak salah "The American Dream".

Gue : Ooh... Baru tahu gue..

Gue (lagi) : Dari namanya keren tuh!

Bayu : Ya namanya juga jargon, siapa sih yang berani ngomong kalo itu gak keren!?

Gue : Iya, artinya kita harus evaluasi diri nih. Bhinneka Tunggal Ika gagal menjadi jargon. Maaf2 aja, kalo itu berhasil, kenapa harus ada gerakan2 koleri di Papua, GAM, ketidaknyamanan Dayak Kalimantan, state dan ekspatriat yang selalu mementingkan self maupun vested interest, dan sebagainya....

Bayu : Yoi, Di.

Gue : Nah, kita harus niru Amerika nih!

Bayu : Apa tuh, kayak gimana tuh Di?

Gue : Mari kita bikin, THE PANCASILA DREAM!

Bayu : ????

Gue : Eeh, kok bingung sih?? Inget, di situ termaktub lima sila yang digunakan sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Semua orang Indonesia yang punya tumpah darah di Indonesia, baik dalam kandungan maupun menjelang ajal sekalipun, harus bisa menjalankan kelima sila tersebut!

Bayu : Iya, tapi kok konyol amat namanya itu plagiat The American Dream banget!

Gue : ....

Bayu : Gimana, Di?

Gue : Iya sih Bay. Gue bingung, pusing gue.

Bayu : Haha bung Ardi nyerah nih...

Bayu (lagi) : Btw, mau jawab gak, pertanyaannya?

Gue : *baru nyadar* Oh iya, ada pertanyaan ya?

Bayu : Apa sih pertanyaannya?

Gue : ....

Bayu : ... Di?

Gue : Lupa gue.

Bayu : YAAH!

Dosen : Tenang... Tenang...

Gue dan Bayu : .....

Dosen : Sekali lagi, mengapa bangsa heterogen seperti kita cukup sulit untuk melakukan suatu progress dalam pembangunan maupun peradaban dibandingkan dengan mereka semua yang homogen?

Bayu : Tuh, Di. Jawabannya apa?

Gue : Mana gue tahu!

Bayu : Lah, terus dari tadi kita omongin apaan?

Gue : Tau deh! To sum up, from The American Dream to Pancasila Dream dah!

Bayu : Yaelaah OOT (Out of Topic) bangeet!

GUBRAAK!

Opini gue

1. Iya, jujur, gue jawab The Pancasila Dream sebagai proyeksi kekeselan atas apa2 yang terjadi pada Indonesia. Iya, susah banget kalo mau nyatuin Indonesia, nyatuin kita semua yang heterogen ini. Gue sendiri orang Sunda Sumedang, gue punya Teman Minang Chaniago, Batak Hutabarat, Pesisir Cirebon, Wong Kota Palembang, dst dst dst... Tapi, apa sih social cohesion sejati buat kita? Apakah Indonesia hanya sebagai batas imajiner yang dibentuk dari penjajahan?

2. Buat ngejawab pertanyaan dosen yang gue post tadi sih, gue jadi pengen jawab. Kenapa baru jawab sekarang? Karena pikiran gue masih waras, pas di kelas tadi pikiran gue rada spaneng *lho kok ngaku* .

--> Bangsa heterogen, menurut Koentjaraningrat emang sulit untuk direkatkan karena memiliki orientasi budaya yang berbeda2 satu sama lain. Self Esteem dari Carok dan Taretan a la Madura, orientasi masa lalu yang indah a la priyayi Jawa, orientasi melting pot (dinamika kebudayaan yang di dalamnya terdapat pluralisme) di super kultur metropolitan seperti di Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, Medan, dan sebagainya (mohon maaf!). Tentu aja, bingung mau nyatuinnya gimana. Pancasila dan substansinya, dari konsensus The Founding Fathers... Masih banyak diperdebatin soal asal mulanya... Begitu pula dengan Bhinneka Tunggal Ika

--> Bangsa heterogen di Amerika kok bisa menyatu? Gak cuma The American Dream. Menurut hemat gue, angka buta huruf dan kualitas pendidikan serta kesejahteraan sosial lainnya juga menjadi variabel yang turut berkontribusi dalam hal ini. Ya, gue cuma ngira2 aja, gak pake statistik dan GPL (gak pake lama *lho*). Tentu, kalo ditanya tinggian angka buta huruf mana, di Indonesia atau Amerika, ya tentu aja negara tercinta yang mesti kita jawab, walaupun sangat sakit hati dan mesti kita terima. Amerika, sangat menjunjung aspek kesejahteraan sosial seperti penekanan angka buta huruf, kualitas pendidikan, dan jaminan kesehatan. Di Indonesia? Iya, banyak orang2 yang gak mampu karena gak beruntung (mohon maaf!) sehingga jangankan buat pendidikan, cari sesuap nasi aja masih susahnya minta ampun! Sehingga, karena lapar, orang2 Indonesia bermental pragmatis (instan), kriminalitas meningkat, dan protes2 berbentuk gerakan sosial terjadi di mana2, eh ditanggepin dengan koersif dan dengan pasang tampang bernada bingung belaka!

--> Dan apabila pendapat gue dilakuin : samain dengan Amerika, artinya kita masih di bawah pengaruh dari negara2 dunia pertama. Kalo kata Immanuel Wallerstein dan Etzioni Halevy yang katanya lulusan dari Eropa, negara dunia ketiga yang mana merupakan bekas penjajahan dan masih dalam tahap perkembangan dari segi ekonominya (ya negara kita, sekali lagi, sakit hati!) harus bisa meniru apa2 yang telah dilakuin oleh negara dunia pertama yang merupakan negara bekas penjajah dan sudah dalam tahap konsumsi massa (the high mass of consumption.. Kalo gak salah, CMIIW). Kalo kita meniru ilmu mereka, artinya kita sama aja copas, seperti parodi imajiner yang tadi gue sajikan! Bahkan, peradaban sekalipun tetap bernuansa Eropa Sentris hingga sekarang. Bangga sekali bisa berbahasa inggris (termasuk gue, yoi, gue mesti evaluasi diri) tetapi ketika memakai bahasa nasional justru ada komentar implisit bahwa itu sama sekali gak keren, bangga ketika kita berhasil membaca habis karya ilmiah orang Asing asal Eropa dan Amerika, padahal mereka meneliti kebudayaan bangsa kita, aneh!

--> So, ini bukan merupakan kesimpulan yang bagus! Perlu dialektika! Siapa tahu yang komentarin di bawah ini jauh lebih bagus dalam berpendapat!

--> Kalo ada yang mau menanggapi, silahkan di komen! :D

Jumat, 25 November 2011

Pengantar Ilmu Perpeloncoan (Sebuah Fakta Sosial dari Sudut Pandang Konflik Disfungsional)

Assalamu'alaikum Wr. Wb!

Hai teman2 pembaca, apa kabar semuanya? Mudah2an kalian semua baik2 ya :)

Akhirnya, setelah sekian lama gue gak menulis lagi, gue diizinin Oleh-Nya untuk kembali menulis. Maklum aja, tugas kuliah yang cukup resek bikin gue pusing dan jadinya gak sempet juga buat ngutarain pendapat lewat piranti yang luar biasa ini : blog.

Dan gue bersyukur banget karena Ia memperbolehkan gue buat nulis2 lagi, ngutarain pendapat2 gue, baik yang lucu2, maupun yang kontroversial, seperti yang saat ini bakal gue tulis

Kontroversial?


Mengundang makna yang cenderung ambigu dan bahkan mudah untuk difalsifikasikan?


Mungkin.


Gue setuju banget dengan jawaban itu.


Tapi, gue juga manusia, izinkanlah gue berpendapat mengenai perpeloncoan dalam sudut pandang konflik disfungsional. Konflik disfungsional ini sendiri artinya perspektif ilmu sosial dan politik yang melihat kepada suatu fenomena dengan menjelaskan apa2 saja yang masih perlu dibenahi dan melihat pula apa saja latar belakang dari fenomena tersebut.

Kalau teman2 pusing melihat definisi di atas, gue gak bakal segan2 buat ngejelasinnya lebih singkat dan jelas. Mudah2an dapat dimengerti, kalo enggak ya udah, gue kira setiap orang berhak buat gak ngerti akan sesuatu. (catatan: kalo gak ngerti beneran atau mau sanggahan silahkan komen ya di bawah, gak ada salahnya kok)

Jadi, melihat sesuatu dari sisi2 yang jeleknya dan melihat apa sih sumber masalahnya??


Ada dua jenis sumber masalah, yaitu:

1. Malfungsional. Yaitu, ketika fungsi dari suatu hal mengalami penyalahgunaan. Misalnya, senior yang seharusnya memberikan teladan buat juniornya malah memeloncokan mereka. Pada konteks ini, kita dapat menjelaskannya mengenai perihal2 yang dianggap menjadi perusak status dan peranan senior tersebut. Kenapa penting? Kasihan, masa depan senior dan junior perlu dipertimbangin, gue pikir dan gue rasa. Karena, mereka adalah generasi penerus bangsa. Andaikan kita menninggal, gue meninggal, siapa yang dapat menggantikan kita, ya kecuali anak cucu?

2. Disfungsional. Yaitu, ketika fungsi dari suatu hal mengalami kepunahan. Misalnya, senior yang seharusnya memberikan teladan buat juniornya malah tidak melakukan suatu hal apapun terkait teladan2 tersebut. Nah, apa bedanya dengan butir yang pertama? Sebenarnya, gue mengklasifikasikan kedua hal ini gak secara baku (walaupun harapannya dapat dipisah secara dikotomis). Tetapi, silahkan dikritik melalui komen agar dapat dibangunkan proses dialektika ini. Bedanya, si senior ini dianggap tidak melakukan peranannya sebagai pemberi teladan


Jadi, bisa aja pada butir pertama, malfungsi adalah penyalahgunaan otoritas. Sedangkan disfungsi adalah tidak adanya atau tidak jelasnya kedudukan - baik status maupun peranan - dari ... Gue gak (cuma) bakalan nyebut senior... Siapapun yang mempermainkan fungsi tersebut, sekaligus mungkin juga GUE!!

....


Apa sih artinya fungsi tersebut, yang telah tadi gue sampaikan?


Menurut Durkheim, fungsi adalah tujuan. Sedangkan, menurut Radcliffe-Brown, fungsi adalah manfaat. Gue kira, kedua pendapat tersebut dapat dipakai dalam konteks ini.


Sedangkan, keseluruhan dari pemikiran gue, kalo gue boleh ngungkapin secara jujur, merupakan percabangan dari Karl Marx.

Banyak yang ngomong kalo dia adalah tokoh yang menyeramkan. Tidak percaya kepada Tuhan, baik agnotis maupun atheis. Tapi, di satu sisi dia sangat membela kaum buruh inti (proletar). Tapi, di satu sisi dia sangat mengecam kaum pemilik modal (borjuis).

Gue gak bisa ngucapin kalo mereka yang menganggap Marx adalah orang yang seperti itu adalah salah besar. Enggak. Lagian juga, ini udah masuk ke dalam ranah ilmu sosial. Yang mana ilmu tersebut mempunyai rumus satu tambah satu tidak sama dengan dua. Lalu, tidak mempunyai objek, karena manusia dianggap sebagai subjek. Iya loh. Antropologi menganggap manusia sebagai subjek. Sosiologi juga menganggap manusia adalah subjek, sedangkan yang menjadi objek adalah fakta sosial, sui generis, realitas sosial, masyarakat, dan sebagianya. Hukum? Napi sekalipun menjadi subjek, karena objek adalah truisme (UU, UUD, Norma, Custom, dst --> Ya, aturan maksudnya).


Latar belakang kenapa gue pake sudut pandang ini dalam menjelaskan perpeloncoan adalah... Karena, ya, cenderung subjektif. GUE BENCI DENGAN PERPELONCOAN.


Gak cuma gue.

Yakin.

Banyak teman2 pasti yang benci juga kan?

Dan masih inget dalam kepala gue..

Teman 1 : Di, senior gue melecehkan gue dalam strata sosial! Mentang2 dia punya hape bagus, dia jelek2in hape gue

--> Oke, bisa aja gue bales "tenang masbro, yang diejek kan hape elo, bukan DIRI ELO SENDIRI KAN YANG DIEJEK?" . Tapi, masuk akal gak sih? Masuk akal. Masuk perasaan gak? Enggak!!

Teman 2 : Gue gak suka berada dalam keadaan tertekan. Haha, padahal gue mantan anak berandalan, aneh...

--> Oke, bisa aja kan gue bales "Santai gan. Kan mantan anak geng nih, kalo ada yang berani menekan elo, elo bisa kan ajak ribut dia? Kalo perlu, bunuh aja! BUNUH.". Masuk akal gak? Masuk akal. Bisa dilakuin gak? Bisa. Konsekuensinya? Banyak, mendekati haram malahan! Kalo beneran dibunuh, bakal masuk jinayah (pidana Islam), hukum pidana, hukum adat, dan sebagainya, kan repot banget!

Teman 3 : Di, gawat! Gue disogok sama senior! Padahal, buat ongkos naik kereta aja udah pas2an... Gue pulang naik apa ya...??

--> Oke, bisa aja kan gue bales "Tenang aja, gue talangin buat sementara waktu ongkosnya". Sialan, masa cuma gara2 dipalak, gue mesti nalangin dia sih? Enggak, bukan maksudnya pengen nunjukkin ke elo2 semua bahwa gue berpola pikir 'forced tolerance', tetapi....... Gue kan juga gak bisa seenak jidat dimanfaatin seenaknya... Baik sama senior maupun sama teman... Ituloh, perpeloncoan yang menjamur dapat menyebabkan polemik2 yang bermakna ambigu!


Dan sebagainya... Nanti, selengkapnya gue bakal ceritain yang lainnya. Tentu aja, yang tadi itu cuma intermezzo aja. Jadi, buat pembaca sabar ya.

Kenapa subjektif?

Mirip dengan Marx, ia juga mempunyai keinginan meneliti alienasi pada kelas2 sosial karena ada kaum proletar yang mati karena kelaparan akibat kegiatan2 yang terlalu intensif. Bukan intensif lagi malahan, justru TIDAK MANUSIAWI.

Alienasi... Yaitu bagaimana objek material yang dibuat oleh kaum borjuis berkat jasa proletar dapat membodohi borjuis itu sendiri. Seakan2 benda hasil produksinya itu menyuruh dia untuk "Ayo donk, bikin gue lagi, lebih bagus lagi! Kalo udah bagus, PENTINGIN JUMLAHNYA, BIKIN LEBIH BANYAK. KAN ELO PUNYA ANAK2 BUAH (PROLETAR), YA MANFAATIN AJA MEREKA". Akibatnya, kegiatan produksi makin intensif dan semakin tidak manusiawi, dan tentu core of labor (proletar, kaum buruh) akan shock melakukannya.

Walaupun sudah memakai wawancara mendalam, hasil tetap akan subjektif karena masih belum mewakilan semuanya. Belum lagi, tidak semua hasil wawancara tersebut berlaku absolut benarnya. Inilah yang bikin Marx kerepotan.

Sedangkan, gue ngerasa bahwa nasib gue mirip dengan dia.

Ketika gue pengen banget nerjemahin kata perpeloncoan ke dalam alienasi, maka tentu saja hal ini terus dapat difalsifikasikan.

Gue pikir, alienasi yang dimaksud adalah... Mengapa junior mau aja dibodohin sama senior? Mengapa senior mau aja membodohi generasi penerus mereka? Dan kalaupun perpeloncoan berhenti, maka apa yang terjadi? Pasti ada pro kontra. Pro karena perpeloncoan bukanlah praktik yang baik dalam pendidikan, disangka tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang termaktub dalam UUD (misalnya). Sedang, kontra karena.... Masa angkatan mereka kena peloncoan sedangkan angkatan2 abis mereka kagak kena..? Perlu keadilan sosial ya?


Kedua, gue masih menganggap ini subjektif karena ini merupakan pengalaman gue dan teman2 gue yang tentu aja masih belum diteliti secara baik, dalam artian diklarifikasikan secara ilmiah. Ya, tentu aja, gue bener2 ngarepin banget kalo perpeloncoan itu gak ada.

Bahkan, Lady Gaga aja bikin gerakan sosial anti perpeloncoan. Gue bukan merupakan fansnya dia. Gue juga tidak kenal siapa dia sebenarnya (lho?), ya, tetapi gue salut sekali dengan keberanian dia.


Perpeloncoan menjadi fakta sosial, kenapa?


Menurut Durkheim, fakta sosial sendiri mempunyai ciri2 sebagai berikut, dan akan gue mix dengan perpeloncoan, yaitu:

1. Merupakan fenomena kolektif, bukan fenomena individual. Artinya, bukan cuma berpaut dengan seseorang belaka. Tapi, mesti ada minimal hubungan dua orang (dyadic relationship). Perpeloncoan merupakan sistem tindakan asosiatif yang melibatkan minimal dua orang dan merugikan salah satu pihak atau/dan pihak lainnya

2. Memaksa secara koersif, bahkan secara individual. Pada perpeloncoan, tentu kita dapat melihat bahwa junior mesti takluk saat menjalani ospek, seakan2 senior adalah Tuhan mereka. Junior harus membawa bekal berjargon aneh seperti belimbing bintang enam, snack nyenders, susu Kikan, kue puncak, dan sebagainya yang cukup bikin gue muak dan sakit kepala!

3. Ditransmisikan dan dishared. Ditransmisikan ialah diwariskan turun temurun, alias antar generasi. Sedangkan dishared atau dibagi2kan ialah disebarluaskan secara intragenerasi atau dalam generasi yang sama. Tentu aja, perpeloncoan udah ada dari dulu, dari jaman penjajahan juga udah ada.

4. Mempunyai fungsi. Ya, mempunyai tujuan (end). Macem2 sih fungsi yang ada pada perpeloncoan. Misalnya, social cohesion atau alat perekat sosial antar generasi. Tapi, ada banyak sisi negatifnya. Misalnya, mempengaruhi secara afektif, yaitu persepsi yang salah mengenai orang2 yang dianggap sebagai penguasa perpeloncoan, dan sebagainya.

Cukup sekian dulu, pengantar dari gue. Nanti, bakal gue kisahin lagi, apa aja sih yang masih aja nyangkut di kepala mengenai perpeloncoan itu.