Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Rabu, 06 November 2013

Malam Itu Teman Berkata: Lo Terlalu Baik, Di

Kita adalah makhluk manusia.
Kita selalu mengarungi waktu yang telah Ia berikan baik2 kepada kita.
Apabila siang kita diharuskan bekerja, maka malam kita diharuskan untuk beristirahat.

Dan diri gue... Melanggar normativitas tersebut.
Apa yang gue lakukan malam ini? Tepatnya di RS Mitra Plumbon, Cirebon. Ketika gue dihadapi dengan kejadian naas. Apa?
Mencari ilmu di tengah malam? Egad, dan gue masih mengharapkan hal itu di tengah kejadian naas.
Gue masih haus akan inspirasi. Gue sedang mencari source of inspiration that I admire of.
Gue termenung sembari istighfar.

Sang rembulan mengomentari perilaku bodoh gue. Ia berkata dengan lembut namun tegas di atas langit sana, "Hai Ardi. Seperti yang udah gue bilang ke lo: kapan lo istirahat? Hari sudah malam. Gue udah berusaha menidurkan mahluk2 sejenis lo. Eksistensi kesadaran lo hanya akan mempersulit hidup gue. Hidup lo juga bakal sulit apabila lo kurang istirahat malam, lho. Oh, tunggu sebentar. Lo istighfar? Oh, karena ingin mendekatkan diri Kepada Yang Ilahi, atau berdoa mengharapkan ilmu-Nya datang percuma - hanya buat diri lo yang berada di tengah kegalauan ini? Ya Allah, aku bersaksi atas Nama-Mu, makhluk manusia memanglah makhluk yang rumit! Salah satunya yang bernama... Ardi Pritadi ini...!".

Gue kaget mendengar kata2 metaforis yang melayang menjadi sinistik a la Rembulan Malam tersebut!
Apa yang gue lakukan malam ini? Pikir gue, kemudian gue kembali lagi termenung. Kali ini dengan rasa yang shock.
Iya. Masih ada hari esok. Berharap dan berdoalah agar gue esok pagi bisa menuntut Ilmu Dari Yang Ilahi. Malam ini gue mesti istirahat. Kasihan sang Rembulan Malam hari ini - dia begitu kerepotan ngurusin bocah enggak jelas dari Bintaro ini.

Suara seorang pria tiba-tiba memecahkan heningnya malam ini. Kali ini suara seseorang tersebut yang mengagetkan gue buat kedua kalinya. Pria itu bernama Nendi. Dia enggak lain dan enggak bukan merupakan teman seperjuangan gue di kala meneliti di Desa Nunuk sekaligus teman yang baik buat menjaga Zae di RS ini.

Nendi: Ardi.

Gue: (kaget).

Nendi: Gitu doang kaget.

Gue: Sorry. Gue lagi kontemplasi, nih.

Nendi: Hidup lo berat bener. Gimana, jadi enggak bantuin gue bikin catetan lapangan?

Gue: Biasa. Ya, jadi, dong. Kapan lagi, Bu YTW kan besok datang.

Gue membantu teman itu sebisa mungkin. Dengan segenap pemikiran yang bisa gue ceploskan buatnya, gue ajukan tips2 singkat membuat catatan lapangan yang tentu saja hingga saat ini menjadi kesulitan utama sang antropolog maupun sang etnografer pada umumnya.

Gue: Gimana. Ngerti, kan? Pokoknya, di catetan ini lo mesti punya ingatan fotografer. Ingatan film, atau apapunlah itu. Di lapangan nanti, lo mesti permainkan empiris lo. Mutlak, wajib banget.

Nendi: Oke2... Susah juga ya.

Gue: Sebenernya enggak susah. Bukannya di tingkat tiga kita sering turlap buat bikin makalah UAS, ya?

Nendi: Emang iya, ya? Gue kira pas tingkat tiga kita cuma pelajarin teorinya aja.

Gue: Iya, buat bikin makalah kan mesti pake catatan lapangan.

Nendi: Gue gak pernah tuh bikin catatan lapangan yang proper pas bikin makalah.

GUBRAK! May Allah forgives you, my portly comrade :D

Tibalah sesi curhat ini dimulai. Kira2, ilmu apa yang gue dapatkan selain mengajari orang akan membuat catatan lapangan?
Malam ini menjadi drama yang membuat jantung gue berdetak lebih cepat. Siap2: kritik sinistik akan muncul juga. Buat malam ini, selain Sang Rembulan Malam, ternyata pria yang satu ini siap mengritik gue secara sinistik.

Nendi: Di, kenapa lo baik banget?

Gue: Mulai deh, lo nanya yang gak jelas. Buat temen seperjuangan sendiri kenapa mesti pelit sih?

Nendi: Iya... Lo nyadar gak? Kalo lo gini terus, gue gak yakin temen2 lo gak memanusiakan diri lo. Lo cuma dijadiin maskot akademis. Ketika temen2 gak punya kesulitan akademis, lo gak dibutuhin. Kerasa enggak?

Gue: Kadang gue merasa begitu. Tapi, apa gunanya mikirin itu. Toh, gue sudah dan selalu berusaha yang terbaik buat mereka.

Nendi: Dan mereka belum tentu berusaha yang bahkan sama baiknya kayak lo, Di.

Diri gue termenung mendengar kata2nya dia. Sadis. Tetapi, benar juga.

Gue: Ya... Kalo gue mikir gitu, artinya gue makhluk yang pamrihan dong. Gue bukan tipe orang yang suka minta orang lain ngebales kebaikan gue sih. Gue gak minta agar mereka ngebalas sebaik apa yang gue selama ini kasih ke mereka...

Nendi: Entar, Di.. Entar... Nah, enggak bagusnya di sini. Kita, manusia - tetap memerlukan balasan kebaikan agar hidup terasa aman dan nyaman. Ini sama aja kayak, lo mau nginep di hotel. Lo udah bayar mahal2, tapi kok hospitality nya gak ada. Pelayannya cuek. Bell boy nya gak mau ngangkatin barang2 lo. Gimana tuh, Di? Sayang kan, lo udah bayar mahal2 gitu.

Gue: Ya... Karena kita gak sendiri dan butuh bantuan orang lain, mutlak?

Nendi: Iya. Dan menurut gue, orang lain yang nerima kebaikan lo harus banget baik ke lo juga. Dengan cara yang lo suka. Lo inginkan. Tapi kan susah. Makanya, saran gue, mulai sekarang lo jangan terlalu baik ke orang deh.

Gue diam.

Nendi: Atau kita bikin gampang aja deh. Kenapa lo baik banget ke gua? Lo bantuin gue bikin catetan lapangan, malem2 gini pula. Kan lo bisa aja gak usah bantuin, langsung aja tidur malem? Atau enggak usah gitu - lo minta Bacang nemenin gue hari ini. Biar lo bisa istirahat malam di rumah Mas Warkim?

Gue: Eh... Karena gue mau bayar utang ke elo...

Nendi: (mengerut tanda bingung)... Utang apaan, Di?

Gue: Utang kebaikan. Lo hari ini udah baik2 banget nganterin gue naik motor, di jalur Pantura lagi. Lo juga bayarin bensin motor. Lo juga berusaha menenangkan Zae. Lo...

Nendi: ENGGAK SEMUA ORANG MEMIKIRKAN UTANG BERNAMA KEBAIKAN. Termasuk teman2 lo yang sering banget minta bantuan akademik ke lo.

Gue: ...

Nendi: Gini, apa yang lo dapetin abis lo ngasih bantuan akademik ke mereka?

Gue: Doa.

Nendi: Cliche. Semua orang yang kafir sekalipun juga bisa doa. Dan belum tentu doa mereka - temen2 lo yang nungging2 minta tolong itu - di-ijabah. Ada enggak yang konkret? Misalnya, lo dikasih contekan UAS sama mereka. Atau tugas lo dikerjain sama mereka? Atau gini, ada temen yang bisa kerja gara2 lo bantuin mereka. Lo dikasih link buat kerja juga, ga?

Gue: Enggak...

Nendi: Ya. Mereka enggak memikirkan utang. Bagi mereka, bantuan akademik lo itu merupakan hibah, bukan utang. Mereka gak perlu bales

Gue: Nendi...

Nendi: Jangan manggil nama gue. Gue minta lo mikir dan ngerasain sendiri, pake hati nurani sendiri, lah. Coba bayangin, coba jadikan itu kepercayaan - apakah benar apa yang lo lakuin ke mereka selama ini? Berguna buat mereka, ya iya. Tapi berguna juga enggak buat lo?

Gue diam seribu bahasa. Gue terpaku dengan kata2 sinistik yang isinya gue terima - benar juga. Apakah yang gue lakuin selama ini emang benar?

Gue kemudian menyempatkan dua mata ini memandang langit biru tua itu. Di sana tersaji pemandangan malam yang begitu indah... Yaitu, pemandangannya Sang Rembulan Malam yang diselimuti oleh kawanan awan - berjalan dengan syahdunya.

Gue bertanya kepada mereka.

Kawanan awan menjawab, "Sungguh pertanyaan filosofis yang mengganggu tidur. Hai anak Adam - mengapa engkau tidak kunjung2 tidur?".
Gue kaget.
Sang Rembulan bertanya, "Ada keributan apa ini? Lo tahu, hai awan - bahwa saat ini gue masih perlu menunaikan tugas mengheningkan malam agar makhluk2-Nya bisa tidur dengan lelap? Sebentar lagi Sang Surya Matahari akan datang. Gue harus bisa menunaikan tugas gue - sebagai pertanda diri gue bersyukur Kepada Yang Ilahi.".
Salah satu awan menjawab, "Lihatlah anak Adam itu! Dia masih berkontemplasi tanpa tidur malam terlebih dahulu! Bukankah ini memberatkan tugas lo, duhai Rembulan?".

Sang Rembulan murka sembari menumpahkan kasih sayangnya. Ia hari ini begitu tajam namun lembut khususnya ke diri gue.
Katanya, "Hai, Anak Adam yang bernama Ardi Pritadi. Lo sudah lelah, nak. Tidur, nak, TIDUR! Carilah ilmu di kemudian hari! Tugasmu buat yang saat ini ialah... Tidur, istirahat malam yang cukup. Sudah cukup hari ini buat berkontemplasi, mengerti maksud gue?".

Gue enggak menjawab pertanyaan sinis-metaforistik tadi. Enggak berani, soalnya. Gue langsung aja ke kamar tempat Zae istirahat. Di sana, gue melihat ada gulungan tikar yang telah disiapkan oleh kedua orang tuanya Zae. Kata sang Ibu, "Nak, kamu belum istirahat? Ayo nak, istirahat. Tidur aja. Enggak apa2 kok.".

"Punten, bu. Saya istirahat dulu ya bu. Terima kasih buat kebaikan ibu.". Setelah itu pandangan mata langsung gelap mencekam. Itu menjadi pertanda bahwa diri gue sudah sangat lelah menghadapi tusukan2 kontemplasi yang menghunus jiwa raga - pikiran dan perasaan... Nurani...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar