Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Sabtu, 31 Januari 2015

Masa Awal Pengerjaan Skripsi: Stagnansi (1)

Tahun baru sebentar lagi akan dimulai...
Gue mencoba merayakannya seperti biasa di tempat keluarga besar gue biasa berkumpul bersama. Tepatnya di AUP, Pasar Minggu.
Tahun baru itu bernama Tahun Baru 2014. Sebuah tahun yang benar-benar menentukan kepastian masa depan gue. Maksudnya, akankah gue tetap tinggal di kampus untuk melanjutkan skripsi atau tidak? Kalau iya, akankah gue melanjutkan diri ini buat belajar ke Inggris sana? Kalau tidak, apa yang mesti gue lakukan?
Sekelumit pertanyaan itu menghantui kepala gue.
Yang artinya, gue sama sekali enggak bisa menikmati malam tahun baru ini akibat sekelumit pertanyaan tersebut.

Oh, akhirnya hitungan ke nol sudah berlangsung! Yeah, selamat tahun baru 2014, kalau begitu...

"Selamat ulang tahun... Baru... Dua ribu empat belas...! Ehehe...", tukas salah seorang reporter di Stasiun TV X.

Sontak kami semua sekeluarga tertawa terbahak-bahak akibat slip-tongue yang dilakukan oleh reporter tersebut. Kasihan benar! X"D.

Lalu, kami pulang ke rumah masing-masing. Gue sendiri merasa hampa, karena setelah ini gue masih punya beberapa pekerjaan seperti mengurus ospek jurusan dan skripsi.
Nah, berhubung ospek jurusan udah gue tulis di bagian sebelumnya, kali ini gue bakalan mengalihkan urusan ke skripsi. Iya, jadi... Apa kabar dengan skripsi gue? Alhamdulillah, walaupun jalan, tetapi... Tidak berjalan begitu mulus... :"(

Setelah selesai mengurus urusan ospek jurusan yang aduhai enggak jelas itu, akhirnya gue melanjutkan diri untuk fokus kembali terhadap skripsi. Setelah gue meyakinkan Bu Yasmine untuk memilih topik dualisme pendidikan, gue disarankan oleh beliau untuk melakukan beberapa preliminary surveys yang paling proper.
Mengapa yang paling proper? Karena, preliminary surveys ini akan menjadi penelitian pendahuluan terakhir buat skripsi. Setelah ini, akan dilanjutkan kepada penelitian yang sesungguhnya.
Artinya, gue bakalan mencari tahu apakah masalah mengenai dualisme pendidikan ini benar-benar penting untuk dibahas atau tidak bagi SMPIA 3 Bintaro.

Gue lalu melakukan penelitian ini pada tanggal 21-23 Januari 2014. Selama tiga hari itu, gue banyak bertemu dengan beberapa subjek seperti Pak Akrom, Pak Kus, dan Pak Khomeini. Ketiga guru itu merupakan guru Pendidikan Agama Islam. Berikut ini merupakan komentar singkat yang diajukan oleh beliau sekalian mengenai dualisme pendidikan di SMPIA 3 Bintaro.

Pak Akrom: Dualisme pendidikan itu enggak ada. Karena, pada hakikatnya, pendidikan agama dengan pendidikan yang lainnya memang sudah bersatu dari dulu hingga sekarang, dan tentu saja buat yang ke depan-depannya. Kalau ente mau sukses di dunia ya harus pakai ilmu pengetahuan selain agama. Kalau ente mau sukses di akhirat, ya harus pakai ilmu agama.

Pak Kus: Manusia merupakan makhluk pencari kebenaran, Di. Sifat pencarian kebenarannya itu merupakan fitrah, atau default mode yang udah dibikin oleh Allah Swt. Terbukti dari Surat al Fatihah yang berkata, "Tunjukilah aku jalan yang lurus". Nah, manusia mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan selain agama. Karena, senjata yang ia miliki buat mencari kebenaran itu datang dari kelima indranya, alias empiririsme. Tetapi, selama ia mencari kebenaran, kan ujung2nya selalu bernuansa trial and error. Gimana caranya mengetahui dia berhasil? Ya, ia perlu dipedomani oleh Kitab Suci, alias al-Quran. Jadi, ia boleh mencari kebenaran sepuas mungkin, asalkan tetap harmonis dengan apa yang dikatakan Oleh Allas Swt...

Pak Khomeini: Dualisme pendidikan itu hal yang naif sih, Pak Ardi. Enggak ada cerita kalau ilmu agama dan selain agama itu enggak bisa digabung. Pasti bisa. Kalau muslim mau sukses, ia harus punya kedua ilmu tersebut. Ia harus menambah ilmu pengetahuan selain agama sesuai dengan yang Ia Ridhoi. Gimana caranya biar Ia Ridho? Ya, pelajari ilmu agama.

Enggak lama kemudian, datang Pak Ikhun dan Pak Dar. Beliau sekalian merupakan wakil kepala dan kepala sekolah SMPIA 3 Bintaro ini. Ada komentar singkat yang begitu penting untuk dicatat...

Pak Ikhun: Kalau itu sih, kita bisa meyakinkan ke Pak Ardi kalau dualisme pendidikan memang pada dasarnya tidak ada... Tetapi, pada praktiknya...

Pak Dar: Iya, susah untuk dibuktikan sih, pak! Karena, walaupun guru sudah paham, tetapi belum tentu anak bisa paham, kan? Tadi kata kamu, dualisme pendidikan bisa terjadi kalau salah satu, atau dua-duanya, dari anak maupun guru tidak bisa memahami harmonisasi antara ilmu agama dengan yang lainnya, kan?

Gue: Iya, pak. Betul. Hmm, jadi, kira-kira dengan asumsi seperti itu bolehkah saya meneliti di sini?

Pak Dar: Buat alumni apa yang enggak kami bantu, sih! (tertawa))

Gue: Iya... Maksud saya, apakah penelitian ini memang pantas untuk dilakukan, pak?

Pak Ikhun: Boleh. Buat menguji, apakah dualisme pendidikan itu ada atau tidak.

Pak Dar: Setuju. Yang penting kamu tahu itu dulu. Saya juga enggak yakin sih, apakah anak ngerti apa enggak. Nah, soal anak, itu urusan Pak Ardi, ya!

Pak Ikhun: Atau, entar bisa juga dikomunikasikan sama Public Relationship, barangkali ya, pak?

Pak Dar: Oh iya! Ide bagus tuh, Pak Ikhun! Coba anda komunikasikan kepada Pak Eman sama Pak Maman, barangkali bisa. Biar kamu bisa dapet sampel anak-anak. Boleh juga sih, anak-anak OSIS kalau diwawancara. Lebih gampang, pasti. Kualitatif, kan? Kalo iya, jawabannya mesti panjang-panjang, tuh. Anak-anak OSIS sih, mudah-mudahan jauh lebih kritis daripada rata-rata anak sepantarannya.

Gue: Oh. Iya. Baik, pak. Siap. Akan saya laksanakan. Terima kasih ya Pak Ikhun, dan Pak Dar. Maaf saya merepotkan!

Pak Ikhun: Apa yang kami bisa bantu, ya kami bantu.

Pak Dar: Sekali lagi, buat alumni apa susahnya sih buat dibantu? Alumni dari UI pula! Waah! (tertawa)

Gue ikut tertawa sekaligus tersipu malu. Iya, benar juga. Tanpa disadari sepenuhnya oleh gue, gue kan juga secara enggak langsung ikutan membawa nama Universitas Indonesia ke dalam sekolah ini... Akibat skripsi yang bakalan gue lakuin ini, tentunya.

Haah... Betapa beruntungnya diri gue ini... Penelitian besar kedua yang gue lakuin ini bakalan juga banyak dibantuin sama para subjek. Bukan apa-apa, pasalnya pada penelitian pertama gue saat di Desa Nunuk silam lalu, gue juga banyak dibantuin sama para subjeknya. Aah, is this the name of.. inter-subjectivity? Kayaknya, inter-subjectivity enggak cuma ada saat etnografer atau peneliti bisa memberikan jalan tengah antara objektivisme (fakta di lapangan) dengan data penelitian tak terbatas yang enggak lain berasal dari para subjeknya itu sendiri. Karena gimanapun, data penelitian yang berjiwa kualitatif itu perlu diklarifikasi sebaik mungkin oleh si etnografer pada akhirnya, kan?

Sebulan berlalu dengan cepat. Pada pertengahan Februari, gue disarankan oleh Bu Yasmine untuk mengerjakan latar belakang. Setelah latar belakang itu selesai, tiba-tiba Bu Yasmine berkata melalui email. Katanya,
"Di. Latar belakang kamu tidak memuaskan. Kamu ganti lagi, gih. Saya jadi enggak yakin apakah penelitian ini memang penting atau tidak, sih?".
Astaghfirullah.
Ya Allah, ini udah Bulan Februari. Dan gue masih aja stag di bagian latar belakang. Egh... What do I do? What do I fucking do!!?? :"(

Dan akhirnya, pada akhir Februari gue kumpulkan latar belakang yang kedua kalinya. Gue sudah bisa memastikan, dan meyakinkan, bahwa hasil ini pasti bakalan jauh lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Karena, gue udah bisa menerima kritik itu dengan baik, maka gue otomatis tahu apa yang mesti dikerjakan.
Tetapi!
Bu Yasmine kembali memberikan kritik negatif. Beliau berkata, "Di. Sebelum kamu menulis latar belakang, sepertinya kamu perlu me-review beberapa buku yang akan kamu baca buat dijadikan referensi di latar belakang.". Gue bertanya, "Gimana, bu?". Beliau menjawab, "Iya. Coba, kamu baca bukunya siapa aja, sih?". Gue jawab, "Saya itu baca bukunya... Charlene Tan, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Ahmad Najib Burhani, sama Zygmunt Bauman...".
Beliau berkata dengan singkat, jelas, dan padat,
"Review semuanya itu dulu.".

Ah?
Gimana!?

Beliau kembali berkata buat menglarifikasi, "Saudara review dulu semuanya itu dulu. Setelah selesai, kumpulin semuanya itu dulu. Setelah saya baca apa yang sudah saudara review, baru saudara bisa lanjutkan latar belakang sesuai yang akan saya pintakan!".

Gue membantah dengan halus, "Ah, ibu...!".

Beliau lalu membantah (pula) dengan halus, "Saudara mau sukses apa tidak skripsinya? Lagipula, saya ingin tahu review-nya biar saya bisa tahu apa yang ada di pikiran saudara. Kalau saya sudah tahu, saya jadi bisa meluruskan apa yang akan saudara tuangkan nanti di latar belakang. Paham!?".

Gue menjawab, "Baik, bu... Terima kasih atas bantuan ibu. Akan saya buat lima review itu...".

Ugh! Lima review! Lima review! Setelah gue bikin latar belakang buat kedua kalinya dengan susah payah, gue bukannya menemui jalan untuk maju ke sub bagian selanjutnya tapi malah kesasar ke tugas yang lain. Ada jalan lain yang mesti gue tempuh, yaitu menulis review! Lima biji pula! Udah kayak tugas kuliah yang biasa gue lakuin sekitaran... Dua tahun yang lalu, aja! -,-"

Oke, gue review... Dengan berat hati.
Seperti biasa, gue melakukan review itu di saat pagi hari di dalam kamar. Saat mood buat kerja sudah terpenuhi di sanubari, eh... Bocah-bocah ponakan pada nangis dari luar kamar... Dan seperti biasa, kebisingan tersebut begitu memecahkan konsentrasi berikut mood buat bekerja.
Egh... Kapan lagi gue bisa lanjut kerja? Oke deh, besok aja lah!
Tetapi, besoknya juga demikian! How fucking lame! Tapi, kali ini ditambah dengan berisiknya suara nyokap sama Kak Adis lagi berantem. Atau kadang juga suara berantem antara Kak Adis dengan suaminya itu. Atau kadang juga sama baby sitter. Atau kadang juga sama pembokat. Atau kadang sama juga... Egh... Emang gue pikirin...
Walaupun itu berada di luar pikiran gue, tapi entah kenapa kebisingan itu mengganggu sekali. Bahkan, kalau ditandingin sama suara mobil performa tinggi seperti Ferrari 458 Italia, kayaknya malah lebih mengganggu suara orang-orang kagak jelas itu, dah! Bukan apa-apa, teriakannya itu udah pake bahasa yang kasar, menyakitkan, dan enggak jelas pula, sifatnya masif dan intens pula! Efeknya itu, menyakiti dan mengagetkan hati, tahu! Mendingan suara mobil performa tinggi, makanya!  Karena sesungguhnya suara mobil itu bukan suara yang bersifat menghina, walaupun terkadang mengagetkan juga, sih.
WHAT THE FUCK! HEY FUCK YOU ALL, GODDAMMIT! GUE LAGI MAU KONSEN BUAT MEMASTIKAN MASA DEPAN GUE, NIH! JANGAN DIGANGGU GUGAT, KENAPA!? :"(

... :"(

Maret akhirnya datang... Dengan cepat dan mengagetkan, tentunya! Karena merasa galau tingkat tinggi, gue memutuskan untuk mencoba melakukan beberapa jadwal di bulan ini. Pada dua minggu pertama, gue bakal ke kampus buat ngerjain review dan mengobrol dengan beberapa sahabat. Pada minggu ketiga, gue akan mencoba melakukan penelitian selanjutnya. Penelitian selanjutnya ini akan membahas mengenai data temuan lapangan, yaitu sistem terintegrasi. Entar gue jelasin deh apa maksudnya itu. Nah, akhir bulannya gue akan mengumpulkan kelima review via email.

Huft. Dengan bermodalkan bahan buat belajar dan tampang bloon, gue datang ke kampus dan enggak sengaja bertemu dengan si Botak. Si Botak ini merupakan salah satu teman sejurusan gue. Tenang aja, julukan "Botak" ini bukan maksudnya buat menghina nama baiknya kok. Nama akrab, I'm just saying it at all.

Botak berkata, "Hey, Prof! Apa kabar!?". Gue menjawab, "Not so fucking well, nigger. Stress nih gua, Tak! Bayangin, gue masih stag di bagian latar belakang. Itupun belum tentu gue bisa ngelanjut kalau gue belum selesai review.". Botak lalu bertanya dengan ling-lung, "Hah? Review apaan?". Gue menceritakan mengapa gue mesti membuat review itu. Setelah itu si Botak menjawab, "Wah... Sabar ya Prof. Mungkin maksudnya buat kebaikan Prof juga kali, ya. Coba aja bikin dulu semua review-nya. Kalau udah, kumpulin. Terus lakuin deh apa yang Bu Yasmine mintain.". Gue menjawab, "Iya.". Lalu, gue melanjutkan, "Sekarang sedang ngapain, nih?". Dia berkata, "Gue lagi nyusun Bab 2. Bentar lagi udah mau selesai dan gue mau lanjut ke Bab 3.".

Bangsat. Si Botak udah nyampe aja ke Bab 3. Enggak, gue bukan maksudnya iri kepada kesuksesannya si Botak hingga sejauh ini. Kebalikannya, gue malah bersyukur dan salut sama si Botak, lho.
Gue membandingkan kesuksesannya itu dengan diri gue. What a pitiful - fucking - moment! Gila, si Botak aja udah bisa nyampe Bab 3, masa gue kagak!?

Gue lalu berkata, "Oke. Duluan ya, Tak. Sukses buat lo.". Dia menjawab, "Sukses juga buat Prof.".

Hmm... Gue lalu mengerjakan beberapa review dengan semangat. Setelah selesai, gue lalu pergi ke perpustakaan pusat, tepatnya ke kebun apel. Di sana, gue ketemu dengan beberapa sahabat seperti Darsya, Giri, Imam, Indro, dan Zae. Setelah mengobrol sepuas mungkin, akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya diri gue di rumah, gue lalu menikmati hidangan malam dengan senang hati. Setelah itu, gue mandi dan langsung menunaikan ibadah Isya dengan khidmat. Tidak lama kemudian, gue tertidur dengan... Kurang lelap, sih.
Mengapa kurang lelap? Karena, bocah-bocah itu tiba-tiba nangis mendadak di waktu dini hari. Sungguh menyakitkan lahir batin. Lagi enak-enak tidur, kok diganggu sama mereka, sih! :"(

Seminggu ini berlalu dengan lancar, dengan hasil yang cukup lah. Alhamdulillah, semua review sudah gue kerjain dengan cukup baik. Minggu depannya, gue melakukan penelitian mengenai sistem terintegrasi.

Ada beberapa guru yang berhasil gue wawancara terkait apa sih sistem terintegrasi ini, seperti Pak Ikhun, Pak Kus (kembali lagi kepada Pak Kus!), dan Bu Atik . Sistem terintegrasi ini jadi data temuan penelitian, lho. Sistem terintegrasi ini jadi kurikulum khas SMPIA 3 Bintaro untuk melakukan harmonisasi antara ilmu agama dengan ilmu-ilmu selain itu.
Wah, aduhai menarik nih! Pantesan aja para guru kelihatan pede di dalam menjelaskan soal tidak adanya dualisme pendidikan di SMPIA 3 Bintaro... Dalam tataran teoritis, lho. Pada praktisnya, kan belum tentu.
Apa kata mereka?

Pak Ikhun: Jadi, sistem ini punya silabus. Ini intinya memberikan keterkaitan antara ilmu pengetahuan agama dengan yang lain-lainnya, terutama mengacu kepada ilmu eksakta. Nanti, buat yang lainnya tentu juga kerap mengacu kepada ilmu sosial. Misalnya, kalau ilmu eksakta itu, penciptaan alam semesta. Ini kan ada wahyu dari kitab suci. Dan ini berkaitan pula dengan ilmu fisika. Tapi, belum jadi, sih. Saya yang menjadi ketua proyek ini. Tetapi, mudah-mudahan dapat selesai dengan secepat mungkin. Insya Allah. Mohon Bapak Ardi doakan, ya.

Pak Kus: Memang, belum selesai, sih. Tapi, pada praktiknya kami para guru terus berupaya agar bisa terus menyampaikan sistem terintegrasi buat murid. Kami terus mengimbau satu sama lain agar SMPIA 3 Bintaro ini bisa terus terbuka di dalam melakukan harmonisasi antara ilmu agama dengan yang lainnya. Mengenai detailnya, kamu tanyakan kembali gih ke Pak Ikhun. Kan Pak Ikhun-nya tuh yang jadi ketua!

Bu Atik: Ada, Di. Di pelajaran Biologi itu lagi dikembangin. Walaupun emang belum jadi sih, Di. Misalnya, buat pengantar soal pernapasan. Ibu suruh anak-anak untuk menahan napas semampu mungkin. Sebisa mungkin! Jadi, jangan dipaksa kalau enggak bisa lebih dari kemampuan! Nah, rata-rata anak pada enggak bisa hingga hitungan empat puluh detik. Setelah itu, ibu baru bisa bilang kepada mereka, "Bersyukurlah kepada Allah Swt. Karena, Beliau Mengasihi kita akan Oksigen dan teraturnya sistem pernapasan. Coba kalau enggak, kehidupan kita enggak bisa berjalan dengan baik, kan?".

TERLAMPAU MANTAP! X"D.

Semua data wawancara tersebut gue simpan baik-baik. Setelah merekam, gue pindahkan ke laptop dengan sesegera mungkin, tepatnya saat pulang sekolah, sih. Setelah itu, gue memainkan simulator balap di laptop.

Di tengah-tengah kesuksesan tersebut, ada kabar baik sekaligus kabar buruk. Minggu depan, himpunan jurusan akan mengadakan serah terima jabatan. Artinya, akan mengalami siklus pergantian kepemimpinan dan strukturnya. Nah, gimana dengan kabar Antropos?
Gue udah enggak mau mikirin itu lagi. Terserah apa mau kata orang, deh. Biarin aja. Emang gue pikirin.
Toh, ini juga karena gue dicuekin sama staf sendiri. Intinya, ada dua macam staf yang gue bagi sendiri berdasarkan sikapnya ke gue, yaitu yang baik dan yang melawan. Yang melawan ini bertanya mengenai dana dari departemen. Dan dia cuma mau bilang ke staf yang baik. Nah, gue tahu berita ini dari staf yang baik itu. Setelah itu, gue sampaikan bahwa sebaiknya si staf yang melawan ini segera berhadapan ke gue buat bicara baik-baik kepada si staf yang baik. Ya, pada intinya sih, si staf yang baik ini jadi penengah antara si staf yang melawan dengan diri gue.
Kalau ketua ini dicuekin sama bawahannya, ya gimana kerjaan mau maju?
Gue udah berusaha dengan sebaik-baiknya. Hampir semua bahan tulisan di rubrik gue yang tulisin. Kerjaan staf gue itu rata-rata "cuma" tumpah di bagian editing, penyelesaian, dan operasionalisasi biaya.

Eh.,.!
Siapa yang menyangka... Kalau tiba-tiba di saat yang bersamaan salah satu staf gue yang melawan... Yang mengacuhkan diri gue itu berkata melalui SMS, "Di. Alhamdulillah udah selesai nih. Kita sisain kok satu, pasti buat elo. Biayanya Rp.850.000,00. Pake duit gue aja dulu.".
Gue cuekin. Gue enggak bales SMS bullshit itu. Titik. Emang enak dicuekin. Siapa suruh cuekin orang lain. Makanya, jangan cuekin orang lain kalau lo emang enggak mau dicuekin sama orang tersebut. Logikanya kan begitu, hukum timbal balik di kehidupan sosial. Biar kamu belajar, nak! :|

Eh, tiba-tiba staf gue yang baik menelpon gue dan berkata, "Kak! Si staf yang melawan itu katanya udah menyelesaikan seluruh kerjaan kita. Berhasil terjual lima puluh. Tapi, satu sisanya gratis buat kakak. Dia bertanya-tanya tuh, di mana Kak Ardi?".
Ah, gue enggak tega sama staf yang baik ini.
Gue lalu menjawab, "Yaudah. Bilangin aja selamat. Soal uang penggantinya... Entar dulu, deh. Sekarang ini gue lagi pusing soalnya sama urusan skripsi.".
Staf yang baik itu berkata, "Oh. Nanti aku sampaikan ke dia, ya. Nanti mungkin bentar lagi dia nelpon kakak. Selamat ya kak! Majalahnya udah jadi!".

Nut... Nut.... Nut... Telpon ditutup dengan cepat. Baru aja gue mau nolak permintaan si staf yang baik itu buat berbicara kepada staf yang melawan! Eh, udah ditutup duluan! Ada aja sih, kejadian yang kayak beginian! -,-"

Lima menit kemudian, si staf yang melawan itu telpon. Agh! :"(

Gue jawab, "Hoy! Gue lagi sibuk sama skripsi, nih!". Dia menjawab, "Sorry banget nih, Di. Tapi urgent!"
... Bangsat. Lebih urgent mana sih, majalah atau skripsi!?
"... Di. Jadi, majalahnya udah jadi, nih. Entar gue kasih ke elo, ya. Terima kasih buat bimbingan sama bantuan lo selama ini. Maaf kalau kita jadinya cuma bisa bikin satu majalah.".
Gue lalu bertanya, "Enggak. Kalau soal cuma satu majalah sih, enggak apa-apa. Tapi, yang gue tanya, kenapa dari semenjak kita mau final editing, lo sering banget cuek sama gua!? Gue nanya-nanya bukan maksudnya meneror, lho! Tapi karena emang pengen tahu aja gimana progres kerjaan kita. Dan, biar orang lain terutama si ketua, wakil ketua, sama kadiv keilmuan juga ikutan tahu. Bukan apa-apa! Gue ditanya-tanyain melulu sama mereka! Gimana gue bisa ngejawab kalau kalian enggak menjawab pertanyaan gua!".
Si staf itu menjawab, "... Sorry, kemarin kita sering cuekin lo karena lupa. Kita juga punya banyak banget kerjaan, Di. Banyak banget mata kuliah sama kerjaan sampingan yang mesti kita kerjain. Saking banyaknya, ampe-ampe kita lupa sama pertanyaan lo. Maaf banget ya, Di.".

(Oh, jadi cuma gara-gara kalian punya banyak kerjaan, kalian berhak melupakan kepala divisi majalah ini!?)

....


Minggu depannya, gue mengirim kelima review tersebut kepada Bu Yasmine. Setelah menunggu hingga minggu depannya, yang artinya sudah memasuki ke Bulan April... Beliau berkata,
"Ada beberapa review yang salah. Coba perbaiki terlebih dahulu. Minggu depan tolong kirim lagi.".

Jujur, sedih gue mendengar kabar buruk tersebut! :"( Tetapi, apa daya. Ahsudahlah, lebih baik gue kerjakan kembali. Gue periksa, dan gue koreksi sesuai yang Bu Yasmine inginkan. Alhamdulillah, setelah itu gue mendapatkan kesan positif dan beliau berkata,

"Baik, Di. Sudah baik. Sekarang, lakukan apa yang saya pinta. Pertama, saudara mesti bikin paragraf pembuka mengenai apa sih yang mendasari saudara untuk menguji teorinya Tan. Setelah itu, elaborasikan antara pemikiran Burhani dengan Azra. Lalu, saudara bahas apa yang dikatakan oleh Tan. Setelah itu, lalu kita bisa berbicara mengenai dualisme pendidikan. Kalau memang sudah mantap, kita bisa lanjut ke permasalahan ya, Di.".

Wah! Alhamdulillah!

Oke, jadi fokus utamanya ya... Kembali lagi.,. Menyempurnakan si latar belakang ini, kan?

Sampai tiba saatnya di pertengahan Bulan April gue ikut merayakan hari ulang tahun nyokap. Gue diundang makan di Syailendra. Iya, tempat yang dulu pernah di bom itu. Kali ini sih, enggak ada insiden itu (jangan ampe terjadi lagi!!).
Tapi, ternyata ada "bom" lain yang cukup mengagetkan di saat yang bersamaan.

Ada dua SMS yang mengagetkan diri gue ketika gue sedang menikmati kue Tiramisu. Sambil melahap Tiramisu, gue melihat SMS dari salah satu teman sejurusan gue yang bernama Wiw. Wiw berkata, "Apa kabar, Di? Gimana kabar skripsinya? Pasti udah nyampe bab terakhir, ya! Professor, gitu lho!".
Ugh. Heran, ekspektasi orang jaman sekarang itu selalu lebih besar ya daripada kenyataan. Kenyataannya enggak seindah sama yang diekspektasikan lho, Wiw! Malahan berbanding terbalik!

Gue jawab SMS itu dengan rasa sedih, "Wiw, enggak segitunya lah. Malah masih jauh. Gue baru nyampe ke bagian latar belakang, nih. Seriusan. Nih gue ceritain...".
Setelah gue ceritain panjang kali lebar sama dengan luas kepada Wiw...

"Yaelah, Di! Dosen pembimbing lo kok old fashioned amat, sih! Udah tahu Bab 1 itu emang susah banget buat selese. Jadi, intinya lo lagi stag gara2 Bab 1, kan!? Gini aja... Konsultasikan ke Mas Ezra. Bilang aja ke dia, 'mas, saya stag di Bab 1. Tolong bantuin saya bikinin outline. Biar saya bisa langsung maju ke Bab 4.'. Gitu, Di.", kata Wiw dengan percaya diri.

Hah!? Bab 4? Hello. Bab 3 aja masih ngawang-ngawang, gimana Bab 4 mau dikerjain!?

Gue lalu bertanya, "Wiw, kok ceritanya langsung loncat ke Bab 4!? Oke, gue ngerti. Kan Bab 1 mendingan di skip aja... Berdasarkan rekomendasinya Mas Ezra, lho. Jadi mesti dikonfirmasi sama beliau dulu, nih. Nah, gimana soal Bab 2 sama Bab 3 nya? Masa dua itu dicuekin!? Kagak ngerti gue, Wiw".

Wiw kembali berbicara dengan penuh percaya diri, "Di, gini maksud gue. Maksudnya, Bab 4 itu kan bagian analisis. Di situ lo udah coba bikin elaborasi antara data sama analisis lo. Karena, bagian yang paling susah ya di situ. Kalo itu udah selesai, semuanya udah selesai, Di! Terus, lo tulis simpulannya di Bab 5, dikit aja. Abis itu, kan lo bisa nulis hasil penelitian lo di Bab 3... Itu semua, lho. Data wawancara sama observasinya di Bab 3. Tuangin semuanya di situ. Nah, sama Bab 2 kan cuma gambaran umum ini. Ya salin ulang aja apa yang lo dapetin di data sekunder.".

Gue membaca SMS-nya si Wiw ini dengan wajah yang bloon plus mengerut akibat stres yang berlebih.
Setelah itu, gue balas, "Iya. Oke deh. Makasih buat sarannya ya, Wiw.".

SMS kedua berasal dari salah satu teman sejurusan gue yang bernama Irin  alias... Si Wakil Ketua Himpunan yang kemarin baru digantikan itu. Dia berkata, "Di. Ini ada amanah dari Mas Ezra. Katanya, kalau ada kesulitan di saat pembuatan skripsi, mohon ajukan saja. Ceritakan saja. Terus konsultasikan saja.".

Gue lalu mengacuhkan SMS tersebut dengan berat hati. Bukan apa-apa, andaikan gue berkata ke Mas Ezra seperti ini...
"Mas! Skripsi saya terhalangi akibat kerjaan himpunan sama stag melulu di latar belakang!".

MUKA GUE MAU DITARUH KE MANA, TERUS !? MALU BANGET RASANYA KALAU SEMUA ITU DICERITAIN SAMA PEMBIMBING AKADEMIK!! ENTAR PEMBIMBING AKADEMIK GUE ITU MAU BILANG APA KE GUA!?

... Tiramisu yang (sesungguhnya) lezat dan mahal itu jadi terasa hambar akibat stres yang sedang gue alami saat ini juga... Apa gunanya makan kue yang punya kualitas kelas dunia apabila ujung-ujungnya dirasakan dengan perasaan yang enggak seronok juga!?

... :"(

Akhirnya, akhir Bulan April mendatangi diri gue dengan kejam. Mengapa kejam? Karena terlampau cepat. :"(
Gue lalu mengumpulkan latar belakang yang udah gue bikin itu melalui email Bu Yasmine.

Namun... Apa yang terjadi selanjutnya!?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar