Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Sabtu, 31 Januari 2015

Masa Awal Pengerjaan Skripsi: Stagnansi (2)

Ugh! Inikah awal Bulan April 2014 yang begitu menyakitkan lahir batin ini!?

Gue kembali bertemu dengan si Botak. Katanya, "Di, denger-denger si Tango udah bisa maju sidang akhir bulan ini ya? Professor jangan mau kalah sama dia, dong!".

Sekali lagi, gue benar2 heran sama orang2 jaman sekarang. Mereka semua enggak bisa menyeimbangkan antara ekspektasi dengan realita seadil mungkin! :"(

Gue lalu berkata, "Egh... Emang gue pikirin sama urusannya si Tango Tengil itu! Iya, kayak yang gue bilang itu... Gue masih di dalam tahap konfirmasi latar belakang, Tak! Well, If you are asking for it, then I my answer will be, 'Yeap. I'm so fucked up, nigger! Fo' Sho'!'. Gimana, Tak!? Jelas kan apa maksud gua!?".

Botak lalu menyipitkan mata dan menunduk. Gesture itu merupakan gesture yang khas ia miliki sendiri, yang artinya adalah stres berat. Sepertinya dia begitu kecewa sama nasib naas yang saat ini sedang gue alami.
Dia lalu berkata, "Sabar ya, Prof.".

... :"|

Gua lalu menunggu kabar buat kepastian latar belakang tersebut. Seminggu, enggak ada kabar. Dua minggu, juga udah berlalu tanpa kabar. Minggu ketiga juga bahkan enggak ada kabar juga.

Bu Yasmine ke mana!? :"(

Gue lalu bertanya melalui email, "Bu, apa kabar latar belakang saya?". Minggu depannya... Alias akhir Bulan April, beliau baru menjawab,
"Di, sekarang saya sedang baca dengan kepala yang agak pusing. Dari kemarin-kemarin saya vertigo nih.".

...... :"|

Bahkan, kabar naas tersebut berlangsung hingga dua bulan berikutnya! Masya Allah! Ada apa gerangan!? Kok Bu Yasmine malah jadi pesakitan begini!? Kenapa beliau bisa kena vertigo selama dua bulan berturut-turut...!? :"(

Mei dan Juni berlalu dengan melenggang kangkungnya. Dua bulan itu merupakan dua bulan persiapan para mahasiswa agar bisa mengikuti sidang. Dua bulan itu juga jadi waktu batas dari sidang itu sendiri. Semua itu udah diatur agar para mahasiswa bisa menjalani wisuda Agustus ini.

Iya. Jadi, karena itulah... Gue jadi enggak sempat buat mengisi deadline waktu sidang sebelum wisuda periode ini.
Motherfucker!! Ugh!!! :"(

Di antara berlalunya Mei dan Juni itu, bukan berarti gue enggak ngapa-ngapain, sih. Saat itu, gue mencoba buat melakukan temuan-temuan di dalam kelas (observasi) dan tidak lupa mengambil data sekunder. Data sekundernya berbicara mengenai data sekolah buat periode 2013-2014. Semua itu terima kasih atas berkat bantuan beberapa warga sekolah seperti Pak Kus, Kelas 7A, Kelas 7B, dan Pak Arifin selaku Pegawai Administrasi Tata Usaha.

Egh... Seperti biasa gue mencatat semua data observasi itu ke dalam bentuk field notes... Mengubah tulisan scratch/jotting notes ke dalam field notes ternyata enggak semudah yang dibayangkan. Selain karena memang ribet dan butuh ingatan fotografis (ibaratnya itu, ingatan kita itu perlu banget dielaborasi sama pengalaman kita yang masa lalu itu. Sedangkan, pengalaman itu bergantung dari seberapa cerdas dan kuatnya kita di dalam menggunakan lima panca indra. Makin peka artinya makin bagus, otomatis makin banyak yang bisa diingat, dan otomatis juga makin banyak yang bisa ditulis. Gimana caranya agar kita makin peka terhadap kekuatan panca indra kita? Caranya, ya harus sering-sering jadi etnografer alias rajin-rajin turun ke lapangan buat penelitian, tentunya), ...
... Gue juga sering banget dapet gangguan dari rumah sendiri. Orang-orang di dalam rumah ini, lho, Berisiknya minta ampun, Enggak karuan! Enggak pernah mau rukun. Dan enggak pernah mau tertib dan teratur sama sekali! Kalo kayak gini caranya... Sekali lagi, gimana gue mau tertib dan teratur juga kalo mau ngerjain tugas!? Dikira dan dirasa tugas yang gue kerjain ini level-nya gampang banget kali, ya. Lagi-lagi!! Ada kesan antara orang lain itu punya ekspektasi yang berlebihan sama diri gua, kalau enggak yang sebaliknya: diremehin serendah2nya rendah!! :"(

.... :"|

Aah... Bulan Juli akhirnya datang juga. Dengan langkah yang terbata-bata, gue melangkahi bulan ini dengan begitu pedihnya. Siksaan lahir batin ini gue terima dengan percuma.

Salah satu pedihnya ini ada ketika gue menemani nyokap untuk seminar. Karena seminarnya di hotel, maka kami sekeluarga besar sekalian menginap di hotel. Di hotel, gue iseng-iseng mengerjakan Bab 2 (iya, gue melanggar aturannya Bu Yasmine. Karena, beliau tidak memperbolehkan gue melanjutkan bab-bab selanjutnya sebelum gue bisa menyelesaikan bab 1. Hmm...). Karena pekerjaannya mudah, yaitu menyalin dan meringkas ulang apa yang gue dapetin di data sekunder.
Tapi, sayang enggak semudah itu.
Gue sengaja mengerjakan Bab 2 ini di waktu dini hari. Buat info aja nih, kamar yang kami pesan itu ada dua. Kamar pertama buat gue, nyokap, sama Kak Titi. Sedangkan, kamar kedua buat keluarga kecil itu, yaitu Kak Adis, Ipar/Kak Candra/Motherfucker Asshole, dua biji ponakan, sama baby sitter. Gue kira, gue bisa mengerjakan Bab 2 ini dengan tenang...
Tahu-tahunya... Si bocah sering banget datang ke kamar gue buat gangguin nyokap sama Kak Titi. Otomatis, gue-nya juga ikutan keganggu. Masalahnya, dia ngeganggu sambil pake teriak-teriak nangis segala! :"(
Ergh... Dan hasilnya mengecewakan sekali, ya! Bab 2 itu enggak selesai, lho! Padahal ngerjain Bab 2 itu gampangnya bukan main. Kan cuma menyalin data sekunder aja. Ternyata, pekerjaan menyalin juga butuh konsentrasi yang tinggi, ye! ~_~

Sia-siaaa banget! Tahu gitu kan gue enggak perlu ikutan liburan ke hotel. Ngapain gue ke hotel kalau ujung-ujungnya berbuah penderitaan lahir batin juga! Mendingan banget ada di rumah. Kosong, dan otomatis gue bakalan sendirian, sih. Tapi kan di satu sisi gue bisa memastikan diri untuk konsentrasi dan siap menyelesaikan Bab 2 ini!

Well, fuck you all! :""((

...

Gue lalui Juli dengan rasa yang hampa. Beberapa teman yang kedapetan jadwal sidang dari Mei hingga Juni kemaren sudah lulus dan sudah siap menikmati wisudanya. Dan gue masih duduk berjuang mengatasi skripsi (berikut berbagai gangguan dan kegalauannya) dengan rasa yang hambar seperti itu.
Bulan Agustus berakhir sudah. Gue enggak bisa ikut menonton teman-teman yang lagi menikmati wisudanya karena tiga hal:
1. Gue masih galau. Gue enggak mau kegalauan gue menodai rasa riang gembira teman-teman yang sudah pada lulus itu
2. Gue masih perlu mengelaborasikan pemikiran gue buat siap menghadapi kritik dari Bu Yasmine. Kalau-kalau ada kritik. Belum lagi persiapan lain buat menyangkut turun lapangan yang selanjutnya. Ya intinya, alasan nomer dua ini mengacu kepada teknis pelaksanaan skripsi itu sendiri, lah
3. GUA MALU. DENGAN BERBAGAI KEGAGALAN YANG GUE MILIKI INI, MUKA GUE MAU DITARUH DI MANA KETIKA MENYAKSIKAN TEMAN-TEMAN GUE YANG UDAH PADA SUKSES ITU!?

... :"(

Masa Awal Pengerjaan Skripsi: Stagnansi (1)

Tahun baru sebentar lagi akan dimulai...
Gue mencoba merayakannya seperti biasa di tempat keluarga besar gue biasa berkumpul bersama. Tepatnya di AUP, Pasar Minggu.
Tahun baru itu bernama Tahun Baru 2014. Sebuah tahun yang benar-benar menentukan kepastian masa depan gue. Maksudnya, akankah gue tetap tinggal di kampus untuk melanjutkan skripsi atau tidak? Kalau iya, akankah gue melanjutkan diri ini buat belajar ke Inggris sana? Kalau tidak, apa yang mesti gue lakukan?
Sekelumit pertanyaan itu menghantui kepala gue.
Yang artinya, gue sama sekali enggak bisa menikmati malam tahun baru ini akibat sekelumit pertanyaan tersebut.

Oh, akhirnya hitungan ke nol sudah berlangsung! Yeah, selamat tahun baru 2014, kalau begitu...

"Selamat ulang tahun... Baru... Dua ribu empat belas...! Ehehe...", tukas salah seorang reporter di Stasiun TV X.

Sontak kami semua sekeluarga tertawa terbahak-bahak akibat slip-tongue yang dilakukan oleh reporter tersebut. Kasihan benar! X"D.

Lalu, kami pulang ke rumah masing-masing. Gue sendiri merasa hampa, karena setelah ini gue masih punya beberapa pekerjaan seperti mengurus ospek jurusan dan skripsi.
Nah, berhubung ospek jurusan udah gue tulis di bagian sebelumnya, kali ini gue bakalan mengalihkan urusan ke skripsi. Iya, jadi... Apa kabar dengan skripsi gue? Alhamdulillah, walaupun jalan, tetapi... Tidak berjalan begitu mulus... :"(

Setelah selesai mengurus urusan ospek jurusan yang aduhai enggak jelas itu, akhirnya gue melanjutkan diri untuk fokus kembali terhadap skripsi. Setelah gue meyakinkan Bu Yasmine untuk memilih topik dualisme pendidikan, gue disarankan oleh beliau untuk melakukan beberapa preliminary surveys yang paling proper.
Mengapa yang paling proper? Karena, preliminary surveys ini akan menjadi penelitian pendahuluan terakhir buat skripsi. Setelah ini, akan dilanjutkan kepada penelitian yang sesungguhnya.
Artinya, gue bakalan mencari tahu apakah masalah mengenai dualisme pendidikan ini benar-benar penting untuk dibahas atau tidak bagi SMPIA 3 Bintaro.

Gue lalu melakukan penelitian ini pada tanggal 21-23 Januari 2014. Selama tiga hari itu, gue banyak bertemu dengan beberapa subjek seperti Pak Akrom, Pak Kus, dan Pak Khomeini. Ketiga guru itu merupakan guru Pendidikan Agama Islam. Berikut ini merupakan komentar singkat yang diajukan oleh beliau sekalian mengenai dualisme pendidikan di SMPIA 3 Bintaro.

Pak Akrom: Dualisme pendidikan itu enggak ada. Karena, pada hakikatnya, pendidikan agama dengan pendidikan yang lainnya memang sudah bersatu dari dulu hingga sekarang, dan tentu saja buat yang ke depan-depannya. Kalau ente mau sukses di dunia ya harus pakai ilmu pengetahuan selain agama. Kalau ente mau sukses di akhirat, ya harus pakai ilmu agama.

Pak Kus: Manusia merupakan makhluk pencari kebenaran, Di. Sifat pencarian kebenarannya itu merupakan fitrah, atau default mode yang udah dibikin oleh Allah Swt. Terbukti dari Surat al Fatihah yang berkata, "Tunjukilah aku jalan yang lurus". Nah, manusia mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan selain agama. Karena, senjata yang ia miliki buat mencari kebenaran itu datang dari kelima indranya, alias empiririsme. Tetapi, selama ia mencari kebenaran, kan ujung2nya selalu bernuansa trial and error. Gimana caranya mengetahui dia berhasil? Ya, ia perlu dipedomani oleh Kitab Suci, alias al-Quran. Jadi, ia boleh mencari kebenaran sepuas mungkin, asalkan tetap harmonis dengan apa yang dikatakan Oleh Allas Swt...

Pak Khomeini: Dualisme pendidikan itu hal yang naif sih, Pak Ardi. Enggak ada cerita kalau ilmu agama dan selain agama itu enggak bisa digabung. Pasti bisa. Kalau muslim mau sukses, ia harus punya kedua ilmu tersebut. Ia harus menambah ilmu pengetahuan selain agama sesuai dengan yang Ia Ridhoi. Gimana caranya biar Ia Ridho? Ya, pelajari ilmu agama.

Enggak lama kemudian, datang Pak Ikhun dan Pak Dar. Beliau sekalian merupakan wakil kepala dan kepala sekolah SMPIA 3 Bintaro ini. Ada komentar singkat yang begitu penting untuk dicatat...

Pak Ikhun: Kalau itu sih, kita bisa meyakinkan ke Pak Ardi kalau dualisme pendidikan memang pada dasarnya tidak ada... Tetapi, pada praktiknya...

Pak Dar: Iya, susah untuk dibuktikan sih, pak! Karena, walaupun guru sudah paham, tetapi belum tentu anak bisa paham, kan? Tadi kata kamu, dualisme pendidikan bisa terjadi kalau salah satu, atau dua-duanya, dari anak maupun guru tidak bisa memahami harmonisasi antara ilmu agama dengan yang lainnya, kan?

Gue: Iya, pak. Betul. Hmm, jadi, kira-kira dengan asumsi seperti itu bolehkah saya meneliti di sini?

Pak Dar: Buat alumni apa yang enggak kami bantu, sih! (tertawa))

Gue: Iya... Maksud saya, apakah penelitian ini memang pantas untuk dilakukan, pak?

Pak Ikhun: Boleh. Buat menguji, apakah dualisme pendidikan itu ada atau tidak.

Pak Dar: Setuju. Yang penting kamu tahu itu dulu. Saya juga enggak yakin sih, apakah anak ngerti apa enggak. Nah, soal anak, itu urusan Pak Ardi, ya!

Pak Ikhun: Atau, entar bisa juga dikomunikasikan sama Public Relationship, barangkali ya, pak?

Pak Dar: Oh iya! Ide bagus tuh, Pak Ikhun! Coba anda komunikasikan kepada Pak Eman sama Pak Maman, barangkali bisa. Biar kamu bisa dapet sampel anak-anak. Boleh juga sih, anak-anak OSIS kalau diwawancara. Lebih gampang, pasti. Kualitatif, kan? Kalo iya, jawabannya mesti panjang-panjang, tuh. Anak-anak OSIS sih, mudah-mudahan jauh lebih kritis daripada rata-rata anak sepantarannya.

Gue: Oh. Iya. Baik, pak. Siap. Akan saya laksanakan. Terima kasih ya Pak Ikhun, dan Pak Dar. Maaf saya merepotkan!

Pak Ikhun: Apa yang kami bisa bantu, ya kami bantu.

Pak Dar: Sekali lagi, buat alumni apa susahnya sih buat dibantu? Alumni dari UI pula! Waah! (tertawa)

Gue ikut tertawa sekaligus tersipu malu. Iya, benar juga. Tanpa disadari sepenuhnya oleh gue, gue kan juga secara enggak langsung ikutan membawa nama Universitas Indonesia ke dalam sekolah ini... Akibat skripsi yang bakalan gue lakuin ini, tentunya.

Haah... Betapa beruntungnya diri gue ini... Penelitian besar kedua yang gue lakuin ini bakalan juga banyak dibantuin sama para subjek. Bukan apa-apa, pasalnya pada penelitian pertama gue saat di Desa Nunuk silam lalu, gue juga banyak dibantuin sama para subjeknya. Aah, is this the name of.. inter-subjectivity? Kayaknya, inter-subjectivity enggak cuma ada saat etnografer atau peneliti bisa memberikan jalan tengah antara objektivisme (fakta di lapangan) dengan data penelitian tak terbatas yang enggak lain berasal dari para subjeknya itu sendiri. Karena gimanapun, data penelitian yang berjiwa kualitatif itu perlu diklarifikasi sebaik mungkin oleh si etnografer pada akhirnya, kan?

Sebulan berlalu dengan cepat. Pada pertengahan Februari, gue disarankan oleh Bu Yasmine untuk mengerjakan latar belakang. Setelah latar belakang itu selesai, tiba-tiba Bu Yasmine berkata melalui email. Katanya,
"Di. Latar belakang kamu tidak memuaskan. Kamu ganti lagi, gih. Saya jadi enggak yakin apakah penelitian ini memang penting atau tidak, sih?".
Astaghfirullah.
Ya Allah, ini udah Bulan Februari. Dan gue masih aja stag di bagian latar belakang. Egh... What do I do? What do I fucking do!!?? :"(

Dan akhirnya, pada akhir Februari gue kumpulkan latar belakang yang kedua kalinya. Gue sudah bisa memastikan, dan meyakinkan, bahwa hasil ini pasti bakalan jauh lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Karena, gue udah bisa menerima kritik itu dengan baik, maka gue otomatis tahu apa yang mesti dikerjakan.
Tetapi!
Bu Yasmine kembali memberikan kritik negatif. Beliau berkata, "Di. Sebelum kamu menulis latar belakang, sepertinya kamu perlu me-review beberapa buku yang akan kamu baca buat dijadikan referensi di latar belakang.". Gue bertanya, "Gimana, bu?". Beliau menjawab, "Iya. Coba, kamu baca bukunya siapa aja, sih?". Gue jawab, "Saya itu baca bukunya... Charlene Tan, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Ahmad Najib Burhani, sama Zygmunt Bauman...".
Beliau berkata dengan singkat, jelas, dan padat,
"Review semuanya itu dulu.".

Ah?
Gimana!?

Beliau kembali berkata buat menglarifikasi, "Saudara review dulu semuanya itu dulu. Setelah selesai, kumpulin semuanya itu dulu. Setelah saya baca apa yang sudah saudara review, baru saudara bisa lanjutkan latar belakang sesuai yang akan saya pintakan!".

Gue membantah dengan halus, "Ah, ibu...!".

Beliau lalu membantah (pula) dengan halus, "Saudara mau sukses apa tidak skripsinya? Lagipula, saya ingin tahu review-nya biar saya bisa tahu apa yang ada di pikiran saudara. Kalau saya sudah tahu, saya jadi bisa meluruskan apa yang akan saudara tuangkan nanti di latar belakang. Paham!?".

Gue menjawab, "Baik, bu... Terima kasih atas bantuan ibu. Akan saya buat lima review itu...".

Ugh! Lima review! Lima review! Setelah gue bikin latar belakang buat kedua kalinya dengan susah payah, gue bukannya menemui jalan untuk maju ke sub bagian selanjutnya tapi malah kesasar ke tugas yang lain. Ada jalan lain yang mesti gue tempuh, yaitu menulis review! Lima biji pula! Udah kayak tugas kuliah yang biasa gue lakuin sekitaran... Dua tahun yang lalu, aja! -,-"

Oke, gue review... Dengan berat hati.
Seperti biasa, gue melakukan review itu di saat pagi hari di dalam kamar. Saat mood buat kerja sudah terpenuhi di sanubari, eh... Bocah-bocah ponakan pada nangis dari luar kamar... Dan seperti biasa, kebisingan tersebut begitu memecahkan konsentrasi berikut mood buat bekerja.
Egh... Kapan lagi gue bisa lanjut kerja? Oke deh, besok aja lah!
Tetapi, besoknya juga demikian! How fucking lame! Tapi, kali ini ditambah dengan berisiknya suara nyokap sama Kak Adis lagi berantem. Atau kadang juga suara berantem antara Kak Adis dengan suaminya itu. Atau kadang juga sama baby sitter. Atau kadang juga sama pembokat. Atau kadang sama juga... Egh... Emang gue pikirin...
Walaupun itu berada di luar pikiran gue, tapi entah kenapa kebisingan itu mengganggu sekali. Bahkan, kalau ditandingin sama suara mobil performa tinggi seperti Ferrari 458 Italia, kayaknya malah lebih mengganggu suara orang-orang kagak jelas itu, dah! Bukan apa-apa, teriakannya itu udah pake bahasa yang kasar, menyakitkan, dan enggak jelas pula, sifatnya masif dan intens pula! Efeknya itu, menyakiti dan mengagetkan hati, tahu! Mendingan suara mobil performa tinggi, makanya!  Karena sesungguhnya suara mobil itu bukan suara yang bersifat menghina, walaupun terkadang mengagetkan juga, sih.
WHAT THE FUCK! HEY FUCK YOU ALL, GODDAMMIT! GUE LAGI MAU KONSEN BUAT MEMASTIKAN MASA DEPAN GUE, NIH! JANGAN DIGANGGU GUGAT, KENAPA!? :"(

... :"(

Maret akhirnya datang... Dengan cepat dan mengagetkan, tentunya! Karena merasa galau tingkat tinggi, gue memutuskan untuk mencoba melakukan beberapa jadwal di bulan ini. Pada dua minggu pertama, gue bakal ke kampus buat ngerjain review dan mengobrol dengan beberapa sahabat. Pada minggu ketiga, gue akan mencoba melakukan penelitian selanjutnya. Penelitian selanjutnya ini akan membahas mengenai data temuan lapangan, yaitu sistem terintegrasi. Entar gue jelasin deh apa maksudnya itu. Nah, akhir bulannya gue akan mengumpulkan kelima review via email.

Huft. Dengan bermodalkan bahan buat belajar dan tampang bloon, gue datang ke kampus dan enggak sengaja bertemu dengan si Botak. Si Botak ini merupakan salah satu teman sejurusan gue. Tenang aja, julukan "Botak" ini bukan maksudnya buat menghina nama baiknya kok. Nama akrab, I'm just saying it at all.

Botak berkata, "Hey, Prof! Apa kabar!?". Gue menjawab, "Not so fucking well, nigger. Stress nih gua, Tak! Bayangin, gue masih stag di bagian latar belakang. Itupun belum tentu gue bisa ngelanjut kalau gue belum selesai review.". Botak lalu bertanya dengan ling-lung, "Hah? Review apaan?". Gue menceritakan mengapa gue mesti membuat review itu. Setelah itu si Botak menjawab, "Wah... Sabar ya Prof. Mungkin maksudnya buat kebaikan Prof juga kali, ya. Coba aja bikin dulu semua review-nya. Kalau udah, kumpulin. Terus lakuin deh apa yang Bu Yasmine mintain.". Gue menjawab, "Iya.". Lalu, gue melanjutkan, "Sekarang sedang ngapain, nih?". Dia berkata, "Gue lagi nyusun Bab 2. Bentar lagi udah mau selesai dan gue mau lanjut ke Bab 3.".

Bangsat. Si Botak udah nyampe aja ke Bab 3. Enggak, gue bukan maksudnya iri kepada kesuksesannya si Botak hingga sejauh ini. Kebalikannya, gue malah bersyukur dan salut sama si Botak, lho.
Gue membandingkan kesuksesannya itu dengan diri gue. What a pitiful - fucking - moment! Gila, si Botak aja udah bisa nyampe Bab 3, masa gue kagak!?

Gue lalu berkata, "Oke. Duluan ya, Tak. Sukses buat lo.". Dia menjawab, "Sukses juga buat Prof.".

Hmm... Gue lalu mengerjakan beberapa review dengan semangat. Setelah selesai, gue lalu pergi ke perpustakaan pusat, tepatnya ke kebun apel. Di sana, gue ketemu dengan beberapa sahabat seperti Darsya, Giri, Imam, Indro, dan Zae. Setelah mengobrol sepuas mungkin, akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya diri gue di rumah, gue lalu menikmati hidangan malam dengan senang hati. Setelah itu, gue mandi dan langsung menunaikan ibadah Isya dengan khidmat. Tidak lama kemudian, gue tertidur dengan... Kurang lelap, sih.
Mengapa kurang lelap? Karena, bocah-bocah itu tiba-tiba nangis mendadak di waktu dini hari. Sungguh menyakitkan lahir batin. Lagi enak-enak tidur, kok diganggu sama mereka, sih! :"(

Seminggu ini berlalu dengan lancar, dengan hasil yang cukup lah. Alhamdulillah, semua review sudah gue kerjain dengan cukup baik. Minggu depannya, gue melakukan penelitian mengenai sistem terintegrasi.

Ada beberapa guru yang berhasil gue wawancara terkait apa sih sistem terintegrasi ini, seperti Pak Ikhun, Pak Kus (kembali lagi kepada Pak Kus!), dan Bu Atik . Sistem terintegrasi ini jadi data temuan penelitian, lho. Sistem terintegrasi ini jadi kurikulum khas SMPIA 3 Bintaro untuk melakukan harmonisasi antara ilmu agama dengan ilmu-ilmu selain itu.
Wah, aduhai menarik nih! Pantesan aja para guru kelihatan pede di dalam menjelaskan soal tidak adanya dualisme pendidikan di SMPIA 3 Bintaro... Dalam tataran teoritis, lho. Pada praktisnya, kan belum tentu.
Apa kata mereka?

Pak Ikhun: Jadi, sistem ini punya silabus. Ini intinya memberikan keterkaitan antara ilmu pengetahuan agama dengan yang lain-lainnya, terutama mengacu kepada ilmu eksakta. Nanti, buat yang lainnya tentu juga kerap mengacu kepada ilmu sosial. Misalnya, kalau ilmu eksakta itu, penciptaan alam semesta. Ini kan ada wahyu dari kitab suci. Dan ini berkaitan pula dengan ilmu fisika. Tapi, belum jadi, sih. Saya yang menjadi ketua proyek ini. Tetapi, mudah-mudahan dapat selesai dengan secepat mungkin. Insya Allah. Mohon Bapak Ardi doakan, ya.

Pak Kus: Memang, belum selesai, sih. Tapi, pada praktiknya kami para guru terus berupaya agar bisa terus menyampaikan sistem terintegrasi buat murid. Kami terus mengimbau satu sama lain agar SMPIA 3 Bintaro ini bisa terus terbuka di dalam melakukan harmonisasi antara ilmu agama dengan yang lainnya. Mengenai detailnya, kamu tanyakan kembali gih ke Pak Ikhun. Kan Pak Ikhun-nya tuh yang jadi ketua!

Bu Atik: Ada, Di. Di pelajaran Biologi itu lagi dikembangin. Walaupun emang belum jadi sih, Di. Misalnya, buat pengantar soal pernapasan. Ibu suruh anak-anak untuk menahan napas semampu mungkin. Sebisa mungkin! Jadi, jangan dipaksa kalau enggak bisa lebih dari kemampuan! Nah, rata-rata anak pada enggak bisa hingga hitungan empat puluh detik. Setelah itu, ibu baru bisa bilang kepada mereka, "Bersyukurlah kepada Allah Swt. Karena, Beliau Mengasihi kita akan Oksigen dan teraturnya sistem pernapasan. Coba kalau enggak, kehidupan kita enggak bisa berjalan dengan baik, kan?".

TERLAMPAU MANTAP! X"D.

Semua data wawancara tersebut gue simpan baik-baik. Setelah merekam, gue pindahkan ke laptop dengan sesegera mungkin, tepatnya saat pulang sekolah, sih. Setelah itu, gue memainkan simulator balap di laptop.

Di tengah-tengah kesuksesan tersebut, ada kabar baik sekaligus kabar buruk. Minggu depan, himpunan jurusan akan mengadakan serah terima jabatan. Artinya, akan mengalami siklus pergantian kepemimpinan dan strukturnya. Nah, gimana dengan kabar Antropos?
Gue udah enggak mau mikirin itu lagi. Terserah apa mau kata orang, deh. Biarin aja. Emang gue pikirin.
Toh, ini juga karena gue dicuekin sama staf sendiri. Intinya, ada dua macam staf yang gue bagi sendiri berdasarkan sikapnya ke gue, yaitu yang baik dan yang melawan. Yang melawan ini bertanya mengenai dana dari departemen. Dan dia cuma mau bilang ke staf yang baik. Nah, gue tahu berita ini dari staf yang baik itu. Setelah itu, gue sampaikan bahwa sebaiknya si staf yang melawan ini segera berhadapan ke gue buat bicara baik-baik kepada si staf yang baik. Ya, pada intinya sih, si staf yang baik ini jadi penengah antara si staf yang melawan dengan diri gue.
Kalau ketua ini dicuekin sama bawahannya, ya gimana kerjaan mau maju?
Gue udah berusaha dengan sebaik-baiknya. Hampir semua bahan tulisan di rubrik gue yang tulisin. Kerjaan staf gue itu rata-rata "cuma" tumpah di bagian editing, penyelesaian, dan operasionalisasi biaya.

Eh.,.!
Siapa yang menyangka... Kalau tiba-tiba di saat yang bersamaan salah satu staf gue yang melawan... Yang mengacuhkan diri gue itu berkata melalui SMS, "Di. Alhamdulillah udah selesai nih. Kita sisain kok satu, pasti buat elo. Biayanya Rp.850.000,00. Pake duit gue aja dulu.".
Gue cuekin. Gue enggak bales SMS bullshit itu. Titik. Emang enak dicuekin. Siapa suruh cuekin orang lain. Makanya, jangan cuekin orang lain kalau lo emang enggak mau dicuekin sama orang tersebut. Logikanya kan begitu, hukum timbal balik di kehidupan sosial. Biar kamu belajar, nak! :|

Eh, tiba-tiba staf gue yang baik menelpon gue dan berkata, "Kak! Si staf yang melawan itu katanya udah menyelesaikan seluruh kerjaan kita. Berhasil terjual lima puluh. Tapi, satu sisanya gratis buat kakak. Dia bertanya-tanya tuh, di mana Kak Ardi?".
Ah, gue enggak tega sama staf yang baik ini.
Gue lalu menjawab, "Yaudah. Bilangin aja selamat. Soal uang penggantinya... Entar dulu, deh. Sekarang ini gue lagi pusing soalnya sama urusan skripsi.".
Staf yang baik itu berkata, "Oh. Nanti aku sampaikan ke dia, ya. Nanti mungkin bentar lagi dia nelpon kakak. Selamat ya kak! Majalahnya udah jadi!".

Nut... Nut.... Nut... Telpon ditutup dengan cepat. Baru aja gue mau nolak permintaan si staf yang baik itu buat berbicara kepada staf yang melawan! Eh, udah ditutup duluan! Ada aja sih, kejadian yang kayak beginian! -,-"

Lima menit kemudian, si staf yang melawan itu telpon. Agh! :"(

Gue jawab, "Hoy! Gue lagi sibuk sama skripsi, nih!". Dia menjawab, "Sorry banget nih, Di. Tapi urgent!"
... Bangsat. Lebih urgent mana sih, majalah atau skripsi!?
"... Di. Jadi, majalahnya udah jadi, nih. Entar gue kasih ke elo, ya. Terima kasih buat bimbingan sama bantuan lo selama ini. Maaf kalau kita jadinya cuma bisa bikin satu majalah.".
Gue lalu bertanya, "Enggak. Kalau soal cuma satu majalah sih, enggak apa-apa. Tapi, yang gue tanya, kenapa dari semenjak kita mau final editing, lo sering banget cuek sama gua!? Gue nanya-nanya bukan maksudnya meneror, lho! Tapi karena emang pengen tahu aja gimana progres kerjaan kita. Dan, biar orang lain terutama si ketua, wakil ketua, sama kadiv keilmuan juga ikutan tahu. Bukan apa-apa! Gue ditanya-tanyain melulu sama mereka! Gimana gue bisa ngejawab kalau kalian enggak menjawab pertanyaan gua!".
Si staf itu menjawab, "... Sorry, kemarin kita sering cuekin lo karena lupa. Kita juga punya banyak banget kerjaan, Di. Banyak banget mata kuliah sama kerjaan sampingan yang mesti kita kerjain. Saking banyaknya, ampe-ampe kita lupa sama pertanyaan lo. Maaf banget ya, Di.".

(Oh, jadi cuma gara-gara kalian punya banyak kerjaan, kalian berhak melupakan kepala divisi majalah ini!?)

....


Minggu depannya, gue mengirim kelima review tersebut kepada Bu Yasmine. Setelah menunggu hingga minggu depannya, yang artinya sudah memasuki ke Bulan April... Beliau berkata,
"Ada beberapa review yang salah. Coba perbaiki terlebih dahulu. Minggu depan tolong kirim lagi.".

Jujur, sedih gue mendengar kabar buruk tersebut! :"( Tetapi, apa daya. Ahsudahlah, lebih baik gue kerjakan kembali. Gue periksa, dan gue koreksi sesuai yang Bu Yasmine inginkan. Alhamdulillah, setelah itu gue mendapatkan kesan positif dan beliau berkata,

"Baik, Di. Sudah baik. Sekarang, lakukan apa yang saya pinta. Pertama, saudara mesti bikin paragraf pembuka mengenai apa sih yang mendasari saudara untuk menguji teorinya Tan. Setelah itu, elaborasikan antara pemikiran Burhani dengan Azra. Lalu, saudara bahas apa yang dikatakan oleh Tan. Setelah itu, lalu kita bisa berbicara mengenai dualisme pendidikan. Kalau memang sudah mantap, kita bisa lanjut ke permasalahan ya, Di.".

Wah! Alhamdulillah!

Oke, jadi fokus utamanya ya... Kembali lagi.,. Menyempurnakan si latar belakang ini, kan?

Sampai tiba saatnya di pertengahan Bulan April gue ikut merayakan hari ulang tahun nyokap. Gue diundang makan di Syailendra. Iya, tempat yang dulu pernah di bom itu. Kali ini sih, enggak ada insiden itu (jangan ampe terjadi lagi!!).
Tapi, ternyata ada "bom" lain yang cukup mengagetkan di saat yang bersamaan.

Ada dua SMS yang mengagetkan diri gue ketika gue sedang menikmati kue Tiramisu. Sambil melahap Tiramisu, gue melihat SMS dari salah satu teman sejurusan gue yang bernama Wiw. Wiw berkata, "Apa kabar, Di? Gimana kabar skripsinya? Pasti udah nyampe bab terakhir, ya! Professor, gitu lho!".
Ugh. Heran, ekspektasi orang jaman sekarang itu selalu lebih besar ya daripada kenyataan. Kenyataannya enggak seindah sama yang diekspektasikan lho, Wiw! Malahan berbanding terbalik!

Gue jawab SMS itu dengan rasa sedih, "Wiw, enggak segitunya lah. Malah masih jauh. Gue baru nyampe ke bagian latar belakang, nih. Seriusan. Nih gue ceritain...".
Setelah gue ceritain panjang kali lebar sama dengan luas kepada Wiw...

"Yaelah, Di! Dosen pembimbing lo kok old fashioned amat, sih! Udah tahu Bab 1 itu emang susah banget buat selese. Jadi, intinya lo lagi stag gara2 Bab 1, kan!? Gini aja... Konsultasikan ke Mas Ezra. Bilang aja ke dia, 'mas, saya stag di Bab 1. Tolong bantuin saya bikinin outline. Biar saya bisa langsung maju ke Bab 4.'. Gitu, Di.", kata Wiw dengan percaya diri.

Hah!? Bab 4? Hello. Bab 3 aja masih ngawang-ngawang, gimana Bab 4 mau dikerjain!?

Gue lalu bertanya, "Wiw, kok ceritanya langsung loncat ke Bab 4!? Oke, gue ngerti. Kan Bab 1 mendingan di skip aja... Berdasarkan rekomendasinya Mas Ezra, lho. Jadi mesti dikonfirmasi sama beliau dulu, nih. Nah, gimana soal Bab 2 sama Bab 3 nya? Masa dua itu dicuekin!? Kagak ngerti gue, Wiw".

Wiw kembali berbicara dengan penuh percaya diri, "Di, gini maksud gue. Maksudnya, Bab 4 itu kan bagian analisis. Di situ lo udah coba bikin elaborasi antara data sama analisis lo. Karena, bagian yang paling susah ya di situ. Kalo itu udah selesai, semuanya udah selesai, Di! Terus, lo tulis simpulannya di Bab 5, dikit aja. Abis itu, kan lo bisa nulis hasil penelitian lo di Bab 3... Itu semua, lho. Data wawancara sama observasinya di Bab 3. Tuangin semuanya di situ. Nah, sama Bab 2 kan cuma gambaran umum ini. Ya salin ulang aja apa yang lo dapetin di data sekunder.".

Gue membaca SMS-nya si Wiw ini dengan wajah yang bloon plus mengerut akibat stres yang berlebih.
Setelah itu, gue balas, "Iya. Oke deh. Makasih buat sarannya ya, Wiw.".

SMS kedua berasal dari salah satu teman sejurusan gue yang bernama Irin  alias... Si Wakil Ketua Himpunan yang kemarin baru digantikan itu. Dia berkata, "Di. Ini ada amanah dari Mas Ezra. Katanya, kalau ada kesulitan di saat pembuatan skripsi, mohon ajukan saja. Ceritakan saja. Terus konsultasikan saja.".

Gue lalu mengacuhkan SMS tersebut dengan berat hati. Bukan apa-apa, andaikan gue berkata ke Mas Ezra seperti ini...
"Mas! Skripsi saya terhalangi akibat kerjaan himpunan sama stag melulu di latar belakang!".

MUKA GUE MAU DITARUH KE MANA, TERUS !? MALU BANGET RASANYA KALAU SEMUA ITU DICERITAIN SAMA PEMBIMBING AKADEMIK!! ENTAR PEMBIMBING AKADEMIK GUE ITU MAU BILANG APA KE GUA!?

... Tiramisu yang (sesungguhnya) lezat dan mahal itu jadi terasa hambar akibat stres yang sedang gue alami saat ini juga... Apa gunanya makan kue yang punya kualitas kelas dunia apabila ujung-ujungnya dirasakan dengan perasaan yang enggak seronok juga!?

... :"(

Akhirnya, akhir Bulan April mendatangi diri gue dengan kejam. Mengapa kejam? Karena terlampau cepat. :"(
Gue lalu mengumpulkan latar belakang yang udah gue bikin itu melalui email Bu Yasmine.

Namun... Apa yang terjadi selanjutnya!?

Kamis, 22 Januari 2015

Kepahitan di Awal Pengerjaan Skripsi: Ospek Jurusan - Sebuah Cerita Sampingan

Ugh...

Selamat tahun baru semua. Selamat tahun baru 2014. Semoga apa yang kita inginkan buat tahun ini tercapai...
Atau tidak?
Itulah kegalauan yang saat ini sedang gue alami. Sebenarnya, banyak yang saat ini sedang menikmati indahnya tahun baru 2014. Tetapi, sayang diri gue enggak mengalami hal tersebut. Gue menganggap bahwa tahun baru 2014 ini merupakan hari tinju lainnya. Another boxing days.

Maksudnya boxing days? Itu merupakan hari ketika para atlit bekerja di hari-hari libur. Nyadar gak kalau rata-rata para atlit profesional maupun kelas dunia tidak dapat menikmati hari libur seperti hari natal, tahun baru, hari raya, dan sebagainya karena mereka harus merelakan dirinya mengikuti kompetisi tertentu? Definisi tersebut lalu bisa aja lho kita perluas cakupannya... Menjadi, siapapun manusia yang merasa dirinya tidak bisa menikmati liburannya di tanggal merah, maka ia terkena boxing days.

Yeah. It is me versus the boxing days. Just another bullshit. Another boxing days, another bullshit.

Kenapa tahun ini gue mesti kerja? Mesti galau segala?
Karena, jasa gue dibutuhin buat ngurusin anak-anak maba buat ospek jurusan. This is just another what the fuck moment... :"(
Ini juga karena salah gue sih. Nyesel banget sih gue ikutan ospek pas gue maba dulu. Gara-gara gue ikutan ospek, makanya gue harus... Mau enggak mau jadi kepala divisi atau orang penting di bagian himpunan untuk tiga hingga empat tahun ke depan. Maksudnya, buat saat ini. Kan, tiga tahun udah berlalu dari gue menginjakkan kaki ini di kampus. Huh!

"Di, mau nginep enggak di acara ini?", tanya salah seorang teman gue yang kebetulan jadi panitia ospek. Hah!? Emang mesti nginep apa? Kagak ada yang ngasih tahu gue akan hal ini? Gue langsung membalas, "Ngapain nginep. Capek. Mendingan tidur di rumah.". Ia lalu berkata, "Oh iya, tapi lo kakak mentor, kan? Lo sebisa mungkin harus bisa nginep, lho. Lagian, juga buat bantuin menti-menti lo...". Gue langsung memotong, "Enggak ada tuh yang nyuruh gue nginep di sini.". Dia lalu melanjutkan, "... Iya... Tapi, biar kakak mentornya bisa ngelakuin mentoring lagi, gitu.".

Gue lalu menjawab dengan nada yang agak tinggi, "Gue udah cukup sering membantu adik-adik menti gue. Enggak ada yang  perlu dibantu lagi. Ini tinggal gimana mereka bisa lulus sidang tergantung dari kemampuan presentasinya mereka. Lagian, setahu gue kan pertemuan-pertemuan yang diperlukan itu hanya termasuk saat sebelum ospek? Udah cukup sepuluh kali, kok. Kelompok gue ini udah ketemu sama gue sepuluh kali, ya jadi udah cukup..!".

Datanglah Devita secara tiba-tiba. Geh, another bullshit again. Devita lalu bertanya, "Di, bisa nginep kan di sini?".

Gue lalu menghela napas berat-berat. Pikir dan rasa gue, percuma banget mengasihani orang lain kalau orang lain ini enggak mengasihani diri gue sama sekali. Karena, belakangan ini Devita selalu nyuruh-nyuruh gue tanpa memperhatikan, iya, tanpa mempertimbangkan kesibukan apa yang perlu gue lakuin.

Gue lalu menolak dengan berkata, "Enggak bisa. Gue pengen ngademin diri di rumah.".

Devita lalu mengeluh, "Yaah! Yah, Di. Jadi lo enggak bisa, ya?". Gue lalu bertanya, "Emang kakak mentor wajib ya ngedampingin maba pas ospek?". Devita menjawab, "Iya. Tepatnya buat hari esok, sih. Sore-sore gitu, Di. Atau, lo enggak mesti nginep juga sih, Di. Palingan lo hari ini pulang dulu. Terus besok sore datang ke sini..?". Gue memotong, "Enggak, Dev. Gue tetep mau ngadem dulu di rumah. Lagian, ada setoran skripsi yang mesti gue selesein. Skripsi gue itu... Egh! Malah Bab 1 aja masih belum nyampe! Gue mesti ngelakuin ini itu kayak prelim dan sebagainya!".

Devita lalu diam saja. Sepertinya dia kaget dengan respons gue yang terlampau blak-blakan itu.

Gue lalu menawarkan sebuah hal, "Atau, ada yang bisa gue bantu lainnya? Ini kan sekarang lagi persiapan, nih. Apa sambil nunggu, gue jadikan aja saat ini sebagai mentoring terakhir pengganti esok hari?". Devita menjawab, "... Boleh..".

Yeah, sounds like a plan. So let's fucking go!

Gue lalu datang menghampiri adik-adik menti gue. Mereka semua dengan kompak berkata, "Kak Ardi!". Gue tersenyum. Di sinilah percakapan antara diri gue dengan mereka mengalir dengan hangatnya.

Gue: Yo. Apa kabar semua? Pasti pada tegang, ya. Nikmati aja.

Leny: Iyaa, kak! Tegang banget, sumpah!

Sari: Haduh, mana materinya belum kehapal-hapal, lagi!

Gue: Sari? Jangan hapalkan materi. Pahami. Sesuatu yang lo ngerti di materi yang akan lo bawain itu, yang bisa diomongin di depan penyidang.

Sari: Ooh! Oke, kak.

Gue: Vela. Gimana?

Vela: Sama juga kak. Awalnya aku mau hapalin. Eh, tahu-tahunya emang mesti dipahami, ya?

Gue: Ya, mestilah. Karena Antropolog mesti membuat pendengar maupun pembacanya paham sama fenomena yang ada.

Vela: Oke, kak.

Gue: Terus, ah... Cowok satu-satunya... Rifqy, gimana?

Rifqy: Saya baik-baik aja, kak. Hehe.

Gue: Good. Ngomong-ngomong, sebutin bagiannya pada yang mana aja!

Leny: Gue yang menjadi salam pembuka, kak! Hahaha!

Sari: Enak amat sih, Leny! Saya dapetnya yang bagian kedua. Metode penelitian sama konsep.. Van Gennep, haduh! Van Gennep!

Vela: Saya bagian materi, kak. Tapi dikit-dikit aja sih, kak.

Sari: Abis itu, simpulannya juga biar saya yang bawakan.

Oke, oke. Bagus. Pembagiannya sudah betul. Lho, tapi kayaknya masih ada yang janggal?

Gue: Bagus. Eh, belum bagus juga, sih! Lho, Rifqy terus gimana!?

Rifqy: Saya enggak ngomong apa-apa, kak.

GUBRAK!

Gue: Oh, ya enggak bisa begitu dong. Gini aja, bagi dua gih sama Vela. Kasihan tuh, masa si Vela aja yang ngabisin materi. Bagi dua, biar Vela bisa kerja lebih ringan. Pasti bagus kok.

Rifqy: Oke, kak. Saya sih lebih ngerti materi yang ini, kak.

Vela: Aku lebih ngertinya yang selain Rifqy, kak.

Gue: LHO, BAGUS ITU!

Semua: HORE!

Gue: Yooii XD . Ah, buat yang lainnya gih. Hmm, Sari, ingat. Jadi, penjelasan kamu itu sangat teknis. So techincally speaking, off course. Ya, namanya penjelasan teknis itu antara penting dan enggak penting. Sekali lagi, yang penting kamu pahami aja. Inget-inget aja, kalau kalian selama meneliti itu kayak gimana. Kalian pakai alat rekam yang bagaimana. Kalian mau lakuin ini buat presentasi sidang opsek. Kalian mencari sampel melalui teknik lempar bola salju. Sama, buat konsepnya. Inget aja kalau van Gennep itu bikin tiga langkah. Gimana? Deal?

Sari: Oh, iya kak! Makasih kak, ngebantu banget itu penjelasannya kakak!

Gue: Alhamdulillah! Good to hear that! Jadi, selamat berjuang buat kalian semua, ya. Gue benar-benar berdoa dan mendukung kalian.

Hahaha, Alhamdulillah pembagiannya lancar tanpa sembelit... Eh, berbelit-belit! XD

Leny: Aamiin! Kak, besok kakak datang ke sini, enggak? Buat mentoring terakhir.

Gue: (tampang mengeluh) Ehm... Enggak. Makanya, sekarang ini jadi mentoring terakhir kalian.

Leny: Yah, kak!

Sari: Hush, Leny! Kak Ardi udah ngasih yang terbaik nih buat kita. Mana kita tahu kalau Kak Ardi punya kesibukan buat besok. Udah bagus hari ini Kak Ardi mau bantuin kita!

Leny: Iya, Sari! Maksud gua... Ehm, kakak enggak ditanyain sama Kak Devita gitu?

Gue: Lho, kok malah elo yang jadi khawatir sama gua XD . Iya, tentu aja gue ditanyain. Tapi, gue ngasih tawaran kayak gini, biar enak aja gitu. Sama-sama untung, Devita untung, gue juga untung. Besok gue mesti menyiapkan tenaga buat turun lapangan sama yang lainnya... Biasa, buat skripsi!

Rifqy: Oh! Iya, kak. Selamat berjuang, kak.

Vela: Wah, semoga sukses ya, kak.

Gue: Terima kasih buat kalian semua... Iya, jadi... Ada yang mau ditanyain lagi, enggak?

Sari: Ada, ada! Masih enggak ngerti soal penjelasan teknisnya nih, kak! Kok kenapa kita mesti pakai lempar bola salju, kak?

Gue: Karena kalian mencari sampelnya melalui sampel-sampel yang sebelumnya.

Dan berbagai pertanyaan dilontarkan terus. Hingga akhirnya, waktu untuk mereka melakukan ospek - sebuah kegiatan yang sama sekali tidak menyenangkan itu - telah tiba.

"BERBARIS SEMUA! INGAT YANG TERTIB!", kata Dwi dan Icha.

Oke, ini di luar urusan gue. Benci banget gue sama kata-kata kakak yang membentak adik kelasnya.

Ngomong-ngomong soal ini, gue waktu itu berbicara dengan Anis. Anis waktu itu enggak sengaja membaca blog ini. Kebetulan, rubrik yang ia baca adalah rubrik yang membicarakan dirinya. Ia lalu berbicara baik-baik dengan diri gue.

Anis: Di, secara enggak sengaja gue baca blog lo. Jadi, lo enggak suka bola karena takut dipeloncoin, ya?

Gue: ...

Anis: Enggak apa-apa. Akuin aja, kali. Jadi, kan gue bisa ngerti tuh.

Gue: ... Iya, gue benci sama perpeloncoan. Heran, kenapa sih buat yang menyangkut kompetisi atau ajang olahraga lainnya perlu banget ada acara perpeloncoan? Heran aja, kenapa kalau orang yang suka sama klub A mesti benci sama klub B. Dan otomatis, si A ini pasti benci banget sama fansnya klub B. Akibatnya, saling ejek satu sama lain malah timbul, deh.

Anis: Oh.

Gue: Iya, padahal kan enggak kayak gitu, caranya. Kita tahu kalau produk olahraga kan diciptakan oleh manusia. Sedang, yang namanya manusia itu kan enggak sempurna. Termasuk ciptaannya dia sendiri juga, sifatnya enggak sempurna. Enggak ada kan klub yang menang terus? Pasti suatu saat ia bakalan mengalami seri dan kalah.

Anis: Iya, Di.

Gue: Makanya, saling toleransi aja satu sama lain. Walaupun orang mau bilang kalau klub A itu jelek, ya yang namanya fans sejati... Pasti dia bakalan tersakiti. Dan pasti, dia bakalan tetap mau mendukung klub A. Karena, dia sudah menerima klub A dengan apa adanya.

Anis: Betul sekali, Di.

Gue: Iya... Kok, gue malah jadi pidato, Nis?

Anis: Lanjutin, Di. Enggak apa-apa.

Gue: Oh?

Anis: Ayo dilanjut, Di.

Gue: Hm! Ya, pada intinya, gue enggak suka bola karena takut dipeloncoin lagi. Gue udah sakit hati banget rasanya, mendengar kalau klub pujaan gue yang bernama Juventus itu dikata-katain melulu. Ada yang bilang 'Juventus tukang sogok wasit'-lah. Ada yang bilang 'Juventus mampus ada di Serie B'-lah. Bahkan, ada yang bilang 'Juventus goblok!' tanpa alasan yang jelas. Heran, apa sih haknya buat ngatain satu sama lain!? Hidup cuma sekali, kenapa harus mencari musuh dengan menjatuhkan satu sama lainnya!? Sayang amat kalau hidup ini isinya cuma orang-orang yang memusuhi kita. Hidup berasa rugi, itu!

Anis: Oke...

Gue: Entar dulu, Nis. Gue mau istirahat dulu. Capek gue dari tadi pidato melulu.

Anis: Iya, iya. Nah... Gue mau nanya satu hal dong, Di. Terus, kenapa lo milih auto-sport?

Gue: Gimana?

Anis: Iya, belakangan ini gue perhatiin kalau lo suka ngebarin gambar mobil balap di Facebook. Auto-sport kan setahu gue juga termasuk olahraga tuh. Correct Me if I'm Wrong ya, Di. Itu kan intinya, ya olahraga tapi pake bawa mobil sama bawa tim. Nah, lo enggak takut kalau suatu saat tim dan mobil pujaan lo juga dihina sama fans lain?

ASTAGA. SUNGGUH PERTANYAAN YANG KRITIS.

Gue: Bener, kok. Auto-sport itu termasuk olahraga. Egh.. Iya, ya..

Anis: Gue asumsiin, ada yang ngatain tim dan mobil pujaan lo, dan lo iya-iyain aja apa kata orang gak becus itu. Nah, terus lo putus aja lagi, dong? Lo jadi enggak suka sama auto-sport cuma... Gara-gara tim balap dan jenis mobil impian lo dikatain?

Gue: Egh... Gue... Emm...

Anis: Di, apa yang lo argumentasikan tadi udah benar. Tapi, analisisnya aja yang masih kurang. Berarti, lo mesti tahu apa dong jawabannya?

Gue: Iya, apa dong?

Anis: Di, coba pikir. Jawabannya ialah, mengacuhkan kata orang lain itu. Biarin aja orang lain punya pendapat kalau Juventus jelek, dan mobil impian lo jelek.

Gue: Nis, rasanya sakit!

Anis: Iya, mau enggak mau lo mesti bertahan dari ejekan-ejekan itu, Di! Diri lo harus kuat! Iya, emang apa yang lo suka punya sisi minus. Tapi, cuma karena sisi minus itu, masa lo jadi lupa sama sisi plusnya? Jangan dong, Di!

Gue: Ooh...

Anis: Dan seharusnya... Lo enggak lupa kalau ada lho kegiatan lain yang punya sifat perpeloncoan selain kompetisi sehat!?

Gue: Apaan, Nis?

Anis: Ih, Di. Masa lo lupa -,- . Itu! ospek jurusan!

Sontak kepala gue terasa pening.

Anis: Di, inget. Lo itu udah termasuk menjadi stake holders ospek karena lo menjabat dua posisi penting di himpunan. Yaitu, jadi kepala divisi majalah dan juga jadi kakak mentor. Mau enggak mau, lo mesti berpartisipasi buat hajat ini.

Gue: Iya, enggak... Ehm...

Anis: Nah, tapi partisipasi dari lo masih kurang, Di!

Gue: Hah!? Kurang apaan lagi, Nis!? Gue udah cukup banyak dan kerepotan membantu adik-adik menti gue! Bahkan, adik-adik menti kelompok yang lainnya juga kerap gue bantuin!

Anis: -,- Salah kaprah ya, bukan itu maksud gue, Di. Iya, peran lo sebagai kakak mentor udah sangat baik. Tapi, yang kurang itu aspirasi lo buat ospek ini. Di, adik-adik menti gue itu pada bilang gini ke gue, 'Bang Anis. Kata Kak Ardi, dia masih enggak tahu apa makna ospek.'. Gue tahu sih, maksud lo bilang gitu bukan karena lo ngatain ospeknya itu sendiri, tapi lo enggak setuju banget sama perpeloncoan yang ada di dalamnya.

Gue: Hm...

Anis: Nah, kenapa lo enggak tanyain hal ini kepada panitia!?

Gue: Yakali! Pasti mereka nolak permintaan gue mentah-mentah!

Anis: Nah, kan. Jangan pesimis duluan, Di. Lo pikir, coba. Lo ajuin, kenapa kegiatan begini dan begitu bisa memicu perpeloncoan. Kasih dasar dan alasan yang jelas. Sama kayak lo tadi kasih dasar dan alasan kenapa perpeloncoan itu enggak baik kalau diterapkan di kompetisi sehat. Kalau dalam konteks ini, ya kenapa itu diterapkan di ospek jurusan aja, gitu.

Gue: Nah, nah. Kalau gue udah bagus-bagus bilang juga, terus mereka tetap enggak menerima, terus gimana!?

Anis: Di. Enggak bakal ada yang berani nolak kalau dasar dan argumentasi lo udah bagus. Toh lagian, ini kan buat kebaikan. Ini kan biar opsek juruan kita bisa terhindar dari perpeloncoan. Kalau itu terjadi, ya bagus sekali, dong!?

Gue: Hm... Oke deh, Nis. Thanks buat masukannya.

Anis: Sama-sama.

...

Walaupun begitu, gue tetap enggak mau membicarakan hal ini kepada panitia ospek. Percuma. Mustahil sekali melihat ada ajang ospek yang bebas dari perpeloncoan sama sekali. Pasti, ada bumbu-bumbu perpeloncoan. Mau itu yang serius (benar-benar mencelakakan dan bahkan bisa menewaskan peserta ospek. Mirip sekali sama kasus STPDN yang udah lama berkicau dahulu) hingga yang main-main aja (cuma mau mempermainkan mentalitas peserta aja. Diharapkan agar si peserta tetap teguh. Ini sih, ospek pada umumnya yang terjadi di Indonesia, kok). Percuma. Percuma aja. Idealisme gue, gue pengen kalau acara ospek itu enggak ada hal-hal yang membuat peserta didik berpikiran aneh seperti kenapa mata mesti ditutup, kenapa mesti nunduk meram saat jalan, kenapa mesti nurut seratus persen sama seniornya, kenapa senior mesti suatu kali membentak peserta ospeknya, dan sejenisnya.

Andaikan... Kalau ospek itu kegiatannya jadi mirip-mirip sama seminar di hotel atau camping. Pasti seru banget, tuh. Mungkin, kalau seminar itu diselenggarakan sama berbagai tokoh peneliti ataupun profesor terkemuka dan dihadiri oleh peserta yang memiliki latar ilmu yang relevan dengan topik yang akan didiskusikan. Nah, enggak ada kan cerita kalau profesor atau peneliti mesti membentak pesertanya, atau nyuruh peserta nunduk meram, dan sebagainya, kan!? Mana ada! Kalaupun ada, seminar macam apaan itu!? -,-

(enggak... Dari lubuk hati gue yang paling dalam sih... Kenapa ospek itu mesti dipenuhi dengan perpeloncoan? Dengan kegiatan bentak-bentakan, pura-pura menghina dan mengancam, dan sejenisnya!? Karena, buat seru-seruan. Iya, kan enggak semua orang menganggap kalau hal tersebut memang seru! Agar kita dapat membentuk mental peserta menjadi lebih kuat daripada yang sebelumnya. Iya, jadinya bakal ada dua hasil: antara makin kuat atau malah kebalikannya, trauma-aprioris. Makanya, kalaupun kita mau membentuk mental peserta ospek menjadi lebih kuat, kenapa enggak dengan cara yang lainnya yang lebih beradab? Mental peserta opsek bisa kita perkuat melalui nilai-nilai budaya seperti ramah dalam berbicara, perilaku sayang senior terhadap juniornya, dan kejujuran. Bukan apa-apa, karena perpeloncoan itu kerap meliputi yang sebaliknya, kayak enggak sopan dalam berbicara, perilaku munafik senior terhadap juniornya, dan seringkalinya si junior kena PHP sama seniornya itu. Kenapa!? Kenapa enggak kayak begitu aja!? Beneran. Jauh lebih baik ospek jurusan gue itu punya materi yang dipenuhi macam-macam etika penelitian etnografi, tips agar bertahan hidup di tempat penelitian, berbagi ilmu mengenai antropologi itu sendiri, dan sejenisnya, Bukan ospek yang didominasi oleh pura-pura menghina maupun membentak, bukan yang itu!)

...

Gue lalu pulang ke rumah dengan kepala yang agak berat. Asu tenan. Minggu pertama di awal tahun baru disesaki sama jadwal penelitian pendahuluan alias preliminary survey. Dan, jangan lupa bahwa awal tahun ini juga kerap diganggu oleh kegiatan maba alias ospek itu sendiri. Gue bingung, di satu sisi gue mesti bilang 'makasih' karena dari kegiatan itu makanya gue tahu sama dasar skill mengajar (karena gue bercita-cita jadi dosen), tapi di satu sisi gue mesti bilang 'fuck you' karena... Itu terlalu bikin gue sibuk.
Saking bikin gue sibuknya, sampai-sampai gue jadi mesti mengundurkan diri dari persiapan ke London. Gara-gara itu, gue enggak jadi bimbingan sama tes IELTS. Juga, gara-gara kegiatan itu jalan skripsi gue mesti kesendat-sendat. Seharusnya, gue udah bisa melakukan preliminary survey dari dua bulan yang lalu dengan baik. Karena dihalangi sama kegiatan ini, gue jadi mesti mengulang penelitian pendahuluan tersebut lebih proper ketimbang sebelumnya.
WHAT THE FUCK!? -,-"

Salah satu halangan yang menghalangi diri gue menerjang skripsi adalah ospek jurusan. Ospek ini bentar lagi mau selesai. Setelah itu, gue enggak mau lagi berurusan dengan hal tersebut. Mau gue dipaksa buat hadir pas jadi alumni entar kek, gue juga enggak bakalan hadir. Ngapain. Ospek ini terlalu traumatis bagi diri gue. Kesan negatifnya lebih banyak muncul di perasaan gue. Sekali keinget, udah capek aja bawaannya, gitu. Ternyata, pas gue menjalani ospek saat masih maba dengan gue mengurus ospek saat gue udah jadi mahasiswa tua ini... Sama saja capeknya.
Dan, sama saja sia-sianya!

Gue tidur malam dengan cepat saking lelahnya. Esok paginya, gue terbangun dengan kaget karena dua ponakan gue nangis kencang-kencang. Walaupun mereka enggak ada di dalam kamar gue, tapi suara teriakan mereka mampu menembus kamar gue, lho. Jangan kira kamar gue adalah kamar yang kedap suara. Setelah itu, gue dengar ada pertengkaran antara Ipar, Kak Adis, Nyokap, dan Baby Sitter.

Ugh... Kepala jadi kerasa pening... Pagi ini kok enggak damai banget sih. Padahal kemarin udah ada konflik di kampus. Kenapa hari ini mesti ada konflik di rumah!? :"(

...

Huh... Maafin gue, adik-adik menti. Gue enggak bisa melindungi kalian dari perpeloncoan. Karena, gue bingung mesti ngapain. Gue udah punya cukup kesibukan seperti mengerjakan skripsi dan majalah. Kalau ditambah sama pekerjaan omong kosong ini, bingung gue mesti ngapain. Udah gue bingung, kenapa mesti tambah bingung juga!?

Sekali lagi, maafin gue ya adik-adik... Atas kekurangan dari kakak yang begitu lemah ini... :"(

Suatu saat, gue punya impian agar ospek itu mendingan konsep dan praktiknya bebas dari perpeloncoan. Gue pengen suatu saat kalau Antrop UI itu punya ospek jurusan yang konsepnya kayak seminar. Jadi, kakak-kakak panitianya bisa jadi pengurus dan penonton presentasi seminar. Kakak alumni bisa juga membantu mereka. Jadi, daripada kakak-kakak panitia membentak dan menghina yang enggak jelas kepada adik-adiknya, mendingan mereka semua bantuin adik-adik buat mempersiapkan dirinya di seminar. Presentasi seminarnya juga jangan disertai ancaman dan sejenisnya. Kalau bisa, kita undang bintang tamu buat nonton dan ngasih kritik itu... Berupa para ahli yang sanggup berpikir secara antropologis. Apalagi kalau profesor berhasil kita undang. Beh, alangkah beruntungnya kalau itu terjadi! Dan alangkah indahnya ketika Antrop UI tahu kalau anak-anak barunya itu bisa melakukan seminar! Ya, pasti hasilnya enggak bagus-bagus amat, gue yakin, sih. Namanya juga baru pertama kali, ya wajar kalau kesalahan itu banyak dan bisa dijelasin secara panjang kali lebar sama dengan luas -,-" .

Andaikan... Tapi, butuh berapa tahun agar hal tersebut bisa terjadi!? Entahlah! Tanyakan saja kepada rerumputan yang berjoget akibat hembusan angin! -,-"

These fucking bullshits are just made by the fucking idiots. And, these bullshits are nothing but hindrances for me to finish the damn honors thesis! Ugh! God Damn! What the hell! What the fuck!! What the heck!!! God, please give me the strength to overcome these odds!! I am begging You, because I am just an ordinary human being... Please, my God! Please! Grant my wishes, My Dear Lord! :"(

Rabu, 21 Januari 2015

Kepahitan di Awal Pengerjaan Skripsi: Inggris, antara Impian dan Kenyataan - Sebuah Cerita Sampingan

Ding dong. Ding dong. Assalamualaikum..!

Bel rumah tanda tamu datang telah berbunyi. Setelah mempersiapkan diri dengan rapi, gue lalu mendatangi pintu masuk rumah. Ada dua sosok orang penting yang gue kenal yang menjadi tamu di hari ini.
Dua orang itu ialah paman dan tante gue. Tatung Joko dan Oma Ce. Atau, gue sering memanggil mereka 'Om Joko' dan 'Tante Ce'.
"Ardi! Udah siap berangkat ke sana?", kata Om Joko dengan nada yang semangat dan tulus. Cocok untuk menyemangati diri gue di pagi hari yang cerah ini. Tante Ce juga berkata, "Hey, Di! Apa kabar kamu?" dengan tersenyum lebar.
Gue menjawab satu persatu, "Udah dong, Tatung! Baik-baik, Ce, hehehe! Nah, mau pake mobil yang mana nih?". Om Joko menjawab, "Pake mobil saya aja.".

Tidak lama kemudian, kami berangkat ke suatu tempat. Tempat tersebut ialah tempat pertemuan United Kingdom - British Council. Tempat yang memfasilitasi mereka yang mau memiliki kesempatan untuk belajar di Inggris.
Jadi... Intinya gue punya rencana mau ke Inggris nih, ceritanya?
Ya, betul.
Semenjak gue melihat ada beberapa kajian Antropologi yang begitu menarik di negara yang memiliki McLaren Technology Centre, gue langsung punya keinginan untuk belajar di negara tersebut. Saat itu, ada kajian yang ingin gue telusuri, yaitu konflik dan kekerasan pada jenjang Master of Arts di University of Sussex. Sungguh, sebuah hal yang menarik lantaran Inggris sepertinya memiliki hampir segalanya di bidang iptek. Ia punya berbagai usaha otomotif yang aduhai seperti McLaren, Aston Martin, TVR, Lotus, MG, dan lain-lain. Di sisi lainnya, ia juga punya berbagai tempat pusat ilmu pengetahuan yang begitu luar biasa seperti Oxford. Dan juga, termasuk University of Sussex ini.
Dan masih banyak kehebatan yang dimiliki oleh Inggris.
(karena masih enggak tahu juga, makanya gue mesti langsung ke sana. Mau enggak mau -,-)

Kami akhirnya tiba di sana. Setelah mendaftar masuk ke galeri, gue akhirnya mengantri untuk berbicara dengan salah seorang perwakilan dari University of Sussex. Ya, betul. Perwakilan ini tentu aja orang bule, segar dari Inggris!
Seketika di kepala langsung terpikir mengenai apa yang diinginkan di University of Sussex ini... Dengan dua kali bekerja... Menerjemahkan... Ke Bahasa Inggris, tentunya -,-.

Eh, tibalah giliran gue berbicara dengan si Mister...

Mister: Welcome to the University of Sussex. Here's the book. You may take a look of it.

Bule Inggris itu lalu memberikan buku katalog pasca sarjana yang ditawarkan oleh University of Sussex. Tentu aja, katalog ini bukan sekedar katalog belaka. Ini bentuknya jadi kayak buku tebal yang isinya keterangan bermuatan apa sih studi pasca sarjana yang ada di sini....

Gue: Yes, sir. Thank you for the warm welcome. Please, let me take my time to know the major....

Mister: Sure, take your time.

Hmm... Lancar. Setelah gue membuka bagian studi Antropologi...

Mister: So, please introduce yourself first?

Gue: Oh, yeah sorry I forgot! -,- So, my name is Ardi Pritadi. You can just call me Ardi. Hmm, my current study is in the Anthropology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia. Right now, sir, I am struggling with the seventh semester by preparing the honors thesis (honors thesis maksudnya itu skripsi). And, my current GPA score is 3.66 ...

Mister: Oh, very good!

Ya Allah. Wah, mister sih mesti tahu kalau 3.5 -nya Indonesia pasti beda banget sama Inggris. Iya, tapi kalau dianggap bagus juga sih, pastinya... Gue senang. Alhamdulillah, kalau begitu. Thank you for the compliment, sir :D .

Gue: Uhm.. So, now you know it, sir. Now, I am seeking for the post graduates in Anthropology... Especially in Conflict and Violence...

Mister: Oh, good to hear that. So, here we come. Unfortunately, the minor of Anthropology of Conflict and Violence is not in there right now. But, you can still study it under the two minors, which are Study of Anthropology and Study of Methodology...

Oh? Jadi, konflik dan kekerasan enggak ada? Hmm... Tapi, gue masih bisa pelajari di prodi M.A. Antropologi Murni kalau enggak ya di Kajian Metodologi...
No, fuck! Kagak mau gue kalau di Kajian Metodologi! Itu sih pada intinya belajar mempelajari orang yang sedang belajar *sup dawg! Iya, kalaupun gue mau milih, ya pasti gue bakalan milih ke minor yang pertama aja. Jatuh-jatuhnya malah jadi Antropologi Murni. Tapi, gue yakin sih dengan mata kuliah yang banyak dan lebih detail, bisa dipilih seenak jidat pasti... (bukan maksud gue menjatuhkan negara sendiri, sih) Pasti Antropologi Murni-nya lebih bagus daripada yang ada di Indonesia, gitu.

Gue: Ooh. Are there another studies of conflict except this, sir?

Mister: Now please take a look in Studies of International Relationship. In this programme, you can get the another minor, that is Conflict of Localities and National.

Yah. Kok gue malah dilempar ke HI? Dengan tampang mengeluh, gue berkata...

Gue: Oh! I am sorry, sir. But, I would only look to the essence of conflict itself. Especially conflict at educational institution like bullying. My assumption is, this minor of International Relationship will have to associate the problems between conflict of localities to the national level. I mean, how the local clashes will affect the nation and state condition... Hmm..

Mister: You were right.

Gue: ... So..?

Mister: Yeah. If you think that you can handle about the conflict in the context of its essence and basic humanities... So, please think of Study of Anthropology again.

Gue: Oh... Okay. So, I would choose Study of Anthropology, Master of Arts. Please, sir.

Mister: Good! Another thing is, you must have the minimum score of IELTS in 6.5 . And, you must have the minimum score of GPA about 3.5 and beyond. Oh, and please don't forget about the tuition fees and scholarships... To know these, you can go to this website...

Glek! Nilai IELTS minimal 6.5 dan IPK minimal 3.5! Mengerikan! -,- Lalu, gue melihat link mengenai pembayaran biaya kuliah berikut apa saja beasiswa yang akan ditawarkan...

Gue: Thank you, sir. Oh, I forget about one thing, sir. What's your name, sir? May I know your name, sir?

GUBRAK! HAHAHA! X"D

Mister: My name is George (dengan senyum yang lebar). So, my advice to you know is... Please, keep your track in a good way. Keep your GPA score above 3.5 . And, don't lose your hope to study Anthropology!

Don't lose your hope to study Anthropology... Jangan melepas harapan di dalam belajar Antropologi... Sebuah saran yang begitu indah buat diri gue, terutama buat seseorang dari Inggris yang baru saja gue kenal saat ini...
Orang Inggris yang pertama kali gue kenal memberi saran agar gue enggak boleh berputus asa buat Ngantrop? Oh! :"D

Gue: Thank you very much, sir.

Mr. George: You are most welcome, Di. We are waiting for you to study in this major of Anthropology. Se you soon!

:""DD

Pulang dari rumah, gue langsung mengistirahatkan tubuh sejenak.

Esok harinya, gue langsung membuat rencana untuk mencari tahu tempat les dan tes IELTS. Setelah tahu bahwa kantor IELTS berada di Fatmawati, gue ke sana bersama dengan Kak Titi dan Nyokap.

Tetapi...

Tetapi...

Tetapi...!

Di saat yang bersamaan, gue langsung teringat dengan berbagai gangguan yang masih mengganggu diri ini! Okelah, skripsi pasti juga mengganggu. Tapi itu kan emang buat ngelulusin gue. Tapi, gimana dengan yang lainnya? Revisi jurnal MPE? Mentoring? Antropos? Ospek jurusan (yang belum tentu juga gue ikutin, tapi kayaknya mesti gara2 gue punya peluang buat diganggu gugat sama temen2 yang wajib ikut. Maksudnya, jadi panitianya. Gak mungkin mereka sendiri bisa. Takutnya, bantuan gue diperluin)? Bantuin nyelesein tugas-tugasnya temen? Bantuin adek kelas? Bantuin beberapa temen di luar kampus? Kalau di kampus sering ketemu sama temen yang resek? Kalau di rumah sering diganggu sama dua ponakan? Kadang juga kalau di rumah sering banget gue dimintain tolong buat ini dan itu, padahal jelas-jelas gue lagi sibuk!?

Dan di satu sisi, gue mesti ngebagi waktu buat semua itu!?
GUE ENGGAK BAKALAN PUNYA WAKTU BUAT ITU SEMUA. WHAT THE FUCK!? :"(

Gue... Lalu... Membatalkan waktu luang buat les Bahasa Inggris. Gue enggak yakin, kalau semuanya bakalan berjalan dengan lancar. Berikut dengan gangguan-gangguan di manapun gue berada dan punya sifat yang begitu ganas... Gue batalkan semua itu. Gue tegang. Gue merasa lemas.

Gue mengundurkan diri.

(Don't lose your hope to study Anthropology... See you in Sussex!)

...

Akhirnya, gue memutuskan diri untuk menolak belajar di Inggris buat saat ini. Karena, gue harus bisa memastikan bahwa diri gue ini lulus terlebih dahulu. Percuma aja kalau gue lulus IELTS, tapi gue gagal 'mengeluarkan diri' dari kampus.

Hingga akhirnya, gue dikirimi sebuah link dari UKBC untuk studi alternatif di Antropologi. Ada sebuah universitas yang memiliki studi minor pascasarjana yang bernama Anthropology of Cyberculture. Ia berada di London. Ia bernama... University of Exeter...

Hm, gue harus bersyukur atau ngucap? Ini merupakan rejeki sekaligus bencana bagi diri gue.

Setelah melihat layar link tersebut, gue kembali fokus buat ngerjain revisi jurnal MPE. Enggak lama kemudian, gue bertanya kepada salah seorang staf mengenai soal Antropos melalui SMS.
Gimana lanjutannya? Tepat sekali, enggak dibales.
Heran, apa sih susahnya bales SMS. Iya, kabari aja berita terakhir yang ada. Gue nanya bukan maksudnya buat meneror kalian kok, melainkan emang kepingin tahu aja gimana kabar terakhir pekerjaan kita-kita ini! :"(
Beberapa saat kemudian, Apiz, Irin, dan Devita mempertanyakan bagaimana kabar Antropos melalui SMS. Well, once again to you all... Well, fuck you all! :"(

......

Di saat gue punya impian yang besar, ternyata ada dinding penghalang gue buat jalan ke impian besar tersebut. Semua halangan itu ada di sekitar diri gue, kenyataannya! Bukan jauh2 dari tempat impian alias dari Inggris, bukan!

Halangan itu merupakan pekerjaan-pekerjaan yang sedang gue geluti saat ini. Halangan yang begitu menyebalkan dan kerap merepotkan lahir batin. Karena, pekerjaan-pekerjaan itu bukan cuma gue aja yang mengatur. Ada berbagai manusia yang bekerja di dalam pekerjaan tersebut. Dan, susah sekali mengatur mereka buat bisa bekerja sama dengan baik. Alamak.
Sedih sekali rasanya kalau tahu ada beberapa teman gue yang enggak bisa diajak bekerja sama. Mereka enggak mengerti kalau gue punya impian yang besar. Mereka enggak mengerti kalau gue perlu menyelamatkan diri gue. Mereka cuma bisa merepotkan, cuma bisa meminta tolong. Dan, belum tentu mereka mau menolong balik diri gue. Karena, mereka enggak mau direpotkan entah kenapa. Sedih! Sedih!! :"(

Begitu juga dengan keadaan di rumah. Sedih rasanya punya keluarga yang kadang kurang bisa diajak bekerja sama. Sering gue bilang kalau gue punya kesibukan, maka gue minta agar gue enggak usah diganggu dulu. Eh, kenyataannya gue juga masih sering diganggu. Masih sering dimintain tolong. Mulai dari permintaan tolong yang masih gue anggap wajar hingga enggak wajar. Yang enggak wajar itu, misalnya dimintain buat nitip keponakan. Ngapain sih, anak orang lain dititip ke orang lain ini!? Orang lain ini kan juga belum tentu bisa mendidik anak tersebut!? Jujur, gue takut ngurus anak kecil buat saat ini karena kalau menjaga mereka itu udah termasuk mendidik mereka. Khawatir banget, kalau-kalau mereka berbuat onar ya akibat mereka mengimitasi perbuatan buruk diri gue. Di saat ini, kadang dua orang tuanya itu suka sibuk melalang buana di luar rumah. Mentang-mentang punya baby sitter yang gonta-ganti pula, mereka bisa aja ninggalin kedua anaknya itu. Uniknya, walaupun gue enggak pernah ngajarin mereka buat jadi anak bandel, tapi mereka sering banget jadi anak bandel. Iya. dua ponakan selalu bikin onar di rumah entah kenapa. Mereka juga kerap gangguin gue. Belum lagi kadang Kak Adis dan suaminya juga kerap bertengkar. Berisik banget, ampe pake teriak-teriak segala. Kadang juga, nyokap kerap berantem sama Kak Adis. Kadang juga ke Kak Titi. Sama juga, kerap pula pake teriakan segala. Giliran gue teriak-teriak pas lagi main game, semua pada panik mempertanyakan, "Kenapa Ardi teriak?". Dalam hati gue bertanya-tanya, "Kenapa kalian berani teriak sama orang lain? Gue teriak ke game, lho. Ke benda mati yang enggak punya perasaan. Jauh lebih baik daripada berteriak ke orang lain yang notabene punya perasaan!". Kapan gue bisa merasa damai di rumah sendiri, terus!? Sedih! Sedih!! :"(

Gue sedih di dua tempat. Baik di kampus maupun di rumah, gue bersedih hati :"(.

Lah, terus apa hubungannya dengan Skripsi? Pencarian studi ke Inggris ini jadi motivasi gue buat meluluskan diri dari UI dan melanjutkan pasca sarjana. Percuma banget ngambil pasca sarjana tapi sifatnya random, gitu. Lo kira ngambil pasca sarjana kayak ngambil sample penelitian, sistemnya sistem acak? Apa aja deh, yang penting pasca sarjana. Enggak, kan? Tentu, pasca sarjana ini pasti merupakan pilihan yang sesuai dengan hati nurani. Udah cukup sama cerita salah masuk jurusan buat program sarjana (ini kan banyak yang ngalamin, ya.). Kalau lo mau ambil S2 dan S3, jangan ampe kejadian nyasar keulangi lagi. Ngapain banget, kalau hidup ini bikin kita nyasar melulu. Ya, enggak?

Sedangkan, skripsi menjadi syarat utama buat lulus dari kampus. Yang penting, skripsi dulu selesai, Kalau yang lainnya enggak selesai, misalnya Antropos, Mentoring, Ospek Jurusan, dan sebagainya enggak selesai ya silahkan aja enggak selesai. Emang gue pikirin... (Walaupun pemikiran tersebut juga enggak harmonis dengan takdir, sih. Kenyataannya, Antropos, Mentoring, sama Ospek Jurusan selesai sebelum skripsi ini selesai. What the fuck!)

Halangan inti di antara semua itu ialah skripsi. Dinding yang besar. Dinding yang punya berbagai dinding-dinding kecil lainnya seperti Antropos, Mentoring, Ospek Jurusan, dan masalah keluarga di rumah...

Semua masalah. Semua masalah ada baik di dalam kampus maupun di dalam rumah. Semuanya.

Dan kalau begitu ceritanya, pasti... Pengerjaan skripsi harus disertai dengan rasa bersedih hati... Just... What the hell... What the fuck... What the heck is goin' on!? :"(

Walaupun, gue mesti... Tetap... Harus... Memelihara impian besar tersebut baik-baik di dalam hati nurani...!?

Ugh...

(Don't lose your hope to study Anthropology... See you in Sussex!)

Wejangan dari Mr. George menggaung di kepala gue. Ingat, Mr. George ingin melihat gue bisa studi di Inggris, lho. Studi Antropologi, tepatnya.
Apakah hanya karena dinding-dinding berjiwa bangsat tersebut, maka gue malah melepas harapan, malah berputus asa dari impian tersebut?
Impian tersebut memang besar. Tapi sebenarnya... Realistis apabila didampingi oleh usaha yang maksimal!
Entah Sussex ataupun Exeter... Gue harus tetap punya rencana buat ke sana... Walaupun kemungkinannya juga tetap kecil.
I don't want to lose my hope too, Mister! But... Well... You know that my challenges are still awaiting... The challenges everywhere... In the campus, and even in the home, too... The home that will not be safe as houses just like before... :"(
... Gue pengen bahwa suara tersebut beresonansi di Inggris sana. Atau, minimal di telinga maupun hati nuraninya Mr. George. Agar ia bisa berpesan dengan para koleganya di Inggris. Agar Inggris bisa tahu dengan masalah yang saat ini sedang gue.... Alami... :"(

(Don't lose your hope to study Anthropology... See you in Sussex!)

..... :"(

Senin, 19 Januari 2015

Masa Awal Pengerjaan Skripsi: Awal dari Perjalanan Besar

Inilah kisah gue dari Awal Oktober 2013 hingga Akhir Desember 2013. Perjalanan gue bersama dengan skripsi, berikut berbagai kegiatan lainnya yang kerap mengganggu urusan skripsi tersebut.
________________________________________

Pukul 22.13 WIB...

Gue berbaring-baring di tempat tidur sejenak.

Awalnya, gue berbaring sambil memejamkan mata. Setelah membuka mata dengan setengah hati, akhirnya gue baru bisa beranjak dari tempat tidur.

Gue beranjak dari tempat tidur karena baru saja kedapatan ide buat nentuin topik dan tema skripsi! Soalnya, bentar lagi gue mesti ngumpulin Statement of Intent (SoI) skripsi.

Yeah, here we go again...

"Mulai tiga minggu dari sekarang, tentukan kalian ingin menarik tema dan topik penelitian kalian untuk skripsi. Persiapkan SoI kalian dengan sebaik-baiknya.", kata Ibu Prof. Dr. Yunita Triwardhani Winarto setelah menutup Seminar MPE yang lalu.

Sontak semua mahasiswa yang berada di tempat teriak keras-keras.

Gue sendiri menghela napas dengan tegang. Sambil berkata di dalam hati, "Akankah perjalanan gue bakalan baik-baik aja? Masih ada beberapa pekerjaan di samping skripsi, bahkan di samping MPE yang belum selesai seperti kerjaan majalah Antropos. Sama satu lagi, jadi Kakak Mentor. Menyebalkan sekali rasanya, kalau tahu ada beberapa kerjaan yang belum selesai, padahal beberapa kerjaan baru yang lainnya udah pada siap ngantri. Waduh.".

Kejadian yang sudah berlalu itu tetap membekas di dalam pikiran gue. Hari ini merupakan dua minggu dari kejadian tersebut. Yang artinya, deadline SoI skripsi sudah berada di ujung tanduk.

Ugh! C'mon. Focus. Deep breath. Write your SoI, Di!

Gue menulis tema yang besar, yaitu modernitas. Sedangkan, topik yang mau gue sampaikan ialah modernitas dan ambivalensinya pada pedagogi Islam. Lokasi penelitian yang mau gue teliti ialah di SMP gue masa dulu. Yaitu, SMP Islam al-Azhar 3 Bintaro, Tangerang. Jadi, pada intinya gue mau melihat gimana sih modernitas itu bisa bermakna ambigu kalau terjadi di SMPIA 3 Bintaro...

MANTAP!

Kak Titi lalu masuk ke kamar untuk menyapa diri gue. Katanya, "Gimana, udah siap mau nulis skripsi apaan?". Setelah gue menceritakan panjang kali lebar sama dengan luas *apasih, akhirnya Kak Titi membalas, "Yup! Terus, kenapa Ardi lebih memilih masalah modernitas?".

Gue jawab, "Karena modernitas merupakan fenomena sosial budaya yang kerap berada di dalam keseharian kita. Dia itu ambigu. Dia bisa ngasih kita manfaat, tapi di satu sisi dia bisa ngasih kita kerugian. Dan, aku pengen melihat itu di dalam konteks pendidikan Islam.".

Kak Titi lalu berkata, "Ardi harus lega dan bangga. Jawaban itu menandakan kalau Ardi memilih topik itu karena memang kemauan Ardi. Karena emang passion-nya Ardi. Betul?". Gue menjawab, "Iya, modernitas itu jadi passion aku. Pengen suatu saat aku jadi Antropolog yang ahli di dalam subkajian cyber culture.".

Kak Titi lalu berkata, "Dulu, pas aku ngerjain skripsi, mesti dua kali lho. Awalnya ditolak karena aku enggak suka sama bahasannya. Yang kedua ini yang baru aku sukai. Karena aku suka sama yang menyangkut kanker dan wanita, akhirnya aku milihnya yang ini. Dan, apa yang terjadi? Alhamdulillah kerjaannya jauh lebih lancar dan hasilnya lebih efektif!".

Di saat itu juga gue kembali belajar akan pentingnya passion di dalam hidup,

Gue lalu mencetak pekerjaan tersebut yang isinya enggak lebih dari dua halaman itu. Setelah mencetaknya, gue simpan baik-baik di dalam map agar map itu bisa dimasukin ke dalam tas. Esok paginya, gue siap untuk mengumpulkan SoI tersebut.

Dua minggu telah berlalu. Di tengah-tengah gue sibuk membetulkan revisi jurnal MPE akibat kena kritik dari Mbak Dian, gue juga sempat keganggu sama beberapa tugas adik-adik 2013. Banyak di antara mereka yang minta bantuan ke gue. Karena gue khawatir sama anak orang... (iya, masa anak orang ditelantarin, sih), maka gue bantu mereka sebisa mungkin.

Apa aja gue bantu. Bahkan, seharusnya Kakak Mentor "hanya" diwajibkan membantu mahasiswa barunya buat mengerjakan tugas ospek jurusan. Tapi, pada praktiknya hal tersebut tidak bisa gue lakuin. Karena mayoritas dari kakak mentor banyak yang tidak bisa membantu menti-mentinya (menti: adik asuhan si kakak mentor), iya... Makanya semua menti yang enggak merasa terbantu ya lari ke gua.

Well, di saat itu jujur aja. Gue bingung, itu termasuk rejeki apa bencana, ya?

Mau rejeki apa bencana, jalanin aja dulu. Tentu saja, gue menjawab itu di dalam hati sambil menghela napas besar-besar.

Berbagai curhatan mereka juga acap kali gue tampung.

Q: Kak, entar pas hari H Ospek kita bakal dijahilin enggak?

A: Enggak begitu.

Q: Maksudnya "enggak begitu", kak?

A: Relatif. Ada yang kena jahil, ada juga yang lolos.

Q: Kak, kasih tips buat ospek dong.

A: Satu tips aja sih... Siapin mental dan fisik yang prima. Siapin mental buat bisa tahan banting sama perbuatan senior lo yang enggak seronok atau mungkin aja nyakitin hati lo. Kedua, siapin fisik yang sehat. Jangan ampe sakit. Di ospek itu soalnya lo bakalan dipaksa buat begadang. Makanya, intinya jangan lelah mental dan lelah fisik, dah.

Q: Kak, maksudnya hukum Hardy-Weinberg itu apa, sih?

A: (setelah googling akhirnya nemu juga) Hukum keseimbangan fenotip dan genotip. Intinya, kalau kawin di dalam kelompok itu bakalan menyeimbangkan ciri fenotip dan ciri genotip.

Q: Lah, apa hubungannya sama Antropologi, kak?

A: Entar nemu hubungannya deh sama konsep endogami.

Q: Endogami artinya apaan, kak?

A: -,- Endogami itu artinya kawin dalam kelompok sendiri.

Q: Kak, tujuh unsur kebudayaan itu dianggap penting kenapa, sih? Ini ada salah satu soal buat UTS Antropologi nih, kak.

A: Penting minimal buat bikin etnografi. Tapi, kalau etnografi klasik, dia bakalan nambahin dua unsur lagi, yaitu sejarah dan geografi lokasi penelitian. Tujuh unsur kebudayaan dapat digunakan untuk membicarakan "konteks" di dalam Antropologi. "Konteks" itu sederajat sama "variabel" dalam Sosiologi.

Q: Kak, Kak ABC tahun 2010 resek enggak, sih?

A: Kagak, kok. Emang kenapa? Kok dibilang resek?

Q: Enggak kak, hehe. Soalnya, tampangnya jutek aja.

A: Iya, banyak kok yang nyangka dia jutek. Bukan apa-apa, sebenarnya dia sih enggak jutek. Tapi, dari sananya aja dia udah punya tampang kayak gitu. Gue jujur lho, sebenarnya dia itu baik banget orangnya.

Q: Iya ya, kak? Tapi, kok...?

A: Lo mau fakta atau opini, dek? Kalau fakta, ya itu yang tadi gue sebutin. Kalau opini, ya berarti yang lainnya. Kalau opini, berarti dia "beneran" jutek.

Q: Kalau Kak Tango gimana, kak?

(setelah dia nanya itu, akhirnya gue menceritakan pengalaman naas gue akibat ketengilan si Tango di Desa Nunuk kemarin)

Q: Astaga, kak... Astaghfirullah...

A: Hey, dek. Lo punya temen seangkatan sendiri yang banyak, kan? Udah, sama temen seangkatan sendiri jangan saling makan temen deh. Jangan saling tusuk menusuk. Gak ada gunanya. Malah yang ada juga rugi. Karena, siapa lagi yang peduli sama angkatan lo, ya kecuali lo dan tiap-tiap orang dari angkatan lo sendiri.

Q: I... Iya, kak.

A: Sorry, bukan maksudnya pamer pidato, sih. Ini berdasarkan pengalaman pribadi aja. Jadi, gue banyak belajar. Dan semoga, lo yang mendengarkan bisa mengantisipasi kejadian naas tersebut. Jangan ampe lo dapet apa-apa yang gue alami itu juga.

(seminggu kemudian)

Q: Kak, si Kak Tango ngritik review punya kita. Katanya, "Goblok kalian! Tulis aja sendiri, ampe bener! Gue enggak mau bantu kalian kalau review-nya masih enggak bener!".

A: Kalian dikatain 'goblok' sama si Tango?

Q: Iya, kak...

(For God damn' sake! Why don't you just go to hell, Tango? Kalo hidup lo cuma bisa ngerepotin orang lain, mendingan mati aja sama masuk aja ke neraka, gih! Dasar bangsat! -,-)

A: Oke, sini. Yuk, gue bantuin ya bikin review-nya. Setelah selesai, kalian kumpulin ini ke Kak Tango. Abis udah diterima, ya kumpulin aja langsung ke Kak Devita. Inget, jangan sampai ada yang tahu ya kalau kerjaan lo ini dibantuin sama gue.

Q: Baik, kak. Makasih banyak lho, kak. Maaf kami ngerepotin.

(seminggu kemudian, Tango tutup mulut sama kerjaan hasil polesan gue tersebut dan dengan lancar review itu langsung diserahin ke Devita.)

(hingga akhirnya ada pertanyaan yang begitu absurd dan tentu saja itu berada di luar urusan gue...)

Q: Kak, siapa sih nama pacarnya Kak XYZ tahun 2011?

A: -,- (Wha? Know that, I am really pissed off by that fucking question!) Enggak melayani pertanyaan yang demikian, dek. Lo enggak usah kepo deh sama urusan pribadi orang.

Q: Maaf ya, kak.

A: Udah-udah. Kagak usah dibahas lagi.

Dst... -,- Huf! Pertanyaan apapun bisa gue jawab. Kalopun kagak, gue bakalan cari ampe dapet! Tapi, enggak termasuk pertanyaan yang terakhir tadi ya. Intinya, gue sebagai Kakak Mentor saat itu enggak mau melayani pertanyaan-pertanyaan berbau siapa pacarnya siapa, siapa nama orang tuanya siapa, dan sebagainya.

Karena, emang enggak penting juga.

Oke, itu sih yang tadi merupakan serpihan kecil-kecilan mengenai kerepotan gue selama jadi Kakak Mentor. Jujur, jadi Kakak Mentor itu menyenangkan tetapi melelahkan. Menyenangkan ketika gue bisa mengajak adik-adik baru buat bercengkrama dan saling bertukar pikiran serta perasaan. Melelahkan ketika banyak Kakak Mentor yang menghilang dan menelantarkan menti-mentinya. Tentu saja - balik lagi ke yang tadi - kalau si menti-mentinya ini ngerasa terlantar, pasti ujung-ujungnya pada lari ke gue.

Well, I am really happy but pissed off, too! -,-

Di saat yang bersamaan, gue masih belum bisa memastikan mengenai nasib jelasnya si majalah. Antropos oh Antropos. Gue sendiri bahkan sampai saat ini juga bingung, kenapa gue mesti dapet amanah buat ngerjain kerjaan kayak begini? Hmm... Tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang...

"Di, bentar lagi udah mau selese, kok. Ini lagi ada masalah sama desainnya aja.". kata salah seorang staf gue. Sontak gue menghela napas dengan berat.

Di saat itu juga, tiba-tiba Apiz dan Irin bertanya-tanya, "Di, kapan Antroposnya selesai? Ditanyain tuh sama para kerabat.". Baru aja gue mau ngejawab, eh datanglah si Devita menanyakan hal yang sama.

So, fuck you all!! :"v

.... What the fuck!?

Karena gue merasa pusing sama majalah, akhirnya gue beralih ke kerjaan skripsi. Enggak lama kemudian, gue dapet kabar kalau dosen pembimbing gue ialah Ibu Prof. Dr. Yasmine Zaky Shahab. Beliau merupakan dosen yang hanya pernah mengajari gue dua kali, yaitu tepatnya saat kelas Statistik Sosial dan kelas Antropologi Kependudukan berlangsung.

Gue lalu mendatangi beliau di Departemen. Ruang Departemen disesaki oleh orang-orang yang begitu khidmat makan... Gado-gado? Eh, ada acara apa, kok pake makan gado-gado segala? Agar tidak mengganggu suasana tersebut, gue memanggil Bu Yasmine dengan suara yang kecil. Dengan berbisik, saya berkata, "Bu, saya Ardi.". Beliau berkata dengan balas berbisik, "Di, saya Yasmine.".

Sontak Departemen menertawai tingkah laku gue yang begitu absurd tadi.

Cih. Gini, nih. Sekalinya gue stres dan banyak pikiran yang numpuk, perilaku gue juga ikutan enggak jelas. Gara-gara siapa sih gue jadi kena stres begini!?

"Yuk, Di. Kita bicaraian SoI kamu abis saya selesai makan gado-gadonya, ya!", kata beliau dengan bersemangat. Saya menjawab, "Oke, bu. Makasih. Saya tunggu di luar ya, bu.".

Gue menunggu di luar dan tidak lama Bu Yasmine menemui gue...

"Mas Ardi? Iya. Jadi, Mas Ardi lupa ngasih judul SoI. Terus, ada kalimat yang tidak efektif. Penjelasan mengenai topik mas juga masih berada di dalam tataran abstrak. Maksudnya, yang mau dilihat kan masalahnya itu yang terlihat jelas. Ada enggak sih masalah yang terlihat di SMP Islam al-Azhar 3 Bintaro itu?".

Stab stab stab. Berbagai kritikan dari beliau begitu menusuk lahir batin gue.

"Mas Ardi?".

"Iya, bu!", gue menjawab dengan kaget. Bu Yasmine lalu melanjutkan pertanyaannya, "Ada yang enggak ngerti, gak?". Gue lalu menjawab, "Bu, maksudnya tataran abstrak itu gimana?". Beliau menjawab, "Supremasi iptek kan nyangkut di pemikiran. Jadi, gak kelihatan, kan? Makanya, cari dulu yang kelihatan.".

Oh!

(... Walah, ada masalah enggak ya, di al-Azhar 3 yang bisa dibahas secara antropologis? Masalah yang nyata, lho. Yang bisa dirasakan secara empiris. Yaelah, kok malah baru kepikiran sekarang?)

"Nah, jadi tugas selanjutnya. Bikin lagi yang kayak begini, tapi lebih banyak. Lebih detail. Jangan mundur, maju terus. Yang namanya tulisan kamu itu enggak boleh berhenti di tempat. Biar bagus begitu perkembangannya. Jadi, buat sekarang ini, cari apa sih masalah yang gawat darurat, yang perlu diangkat secara antropologis? Oke. Coba, cari dulu di SMPIA 3 Bintaro itu ada apa sih?", kritik Bu Yasmine dengan tajam tetapi lembut. Gue menjawab, "Siap, bu. Saya kalau begitu balik dulu ke lokasi penelitian ya, buat benerin preliminary survey-nya!". Beliau menjawab, "Oke, ditunggu kabarnya, Di.".

Gue keluar dari Departemen. Pintu keluar Departemen itu telah disesaki oleh beberapa teman gue seperti Imam, Darsya, Giri, dan Ubed.

Sontak Ubed bertanya, "Gimana prof? Lancar?". Gue lalu menjawab, "Jadi, gini nih ceritanya kalau prof dibimbing sama prof, hahaha! Yah... Gagal total, bro. Gue mesti ganti semuanya. Mesti dirombak. Intinya, mesti kembali lagi ke lokasi penelitian buat nemuin apa sih masalah yang ada?". Giri lalu berkata, "Ya sabar aja, gan. Coba aja kejar apa yang bisa dikejar!". Darsya lalu ikut menimpali, "Tenang aja, sob. Pasti lo bisa lah!". Imam juga ikut nyerocosin katanya Darsya, "Tumben makhluk setengah coli bisa ngomong!".

Iya, orkestra tertawa kami berlima mengiringi pintu Departemen. Setelah itu, gue pulang dengan perasaan yang was-was, tentu aja. Sesampainya di rumah, gue tiba-tiba di SMS oleh Giri. Katanya, "Di, dosen pembimbing lo Bu Yasmine, kan? Hari ini beliau ulang tahun, lho!".

Hahaha, alamak. Pantesan, tadi kok di Ruang Departemen semuanya pada lagi makan gado-gado, selain dari Bu Yasmine-nya sendiri juga. Oh, ternyata satu ruangan itu ditraktir gado-gado toh sama beliau.

Sontak gue mengucapkan selamat ulang tahun bagi beliau. Beliau membalas, "Makasih ya, Di. Sukses juga buat kamu.". Good!

Seminggu kemudian, gue kembali mendatangi SMPIA 3 Bintaro. Dengan bermodalkan pakaian rapi, senyum seadanya, dan perilaku yang sopan, gue mengawasi lagi. Gue awasi dengan seksama...

Dan sayang... Gue masih belum mendapatkan inspirasi... :'( apa sih masalah yang sebenarnya terjadi di SMPIA 3 Bintaro dan sebetulnya, masalah itu bisa dikaji secara antropologis!?

Akhirnya, Bulan November 2013 datang juga...

Dua minggu kemudian, gue kembali ke kampus buat ngumpulin SoI revisi. Tentu saja, karena hasilnya yang masih begitu rabun gue kembali mendapatkan kritik. Kata beliau, masalah gue masih belum begitu jelas. Lebih lanjut lagi, beliau berkata, "Mas Ardi, coba banyak-banyakin baca studi kajian Islam seperti tulisannya Cak Nur (Nurcholish Madjid) sama yang lainnya. Di situ Mas Ardi dijamin bakalan dapat apa sih masalah yang biasa muncul di dalam pedagogi Islam. Mendingan baca dulu, ya. Abis itu, baru deh bikin lagi. Oke? Inget, baca dulu. Abis itu, baru cari inspirasi ke lapangan, ya?". Gue menjawab, "Iya, bu. Terima kasih atas bimbingannya buat hari ini." dengan ekspresi poker face. Sebelum gue menutup pintu ruang kerjanya Bu Yasmine, beliau juga berkata, "Ingat ya. Tulisan Mas Ardi enggak boleh ada yang stag. Kalau dua minggu depan saya masih melihat kerjaannya masih kayak hari ini, saya enggak akan menerima kerjaan itu. Pokoknya harus berubah jadi yang lebih bagus! Kalau emang Mas Ardi belum siap dan butuh waktu, boleh diundur ampe bulan depan. Yang penting hasilnya lebih baik, ya?". Gue menjawab, "Baik, bu. Terima kasih, bu." dengan tampang that feel... :'(

(Huh... Rasanya menyebalkan sekali mendapatkan stagnansi di dalam pengerjaan skripsi. Sakitnya itu kerasa lahir batin, soalnya)

Iya, gue putusin buat membenahi diri selama sebulan lamanya. Ada kemungkinan gue baru bisa kembali lagi ke kampus ya... Akhir-akhir tahun 2013 ini... :'( .

Gue lalu mencoba buat mencari dan membaca referensi soal pendidikan Islam a la Cak Nur dan yang lainnya. Hingga akhirnya gue menemukan karya dari salah seorang ahli dari Sosiologi Pendidikan bernama Charlene Tan. Beliau merupakan salah seorang professor di Universitas Hong Kong yang tertarik sama permasalahan pendidikan Islam. Salah satu karyanya menghasilkan teori yang disebut dualisme pendidikan. Intinya, dualisme pendidikan itu gimana sih kalau ilmu agama dengan ilmu-ilmu lainnya itu enggak bisa akur karena ketidakkompetenan guru dan muridnya. Menurutnya, yang paling banyak mengalami hal ini ada di Pesantren Tradisional. Kalau di sekolah Islam gitu malah enggak ada, karena murid dan gurunya udah pada pinter semua.

Tapi, apa salahnya kalau gue menguji hal ini pada SMPIA 3 Bintaro? Bisa aja kan teori itu gue bantah, karena kenyataan berikut hasil penelitian yang mau gue bikin ternyata menjawab kebalikannya!?

YEAH!

Tetapi, di saat yang bersamaan...

"Kak Ardi! Bantuin, kak! Esai kita yang dipresentasikan dapet 35! Jahat banget kerabatnya!", kata Leny yang bertugas sebagai ketua kelompok ospek jurusan gue dengan melas. Ngomong-ngomong, gue lupa bilang soal kenapa Kakak Mentor ini perlu banget bantuin mentinya. Ya, di hari H ospek nanti mereka bakalan disidangin hasil penelitiannya. Gue udah membimbing mereka dari tiga bulan yang lalu... Tentu saja atas permintaannya Devita... (Kalau atas permintaan selain Devita mungkin gue udah nolak, kali. Gue kagak tega sama Devita aja, sih. Makanya gue mau bantuin dia). Nah, sekarang ini udah bulan kelima. Tinggal sebulan lagi mereka harus ngumpulin esainya. Kemarin, mereka kedapetan giliran buat presentasi pra-ospek agar mereka punya persiapan buat menghadapi sidang di hari H. Eh, awalnya gue kira udah bagus. Kenyataannya, masih ada beberapa yang perlu direvisi...

Egh... Ada yang dibimbing, dan ada yang membimbing... Gue membimbing adik-adik menti... Tapi, di saat yang bersamaan gue juga dibimbing sama Prof. Yasmine... Hmm, di atas langit jadi ada langit, ye?

"Ayo, ayo, gue bantu ampe habis!", kata gue dengan terbata-bata. Setelah selesai pada pukul 17.15 WIB, akhirnya adik-adik menti gue dapat bernapas lega... (ya, gue juga bisa ikutan bernapas lega, sih). Leny berkata, "Horee!! Punya kita udah selesai duluaann!!". Kelompok lain yang masih kerepotan hingga saat ini menengok ke arah kelompok kami dengan ekspresi poker face.

Gue lalu berkata, "Bagi ada kelompok yang di sini yang ngerasa kerepotan. Boleh curhatin hasil esai kalian ke gue. Dengan syarat satu hal... Ini karena Kakak Mentor kalian enggak bisa nolongin kalian...".

Eh?

Kenapa gue malah nawarin bantuan dengan lepasnya? Apa karena gue gak tega sama anak orang yang lagi ditelantarin? Atau karena... Ini merupakan refleks tiba-tiba dari tubuh untuk berbuat kebaikan? Suatu hal yang enggak gue sadari buat saat ini, tapi baru gue sadari belakangan entar...!?

Tahu, ah!

Sontak tiga kelompok meminta bantuan dari gua! Wah! Sekali lagi, ini rejeki apa bencana, nih? Kelompok pertama adalah kelompok yang dicuekin oleh Tango -,- . Kelompoknya si Tango ini yang paling gue kenal bernama Indah dan Elok. Nah, kata salah seorang dari menti yang bukan merupakan diri Indah maupun Elok, "Kak Tango ngilang melulu, kak. Udah enggak ada kabar semenjak kami udah menyelesaikan review yang dibantuin sama Kak Ardi itu.". Gua lalu menjawab, "Iya... Mungkin gara-gara dia lagi sibuk sama skripsinya.". Adik menti itu sontak mengomentari, "Lah, tapi kan Kak Ardi juga lagi sibuk ngerjain skripsi!?".

Gue lalu menjawab komentar tersebut dengan nada yang lebih tinggi, "UDAH, NGAPAIN NGURUSIN URUSAN ORANG LAIN. ORANG LAIN INI JUGA BUKAN ORANG YANG BENER, PULA! Sekarang, mari kita fokus ke kerjaan kita terlebih dahulu! Sampai mana, tadi? Data sekunder buat Setu Babakan, ya?".

Nah, setelah gue membantu mereka hingga Adzan Maghrib berkumandang, gue mengajak beberapa adik-adik menti seperti Tanto dan Wahyu untuk bersama-sama menunaikan ibadah tersebut. Tanto berkata, "Haduh, Kak Ardi. Kakak Mentor kita cuekin kita juga, tuh. Udah ditelpon sama di SMS kok enggak dibalas-balas. Kurang greget apa, coba. Makanya, kita minta bantuan Kak Ardi biar makin greget.". Gue mengerut dan memasang senyum sinis karena bingung mau tertawa atau kesal mendengar cerita singkatnya si Tanto ini. Wahyu lalu menimpali, "Hey, To! Jangan bikin Kak Ardi kebingungan!". Sontak kami semua tertawa lepas di malam hari itu. Setelah itu, gue membantu dengan berkata, "Oke, kali ini menyangkut masalah locating the culture, ya... Unik juga nih, masalah penelitian kalian! Bagus, kok!" sambil tersenyum lebar. Tanto dan Wahyu ikut tersenyum.

Akhirnya, ada kelompok terakhir yang berbicara mengenai Warung Makan. Kelompoknya si Perez. Perez berkata, "Maaf ya, kak. Aku jadi minta bantuan kakak, ngerepotin kakak. Soalnya Kakak Mentor saya lagi ada urusan mendesak, katanya.". Gue menjawab, "No problem... (Actually is: Yes, it is my fucking problem, off course! Heran gue kok kenapa Kakak Mentor kalian bisa aja cuekin kalian seenak jidat! -,-)". Setelah gue membantu hingga selesai, kami akhirnya curhat terlebih dahulu.

Gue berkata ke mereka, "Gue punya cita-cita bisa ke Inggris, buat nerusin gelar pasca sarjana Antropologi di sana!".

Sontak mereka semua menjawab, "Aamiin! Ayo kak, pasti kakak bisa!". Perez lalu berkata, "Ah, Kak Ardi mah emang pantas. Emang bisa kok ke sana.".

(Hmm... Perez.. Mahasiswa yang berasal dari NTT ini... Jauh-jauh ke sini, buat mencari ilmu... Buat mencari kehidupan yang lebih layak... Dan secara khusus, untuk berinteraksi dengan diri gue dan... Mendukung cita-cita dan impian gue?)

"Aku juga pengen ke... Harvard... Ambil Economics...", kata Perez dengan nada yang kecil.

Gue jawab dengan nada yang tinggi, "Kita harus punya cita-cita dan impian yang besar! Enggak ada salahnya, kok! Asalkan kita tetap berusaha dengan baik! Pasti bisa!".

...

Hehehe. Terima kasih ya semua atas dukungannya :").

Hari sudah malam, dan gue mesti pulang. Sesampainya di rumah, gue langsung istirahat dengan pulas. Esok paginya, gue terbangun dengan kaget akibat tangisan dua ponakan gue. Haduh, lagi-lagi gue kebangun gara-gara tangisan dua bocah itu. Heran, kok bisa aja begitu -,-.

Gue lalu iseng-iseng membuka email. Dan, email itu berisikan mengenai permintaan tolong dari Tya 2012 dan Putri 2012... Mereka ingin janjian ketemu sama gue besok juga. Mengenai perihal disintegrasi, konflik, dan kekerasan di Brazil tahun 1990an...

Esok paginya, gue sampai di kampus dan memainkan laptop terlebih dahulu di Gedung N. Tidak lama kemudian, Tya dan Putri datang menghampiri diri gue. Mereka berdua minta maaf karena agak telat datang. Gue menjawab, "Enggak kok. Baru aja lima menit.".

Gue lalu membaca artikel tersebut dengan khidmat. Iya, bahasanya emang susah banget, sih. Setelah menerjemahkannya tiga kali, akhirnya kami menyelesaikan bagian pendahuluan hingga isi. Bagian simpulan akan kami bicarakan lagi minggu depan.

Gue lalu berkata kepada kedua gadis itu, "Hey. Kalau kalian tahu sama Grand Theft Auto, pasti kalian mengerti sama artikelnya. Jujur, bahasanya si artikel ini emang ribet parah sih. Tapi, coba gue pahamin, dan ternyata apa yang dihasilkan itu emang mirip sama GTA, lho.". Eh, keduanya sontak bertanya,
"Maaf kak? GTA itu apa, ya?".

Astaga, salah pengertian. Gue lalu berkata, "Hehe, itu salah satu game yang terkenal. Kalau kalian enggak biasa main game, ya tentu enggak tahu. Enggak sih, kalau emang kalian suka main game, terutama main GTA, itu bisa jadi clue buat memahami artikel pelik tersebut.". Mereka berkata dengan melas, "Maaf kak, kami enggak biasa main game.".

Iya. Wajar sih, kalau anak perempuan jarang yang mau main game. Shit, pikiran menumpuk jadi bikin perilaku gue enggak bener kembali, deh.

Esoknya pada dini hari pula..! Gue mendapatkan permintaan tolong dadakan dari Fai 2013 dan menti-menti yang lainnya. Karena hari deadline pengumpulan esai revisi semakin dekat, maka setiap dari kelompok maba tersebut pasti bakalan panik. Kecuali kelompok gue sih, karena kelompok gue udah selesai (hahaha, toast, hey group four! Hey, Leny, Rifqy, Shinta, Vela, and Sari! Uhuuyy! XD). Nah, kelompoknya si Fai ini minta tolong dari pukul 00.00 WIB dan baru bisa selesai pada pukul 01.46 WIB...

Gue lalu ketiduran di atas meja karena sudah tidak kuat lagi. Di saat yang bersamaan ada email masuk dari Fai yang berkata,
"Kak Ardi! Aduh kak, makasih banyak lho. Maaf banget ngerepotin. Sama, aduh... Maaf kak bingung mau ngomong apaan lagi. Bantuan kakak intinya berguna banget buat kami. Makasih banget lho, bantuan kakak begitu detail dan sangat mempermudah penelitian kami. Makasih ya, kak. Makasih...!".
Sedangkan, gue baru bangun setelah Adzan Subuh berkumandang. Dan, tidak sengaja membaca ucapan terima kasih itu.
Gue merasa berbahagia. Walaupun tepat sebelum di saat yang berbahagia ini, gue betul-betul menderita... Gue menderita di dalam menolong jiwa-jiwa yang sedang menderita juga. Gue cukup menderita menolong adik-adik menti yang ditelantarkan. Ditelantarkan itu mendiktekan penderitaan, bukan?

Lalu, bagaimana dengan skripsi?

Sontak gue kaget dan mencoba mengerjakan urusan sendiri! Haduh, cukup dulu deh dengan urusan orang lain. Kalau urusan dalam negeri aja belum keurus, gimana diri ini mau selamat!?
Yuk, tulis ulang SoI-nya...
Gue mencoba mengelaborasikan antara pemahamannya Cak Nur dengan Tan. Ternyata, enggak jadi. Jadinya, gue mau bikin elaborasi antara pemikirannya Tan dengan Azyumardi Azra serta Ahmad Najib Burhani. Intinya, elaborasi itu menyatakan bahwa asal mula dualisme pendidikan itu ada dari wacana atau discourse "Islam with a Smiling Face" yang ditulis oleh dua surat kabar dari Australia, yaitu Times dan Newsweek. Intinya, dia bilang kalau wacana tersebut ada di Indonesia, mengacu kepada keadaan umatnya. Kenapa umat Islam di Indonesia dibilang tersenyum? Karena, muslim Indonesia itu terbuka dengan demokrasi (ideologi negara), modernitas (iptek dan persaingan global), dan pluralitas (keberagaman). Nah, adanya dualisme pendidikan bikin wacana tersebut salah kaprah. Gimana Islam di Indonesia mau tersenyum kalau pendidikan Islam-nya enggak ikutan tersenyum akibat dualisme pendidikan!?

Oke. Enough said! Gue rencananya bakalan mengirim tugas tersebut tiga minggu kemudian. Nah, sebelum tiga minggu itu berlalu, gue kembali membantu Tya dan Putri untuk menyelesaikan bahan presentasinya tersebut. Setelah selesai, gue mendapatkan sebuah kabar gembira. Bahwa, Tya dan kawan-kawan berhasil mempertahankan presentasinya itu di depan Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin alias Pak Afid dengan nilai kelompok... 85..!

Wah, Alhamdulillah!

"Haduh, kak! Makasih banyak lho, kak. Kalau bukan Kak Ardi yang nolongin, siapa lagi ya?", kata Tya lewat telpon.

Gue tidak menjawab pertanyaan itu. Yang sesungguhnya nolongin lo sih, Allah Swt. Gue cuma membantu sedikit, kok.

Anyway, sama-sama Tya. You are most welcome. Semoga sukses buat Tya dan kawan-kawan.

Minggu depannya, gue mau melarikan diri ini dari cengkraman stres akibat skripsi dan berbagai gangguan lainnya. Iya, bikin aja rencana buat ajojing. Mayan, hitung-hitung nambah pengalaman juga. Pengalaman soal gimana sih rasanya bisa ajojing di dalam kampus. Bersama dengan Damar 2010, Yoga 2010, dan beberapa kawan dari maba, sekaligus adik menti, tahun 2013 ini seperti... Milka, Elok, Vhannya, dan lainnya...

KAMI MENGHADIRI JAZZ GOES TO CAMPUS!!! X""D

Kami berjuang dalam mengantri. Iya, antriannya panjang banget. Sesampainya di ruang tengah, gue bisa mendengar suara yang begitu enak... Melodi yang bisa bikin gue joget-joget... Kayaknya ada unsur Asian-African-nya, nih...

Dan belakangan, gue baru nyadar kalau lagu yang lagi dimainkan itu bernama "Love is Everywhere"... Ayo, tebak siapa yang mainin lagu ajojing tersebut?

UGH! THAT IS... KYOTO JAZZ MASSIVE...!!!

UOOHHH!! GUE LANGSUNG LARI NGIBRIT KE SANA !! X""D

Gue menikmati joget-joget di tribun tersebut dengan santai dan riang. Milka dan kawan-kawan melihat gue dengan tampang yang sinis. Karena kaget, gue berkata, "Eh, maaf! Harap maklum! Lagian nih musiknya emang buat ajojing, sih. Hehehe.".

Tahu-tahunya, bukan itu. Milka berkata, "Kak, kenapa enggak maju aja? Emang kakak bisa melihat panggungnya? Kakak terlalu ke belakang, lho."

Gubrak!

Akhirnya, gue maju hingga panggungnya agak terlihat. Sepertinya Milka dan kawan-kawan ingin menonton yang lainnya. Cuma gue sendiri yang menonton ini. Yoga lagi menonton bersama Elok. Gimana dengan Damar!?
Damar enggak bisa ikut karena tiketnya dihilangin sama bokapnya! What the fuck! Jadi, pas kita tadi tengah-tengah mengantri... Dia mesti berjuang mencari calo buat cari sisa tiket. Dan, dia dapet tiketnya tapi telat... Sayang, jadi dia enggak bisa nonton dulu buat tahun ini...
That feels... :"(

EMANG SIH! SUSAHNYA PUNYA BOKAP YANG KEJAM ITU KAYAK GITU! DASAR BOKAP ENGGAK BENER! -,-" :"(

KJM lalu menutup panggungnya dengan lagu "Thank You".. Ugh, alangkah indahnya... :"")).
Akhirnya, gue menikmati sisa tontonan seperti Barry Likumahuwa dan Andien bersama Yoga dan Elok. Setelah itu, gue pulang ke rumah dengan selamat.

Dua minggu berlalu dengan cepat. Akhirnya, gue memberanikan diri untuk mengumpulkan revisi SoI buat yang ketiga kalinya -,-.
Dan buat informasi aja... Di saat gue lagi ngumpulin revisi SoI ketiga tersebut, ada beberapa temen gue yang saat ini lagi mau menyelesaikan Bab 2 nya...
Wah... Cepat sekali... Heran, kok gue bisa lambat gini, jalannya. :'(
Setelah mengumpulkan revisian tersebut, minggu depannya gue dapet kabar dari Bu Yasmine. Katanya,
"Di. Sudah baik. Sudah jelas apa masalah yang mau diangkat. Jadi, silahkan Mas Ardi temukan lebih lanjut di turun lapangan selanjutnya mengenai dualisme pendidikan. Coba Mas Ardi tanyakan dan kontemplasikan tersebut apakah dualisme pendidikan memang penting buat dibahas apa tidak? Relevan kah? Kalau iya, Mas Ardi bisa selesaikan Latar Belakang...".

What a single step... To the another steps... We go!

Iya, begitulah kisah perjuangan gue menghadapi kejamnya masa tingkat akhir (++) di akhir tahun 2013... Semua enggak berjalan mudah. Gangguan itu ada di mana-mana. Di kampus, gue mesti bantuin teman-teman yang sedang menderita terutama di dalam urusan akademis. Di rumah, gue mesti kerepotan menghadapi dua bocah ponakan. Kadang gue juga keganggu kalau nyokap gue marah-marah ke Kak Adis dan suaminya itu. Kadang gue juga keganggu kalau Kak Adis dan suaminya itu sering berantem gara-gara kurang bisa membangun teamwork di dalam berumah tangga. Aduhai rasanya.

Sampai bertemu lagi di awal tahun 2014. Tetap simak dan baca kisah perjuangan gue ya. Mohon maaf apabila ada yang merasa tersakiti akibat membaca ini. Jujur, gue cuma mau mengungkapkan apa sih penderitaan yang gue alami. Gue enggak boleh melupakan hakikat kemanusiaan diri gue. Jadi, kalau ada yang heran kenapa gue begitu stres dari akhir 2013 hingga awal 2015... Itu gara-gara gue lagi mempertaruhkan masa depan gue melalui skripsi dan berbagai gangguan lainnya... Gue harap lo bisa simpati, dan bahkan empati sama gue. Please, coba mengerti. Coba pahami diri gue. Bahwa, diri gue juga merupakan manusia biasa....