Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Selasa, 12 November 2013

Malam itu Teman Berkata: Lakukan, Karena Ardi adalah Kebaikan

Ada malam lain yang memaksa gue kembali berkontemplasi.

Sekalipun fakta mengungkap bahwa yang terjadi justru malah sebaliknya: diri gue memaksakan diri buat berkontemplasi. Di tengah lembutnya kemurkaan Sang Rembulan dan Awan Malam yang tiada henti-hentinya menenangkan manusia yang memandangnya untuk istirahat malam.

Mengapa malam menjadi waktu yang cocok untuk berkontemplasi sekaligus untuk beristirahat?

Gue kira, hanya Allah Swt yang mengetahui jawaban ini.
Kita sebagai manusia hanya bisa menyimpulkan bahwa malam memang menjadi waktu yang ajaib untuk melakukan beberapa hal seperti:
1. Tidur malam menyiapkan tenaga untuk hari esok
2. Ibadah malam, berkontemplasi Atas Nama Yang Ilahi
3. Menenggelamkan jiwa raga ke dalam percintaan - sebuah hal yang wajib dilakukan oleh tiap pasangan yang dianugrahi Oleh-Nya dalam konteks mawadah atas dasar warahmah
4. Berdiskusi dengan teman yang kebetulan juga ikut begadang. Sekalipun Bang Rhoma melarang hal yang satu ini, tapi kalaupun terlanjut terjadi ya sudahlah
5. Stargazing - Sykscraper - gazing... Menatap keindahan budaya manusia dan (hanya sebagian) Karya Yang Ilahi dalam selimut Langit Biru Tua itu... Tanpa lupa memuji Nama-Nya.
Boleh juga, lho:
6. Olahraga... Tanding sepak bola pada waktu dini hari, mungkin? Bisa juga balapan FIA GT untuk meyemarakan suatu endurance racing event, mungkin?
Bahkan! Sampai-sampai kita bisa melakukan...:
7. Berbuat kriminal seperti maling dan memperkosa manusia (?).

Iya. Pantas saja Sang Rembulan dan kawan-kawannya murka. Tetapi, kemurkaan mereka semua - yang disertai dengan kelembutan - tetap saja tidak mempengaruhi manusia untuk bisa mereduksi kegiatan-kegiatan malamnya hingga tetap pada nomor pertama.
Nomor pertama? Tidur malam menyiapkan tenaga untuk hari esok.

Termasuk diri gue.
Kebetulan gue masuk ke dalam nomer empat.
Sekali lagi - gue memaksakan diri gue berkontemplasi dengan seorang teman yang bernama Imam. Tepatnya di bawah naungan Indung Semar Desa Nunuk, kemudian...
Imam gue ajak berbincang bersama di rumah, sembari menunggu Bacang datang ke rumah.

Gue: Imam, gue mau nanya sebuah hal.

Imam: Cerita aja.

Gue: Oke.

Imam: Ya, jangan sekedar nanya langsung. Ceritain dulu kenapa lo mau nanyain itu ke gua, gituloh.

Gue: Iya. Jadi gini, ketika gue kemaren berduka di RS Mitra Plumbon, Cirebon... Gue curhat bersama dengan Nendi. Nendi enggak suka dengan sebuah hal dari diri gue...

Imam: Hem.. Jadi, alasannya kenapa dulu?

Gue: Ya.. Gue sedih bahwa ada sebuah hal yang orang lain itu enggak suka sama diri gue...

Gue (lagi): Gini, Mam. Dia bilang ke gue bahwa diri gue itu terlalu baik. Dia bahkan capek banget nonton gue disuruh-suruh sama temen melulu. Dia juga bilang bahwa belum tentu semua orang yang gue tolongin itu bakalan bisa membalas hal yang sama dengan pertolongan yang pernah gue kasih ke diri mereka...

Imam: Oke...

Gue: Jadi, apa yang mesti gue lakukan? Apakah gue mesti serta-merta melakukan saran Nendi? Apakah gue mesti berhenti menolong orang?

Imam: Sebelumnya, gue boleh nanya satu hal enggak... Kenapa lo pengen nolong orang lain?

Gue: Orang yang gue tolong adalah orang yang gue cintai. Atau, orang yang gue tolong adalah orang yang gue kasihani. Mereka gue kasihani karena mereka benar-benar kekurangan sumber daya yang mereka butuhkan. Sedangkan, gue memiliki kelebihan dari sumber daya yang benar-benar mereka butuhkan itu. Gue enggak tahan melihat ketimpangan tersebut! Apalagi dalam konteks ilmu pengetahuan!

Imam: Oke, cukup. Kenapa lo gak bilang ini ke Nendi?

Gue: Udah. Tapi, Nendi tetap kekeh, makanya gue bingung.

Imam: Gini, Di. Nendi tetap kekeh karena dia terlalu sensitif sama lo. Dia kepikiran sama keadaan lo. Dan dia berusaha memposisikan dirinya dengan diri lo. Tapi...

Gue: Apa?

Imam: Orang bisa aja bersimpati, berempati. Tapi, orang lain enggak pernah bisa memposisikan dirinya dengan orang lainnya karena... Dia sendiri bukanlah orang lain. Dia adalah dirinya sendiri. Dia berhak buat mengatur hidupnya sendiri. Celakanya, dia enggak bisa serta-merta mengatur hidup orang lain, karena sebenarnya bukan haknya dia. Hak sepenuhnya, lho.

Gue: Iya...

Imam: Iya, Nendi dalam konteks ini gagal memposisikan dirinya dengan diri lo. Dia cuma bisa mentok ampe taraf empati. Ya, dia cuma kasihan sama diri lo.

Gue: Lho, gue jadi gak bisa mikir apa bedanya. Beda empati sama memposisikan diri orang lain itu gimana, Mam?

Imam: Empati itu cuma merasa, tapi tetep dari kacamata diri sendiri, bukan diri orang lain. Simpati itu empati yang paling dangkal. Memposisikan diri itu...

Gue: merasakan dan mengetahui betul kenapa orang lain itu berbuat yang demikian?

Imam: Tepat! Makanya kan, Nendi enggak paham sama argumen lo mengenai dasar lo berbuat kebaikan. Entah buat bayar utang lah. Entah buat anti ketimpangan lah. Dia selalu membalas dengan rasa kasihan ke diri lo. Dia khawatir kalau diri lo kelelahan pada akhirnya, Di.

Gue: Oke...

Imam: Tapi, lo mesti nyadar satu hal... Kasihan dan kelelahan itu ada di dalam diri Nendi, berasal dari diri Nendi juga. Enggak dari lo!

Bener juga. Menyeramkan, mendengar kata-kata kawan yang satu ini.

Gue: Oke... Jadi, lakukan apa yang mesti gue lakukan, ya? Ikuti hati nurani gua?

Imam: Ya. Karena hati nurani lo selalu menyuruh lo melakukan kebaikan. Ya, itupun berasal dari Yang Ilahi juga, jadi jangan menuhankan hati nurani Daripada-Nya.

Gue: Itu artinya gue Mempersekutukan-Nya dong, Mam.

Kami berdua tertawa keras memecahkan keheningan malam. Sang Rembulan sepertinya setengah kecewa dan setengah terharu melihat tingkah laku kami berdua.

Imam: Ya. Karena, diri lo sebenarnya bisa digambarkan dalam sebuah kata - kebaikan. Selanjut-lanjutnya, ya yang berada di bawah naungan kebaikan itu sendiri, kayak keadilan, kebersamaan, kebahagiaan, kelebihan sumber daya.

Gue: Lo terlalu memuji diri gue, Mam.

Imam: Ya. Tapi itu fakta.

Diri gue terperanjak.

Gue: Kok lo bisa serta-merta ngomong begitu?

Imam: Lihat teman-teman lo. Berbagai simpati empati muncul ke lo yang baik-baik. Salah satunya tadi Nendi. Rasa khawatir dan kasihan itu baik. Terus, Bayu dan lain-lainnya yang sering minta tolong ke lo. Mereka hormat ke lo. Hormat itu baik. Lihat Tango.

Gue terperanjak, lagi-lagi!

Gue: Ada apa dengan si Tango??

Imam: Ini cuma interpretasi gue aja ya, Di. Ada kemungkinan si Tango akan mengacuhkan diri lo setelah kejadian naas. Tapi, mengacuhkan di sini dapat diartikan segan. Segan itu baik. Segan itu model sarkastik dari hormat.

Gue: Oke. Tango segan sama gue.

Imam: Ingat kata-kata terakhirnya dia pas lagi debat kemaren sama lo, Di. Katanya, 'Di, gue belum bisa setulus lo.'. Sekalipun dia bohong, dia cuma bohong dalam konteks memuji lo. Dia jujur, dia jujur mengakui ketulusan lo. Dia jujur - dia terlalu malas untuk tulus seperti diri lo. Karena, dia enggak punya simpati terhadap diri lo yang tulus. Padahal, kata tulus kan berada di bawah naungan kebaikan. Ya?

Gue: Oke, cukup. Gue udah tahu simpulannya. Jantungan gue, dengernya.

Sekali lagi, kami berdua tertawa menyaksikan komentar terakhir gue tadi dengan seksama.

Mari... Kita sudahi kontemplasi malam ini.
Karena, kontemplasi malam ini telah menunjukan sebuah simpulan mengenai kaca diri gue: nama Muhammad Ardi. Muhammad Ardi adalah nama dalam diri gue. Dan dia itu artinya "Manusia Terpuji di Bumi". Sedangkan, terpuji juga merupakan kawan baik dari kebaikan. Terima kasih Ya Allah Swt, Engkau telah memberikan nama yang bagus ini. Terima kasih Mama, aku udah dikasih nama yang bagus sekali :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar