Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Senin, 04 November 2013

Gunanya Teman: Sarang Kontemplasi

Assalaualaikum Wr. Wb.

Hai pembaca, apa kabar semua? Semoga sehat selalu, lancar dalam aktivitas, dan tercapai dengan baik cita2 dan impian. Aamiin. Sampaikan salam ini buat yang enggak membaca ini ya :D bilangin ke mereka juga biar senantiasa sukses :).

Kali ini, gue mau cerita tentang gunanya teman.
Iya, masing-masing di antara kita pasti bakalan memiliki perbedaan pandangan dalam memandang teman. Betul? Betul sekali.

Mungkin ada di antara kita yang menganggap bahwa teman itu lebih berharga daripada orang tua. Kenapa? Karena orang tua belum tentu mengerti kita. Kalau kita curhat ke orang tua, belum tentu beliau mau menanggapi sesuai dengan yang kita inginkan. Misalnya, malah dibales marah2. Ya, enggak satupun dari kita yang berharap 'ingin dimarahi' dalam artian literal, bukan?

Mungkin ada di antara kita yang menganggap bahwa teman itu adalah teman yang 'sekedar teman'. 'Sekedar teman' ini memberikan kesan bahwa subjek yang bersangkutan bukanlah orang yang penting di dalam hidup kita. Wajar aja sih kalau kita sesekali berpikir seperti itu, karena kita toh memiliki pengalaman yang berbeda.
Menganggap teman sebagai harta benda hidup yang sangat berharga adalah sia2 karena si teman itu belum tentu menganggap kita sebagai harta benda hidupnya. Apakah betul? Gue pribadi gak peduli. Apakah itu opini maupun fakta ya jatuhnya bakalan sama aja. Opini dan fakta itu juga bentukan dari campur tangan kita2 sebagai manusia - yang bisa disebut dengan diskursus. Jadi, kalau ada kesepakatan, kalau ada ketidaksetujuan, anggap aja bahwa hal itu wajar.
Manusia berbeda, manusia itu berwarna-warni. Gak ada definisi tunggal yang bisa mendefinisikan keunikannya.
Termasuk mendefinisikan apa sih artinya teman itu. Teman sesama manusia lho, bukan teman beda spesies.

Dan buat gue: gunanya teman dalam hidup - salah satunya adalah sebagai wadah atau penerima sekaligus penampung pemikiran. Sebagai sarang kontemplasi. Anggap kita bakalan punya burung peliharaan yang bakalan dikurung di sarang agar ia gak ke mana2. Iya, burung itu dapat dianalogikan sebagai pemikiran kita. Sedang, sarangnya yang indah dan membuat si burung berasa aman dan nyaman adalah teman2 sebagai pewadah aspirasi pemikiran kita.

Hal itu terjadi ketika gue lagi sibuk2nya ngerjain makalah UAS Antropologi Terapan (Anter). Gue kebingungan banget mencari subjek apa yang pantes buat ditanyakan masalah pembangunan Apartemen Margonda. Awalnya, gue kira gue bisa mewawancarai penduduk sekitar Margo, betul? Salah. Susah banget kalau itu dilakukan - apalagi deadline tugas sudah ditetapkan dua minggu lagi. Kalau itu dilakukan, maka gue harus bina hubungan (rapport relationship) dahulu terhadap warga sekitar Margo. Sedangkan, ya gue juga berhak ngomong yang kayak gini dong: gue juga memiliki berbagai kegiatan turun lapangan lain untuk mata kuliah lain. Sekalinya bukan dalam turun lapangan, gue perlu belajar buat menghadapi soal uraian alias esai. Ribet deh, ya hidup calon antropolog atau etnografer itu - ya kayak begini.

Akhirnya, gue mencoba menenggelamkan diri terlebih dahulu ke dalam kontemplasi. Gue mencoba melihat metodologi yang ada di Anter pada akhirnya. Ternyata, ada sebuah jenis subjek yang bisa ditarik dan itu sangat relevan dengan jangkauan gue: informan kunci (key informants). Informan kunci artinya siapapun yang diasumsikan oleh si peneliti tahu akan keadaan sosial budaya di lokasi penelitian.

Ada dua orang mahasiswa yang lagi ngekos di situ, yang gue tahu. Yang gue kira (dan bener juga) bisa jadi subjek dari informan kunci. Dua orang itu emang merupakan sahabat gue semasa kuliah - dan tentunya jadi sahabat juga buat ke depan2nya. Dua orang itu bernama Darsya dan Abang Giri.

Sore setelah kuliah, Imam mengajak Darsya, Abang Giri, dan gue buat makan di kantin Fasilkom. Gue setuju2 aja tanpa kepikiran suatu apapun. Sampai akhirnya gue keinget sama tugas Anter, akhirnya gue minta izin ke mereka berdua. Kata Abang Giri, "Haha, ya enggak masalah, Di.". Bahkan, Imam malahan berkata, "Wah, gue ikutan dong jadi informan kunci, ahahah!".

Tempat duduk yang kami duduki itu semula menjadi tempat yang lezat karena makanannya yang murah meriah. Begitu juga dengan minumannya yang mampu dengan kompeten melepas dahaga kita. Selanjutnya, tempat duduk itu menjadi panas dan hangat akibat perbincangan kami yang begitu berat mengenai pembangunan Apartemen Margonda. Akhirnya, gue mendapatkan simpulan dari wawancara mereka bahwa pembangunan tersebut belum tentu direstui oleh warga sekitar. Pembanguann itu hanya direstui oleh the capitalist dan masyarakat berkelas atas (higher end-brow societies).

Gue pikir dan gue rasa, hal itu sih wajar2 aja. Karena, negara kita menganut paham neoliberalisme pasar, yang tentu saja ini ditentukan oleh petinggi2 negara alias pejabat. Emang sih, secara normatif kita menganut Pancasila yang sebenarnya berhaluan demokrasi kerakyatan. Tapi, kenyataan yang ada ialah kita menganut neolib itu. Sungguh sebuah kaca lanjutan dari bias barat yang disebut 'procrastinating domocratization a la Indonesia' - yang pernah disebut oleh Andreas Ufen - yang tentu aja bikin sakit hati para nasionalis - termasuk gua! But, we have to admit it, yea? :(

Guess what? Sejak kapan pula kantin Fasilkom itu menjadi gudang ilmu andragogik buat diri gue dan teman2 yang menjadi informan kunci itu. Sehingga, menuntut ilmu bukan cuma dari pedagogik alias dari perkuliahan aja, tapi juga di luar sana. Inilah yang disebut ilmu dewasa sejati.

Dan salah satu lembaga informal yang mampu mewadahi ilmu dewasa sejati ialah... Lembaga 'Teman sebagai Sarang Kontemplasi'... Gue berani mengatakan yang demikian karena dia memiliki struktur dan sistem sosial sendiri, yang beda daripada berbagai jenis lembaga informal lainnya... (ya, emang lembaga cuma terbatas di 'Lembaga Pendidikan' , 'Lembaga Kesehatan', dan sebagainya. Kalaupun toh itu bisa memenuhi kebutuhan tertentu, ya namanya ya lembaga, dong.).

:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar