Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Kamis, 22 Januari 2015

Kepahitan di Awal Pengerjaan Skripsi: Ospek Jurusan - Sebuah Cerita Sampingan

Ugh...

Selamat tahun baru semua. Selamat tahun baru 2014. Semoga apa yang kita inginkan buat tahun ini tercapai...
Atau tidak?
Itulah kegalauan yang saat ini sedang gue alami. Sebenarnya, banyak yang saat ini sedang menikmati indahnya tahun baru 2014. Tetapi, sayang diri gue enggak mengalami hal tersebut. Gue menganggap bahwa tahun baru 2014 ini merupakan hari tinju lainnya. Another boxing days.

Maksudnya boxing days? Itu merupakan hari ketika para atlit bekerja di hari-hari libur. Nyadar gak kalau rata-rata para atlit profesional maupun kelas dunia tidak dapat menikmati hari libur seperti hari natal, tahun baru, hari raya, dan sebagainya karena mereka harus merelakan dirinya mengikuti kompetisi tertentu? Definisi tersebut lalu bisa aja lho kita perluas cakupannya... Menjadi, siapapun manusia yang merasa dirinya tidak bisa menikmati liburannya di tanggal merah, maka ia terkena boxing days.

Yeah. It is me versus the boxing days. Just another bullshit. Another boxing days, another bullshit.

Kenapa tahun ini gue mesti kerja? Mesti galau segala?
Karena, jasa gue dibutuhin buat ngurusin anak-anak maba buat ospek jurusan. This is just another what the fuck moment... :"(
Ini juga karena salah gue sih. Nyesel banget sih gue ikutan ospek pas gue maba dulu. Gara-gara gue ikutan ospek, makanya gue harus... Mau enggak mau jadi kepala divisi atau orang penting di bagian himpunan untuk tiga hingga empat tahun ke depan. Maksudnya, buat saat ini. Kan, tiga tahun udah berlalu dari gue menginjakkan kaki ini di kampus. Huh!

"Di, mau nginep enggak di acara ini?", tanya salah seorang teman gue yang kebetulan jadi panitia ospek. Hah!? Emang mesti nginep apa? Kagak ada yang ngasih tahu gue akan hal ini? Gue langsung membalas, "Ngapain nginep. Capek. Mendingan tidur di rumah.". Ia lalu berkata, "Oh iya, tapi lo kakak mentor, kan? Lo sebisa mungkin harus bisa nginep, lho. Lagian, juga buat bantuin menti-menti lo...". Gue langsung memotong, "Enggak ada tuh yang nyuruh gue nginep di sini.". Dia lalu melanjutkan, "... Iya... Tapi, biar kakak mentornya bisa ngelakuin mentoring lagi, gitu.".

Gue lalu menjawab dengan nada yang agak tinggi, "Gue udah cukup sering membantu adik-adik menti gue. Enggak ada yang  perlu dibantu lagi. Ini tinggal gimana mereka bisa lulus sidang tergantung dari kemampuan presentasinya mereka. Lagian, setahu gue kan pertemuan-pertemuan yang diperlukan itu hanya termasuk saat sebelum ospek? Udah cukup sepuluh kali, kok. Kelompok gue ini udah ketemu sama gue sepuluh kali, ya jadi udah cukup..!".

Datanglah Devita secara tiba-tiba. Geh, another bullshit again. Devita lalu bertanya, "Di, bisa nginep kan di sini?".

Gue lalu menghela napas berat-berat. Pikir dan rasa gue, percuma banget mengasihani orang lain kalau orang lain ini enggak mengasihani diri gue sama sekali. Karena, belakangan ini Devita selalu nyuruh-nyuruh gue tanpa memperhatikan, iya, tanpa mempertimbangkan kesibukan apa yang perlu gue lakuin.

Gue lalu menolak dengan berkata, "Enggak bisa. Gue pengen ngademin diri di rumah.".

Devita lalu mengeluh, "Yaah! Yah, Di. Jadi lo enggak bisa, ya?". Gue lalu bertanya, "Emang kakak mentor wajib ya ngedampingin maba pas ospek?". Devita menjawab, "Iya. Tepatnya buat hari esok, sih. Sore-sore gitu, Di. Atau, lo enggak mesti nginep juga sih, Di. Palingan lo hari ini pulang dulu. Terus besok sore datang ke sini..?". Gue memotong, "Enggak, Dev. Gue tetep mau ngadem dulu di rumah. Lagian, ada setoran skripsi yang mesti gue selesein. Skripsi gue itu... Egh! Malah Bab 1 aja masih belum nyampe! Gue mesti ngelakuin ini itu kayak prelim dan sebagainya!".

Devita lalu diam saja. Sepertinya dia kaget dengan respons gue yang terlampau blak-blakan itu.

Gue lalu menawarkan sebuah hal, "Atau, ada yang bisa gue bantu lainnya? Ini kan sekarang lagi persiapan, nih. Apa sambil nunggu, gue jadikan aja saat ini sebagai mentoring terakhir pengganti esok hari?". Devita menjawab, "... Boleh..".

Yeah, sounds like a plan. So let's fucking go!

Gue lalu datang menghampiri adik-adik menti gue. Mereka semua dengan kompak berkata, "Kak Ardi!". Gue tersenyum. Di sinilah percakapan antara diri gue dengan mereka mengalir dengan hangatnya.

Gue: Yo. Apa kabar semua? Pasti pada tegang, ya. Nikmati aja.

Leny: Iyaa, kak! Tegang banget, sumpah!

Sari: Haduh, mana materinya belum kehapal-hapal, lagi!

Gue: Sari? Jangan hapalkan materi. Pahami. Sesuatu yang lo ngerti di materi yang akan lo bawain itu, yang bisa diomongin di depan penyidang.

Sari: Ooh! Oke, kak.

Gue: Vela. Gimana?

Vela: Sama juga kak. Awalnya aku mau hapalin. Eh, tahu-tahunya emang mesti dipahami, ya?

Gue: Ya, mestilah. Karena Antropolog mesti membuat pendengar maupun pembacanya paham sama fenomena yang ada.

Vela: Oke, kak.

Gue: Terus, ah... Cowok satu-satunya... Rifqy, gimana?

Rifqy: Saya baik-baik aja, kak. Hehe.

Gue: Good. Ngomong-ngomong, sebutin bagiannya pada yang mana aja!

Leny: Gue yang menjadi salam pembuka, kak! Hahaha!

Sari: Enak amat sih, Leny! Saya dapetnya yang bagian kedua. Metode penelitian sama konsep.. Van Gennep, haduh! Van Gennep!

Vela: Saya bagian materi, kak. Tapi dikit-dikit aja sih, kak.

Sari: Abis itu, simpulannya juga biar saya yang bawakan.

Oke, oke. Bagus. Pembagiannya sudah betul. Lho, tapi kayaknya masih ada yang janggal?

Gue: Bagus. Eh, belum bagus juga, sih! Lho, Rifqy terus gimana!?

Rifqy: Saya enggak ngomong apa-apa, kak.

GUBRAK!

Gue: Oh, ya enggak bisa begitu dong. Gini aja, bagi dua gih sama Vela. Kasihan tuh, masa si Vela aja yang ngabisin materi. Bagi dua, biar Vela bisa kerja lebih ringan. Pasti bagus kok.

Rifqy: Oke, kak. Saya sih lebih ngerti materi yang ini, kak.

Vela: Aku lebih ngertinya yang selain Rifqy, kak.

Gue: LHO, BAGUS ITU!

Semua: HORE!

Gue: Yooii XD . Ah, buat yang lainnya gih. Hmm, Sari, ingat. Jadi, penjelasan kamu itu sangat teknis. So techincally speaking, off course. Ya, namanya penjelasan teknis itu antara penting dan enggak penting. Sekali lagi, yang penting kamu pahami aja. Inget-inget aja, kalau kalian selama meneliti itu kayak gimana. Kalian pakai alat rekam yang bagaimana. Kalian mau lakuin ini buat presentasi sidang opsek. Kalian mencari sampel melalui teknik lempar bola salju. Sama, buat konsepnya. Inget aja kalau van Gennep itu bikin tiga langkah. Gimana? Deal?

Sari: Oh, iya kak! Makasih kak, ngebantu banget itu penjelasannya kakak!

Gue: Alhamdulillah! Good to hear that! Jadi, selamat berjuang buat kalian semua, ya. Gue benar-benar berdoa dan mendukung kalian.

Hahaha, Alhamdulillah pembagiannya lancar tanpa sembelit... Eh, berbelit-belit! XD

Leny: Aamiin! Kak, besok kakak datang ke sini, enggak? Buat mentoring terakhir.

Gue: (tampang mengeluh) Ehm... Enggak. Makanya, sekarang ini jadi mentoring terakhir kalian.

Leny: Yah, kak!

Sari: Hush, Leny! Kak Ardi udah ngasih yang terbaik nih buat kita. Mana kita tahu kalau Kak Ardi punya kesibukan buat besok. Udah bagus hari ini Kak Ardi mau bantuin kita!

Leny: Iya, Sari! Maksud gua... Ehm, kakak enggak ditanyain sama Kak Devita gitu?

Gue: Lho, kok malah elo yang jadi khawatir sama gua XD . Iya, tentu aja gue ditanyain. Tapi, gue ngasih tawaran kayak gini, biar enak aja gitu. Sama-sama untung, Devita untung, gue juga untung. Besok gue mesti menyiapkan tenaga buat turun lapangan sama yang lainnya... Biasa, buat skripsi!

Rifqy: Oh! Iya, kak. Selamat berjuang, kak.

Vela: Wah, semoga sukses ya, kak.

Gue: Terima kasih buat kalian semua... Iya, jadi... Ada yang mau ditanyain lagi, enggak?

Sari: Ada, ada! Masih enggak ngerti soal penjelasan teknisnya nih, kak! Kok kenapa kita mesti pakai lempar bola salju, kak?

Gue: Karena kalian mencari sampelnya melalui sampel-sampel yang sebelumnya.

Dan berbagai pertanyaan dilontarkan terus. Hingga akhirnya, waktu untuk mereka melakukan ospek - sebuah kegiatan yang sama sekali tidak menyenangkan itu - telah tiba.

"BERBARIS SEMUA! INGAT YANG TERTIB!", kata Dwi dan Icha.

Oke, ini di luar urusan gue. Benci banget gue sama kata-kata kakak yang membentak adik kelasnya.

Ngomong-ngomong soal ini, gue waktu itu berbicara dengan Anis. Anis waktu itu enggak sengaja membaca blog ini. Kebetulan, rubrik yang ia baca adalah rubrik yang membicarakan dirinya. Ia lalu berbicara baik-baik dengan diri gue.

Anis: Di, secara enggak sengaja gue baca blog lo. Jadi, lo enggak suka bola karena takut dipeloncoin, ya?

Gue: ...

Anis: Enggak apa-apa. Akuin aja, kali. Jadi, kan gue bisa ngerti tuh.

Gue: ... Iya, gue benci sama perpeloncoan. Heran, kenapa sih buat yang menyangkut kompetisi atau ajang olahraga lainnya perlu banget ada acara perpeloncoan? Heran aja, kenapa kalau orang yang suka sama klub A mesti benci sama klub B. Dan otomatis, si A ini pasti benci banget sama fansnya klub B. Akibatnya, saling ejek satu sama lain malah timbul, deh.

Anis: Oh.

Gue: Iya, padahal kan enggak kayak gitu, caranya. Kita tahu kalau produk olahraga kan diciptakan oleh manusia. Sedang, yang namanya manusia itu kan enggak sempurna. Termasuk ciptaannya dia sendiri juga, sifatnya enggak sempurna. Enggak ada kan klub yang menang terus? Pasti suatu saat ia bakalan mengalami seri dan kalah.

Anis: Iya, Di.

Gue: Makanya, saling toleransi aja satu sama lain. Walaupun orang mau bilang kalau klub A itu jelek, ya yang namanya fans sejati... Pasti dia bakalan tersakiti. Dan pasti, dia bakalan tetap mau mendukung klub A. Karena, dia sudah menerima klub A dengan apa adanya.

Anis: Betul sekali, Di.

Gue: Iya... Kok, gue malah jadi pidato, Nis?

Anis: Lanjutin, Di. Enggak apa-apa.

Gue: Oh?

Anis: Ayo dilanjut, Di.

Gue: Hm! Ya, pada intinya, gue enggak suka bola karena takut dipeloncoin lagi. Gue udah sakit hati banget rasanya, mendengar kalau klub pujaan gue yang bernama Juventus itu dikata-katain melulu. Ada yang bilang 'Juventus tukang sogok wasit'-lah. Ada yang bilang 'Juventus mampus ada di Serie B'-lah. Bahkan, ada yang bilang 'Juventus goblok!' tanpa alasan yang jelas. Heran, apa sih haknya buat ngatain satu sama lain!? Hidup cuma sekali, kenapa harus mencari musuh dengan menjatuhkan satu sama lainnya!? Sayang amat kalau hidup ini isinya cuma orang-orang yang memusuhi kita. Hidup berasa rugi, itu!

Anis: Oke...

Gue: Entar dulu, Nis. Gue mau istirahat dulu. Capek gue dari tadi pidato melulu.

Anis: Iya, iya. Nah... Gue mau nanya satu hal dong, Di. Terus, kenapa lo milih auto-sport?

Gue: Gimana?

Anis: Iya, belakangan ini gue perhatiin kalau lo suka ngebarin gambar mobil balap di Facebook. Auto-sport kan setahu gue juga termasuk olahraga tuh. Correct Me if I'm Wrong ya, Di. Itu kan intinya, ya olahraga tapi pake bawa mobil sama bawa tim. Nah, lo enggak takut kalau suatu saat tim dan mobil pujaan lo juga dihina sama fans lain?

ASTAGA. SUNGGUH PERTANYAAN YANG KRITIS.

Gue: Bener, kok. Auto-sport itu termasuk olahraga. Egh.. Iya, ya..

Anis: Gue asumsiin, ada yang ngatain tim dan mobil pujaan lo, dan lo iya-iyain aja apa kata orang gak becus itu. Nah, terus lo putus aja lagi, dong? Lo jadi enggak suka sama auto-sport cuma... Gara-gara tim balap dan jenis mobil impian lo dikatain?

Gue: Egh... Gue... Emm...

Anis: Di, apa yang lo argumentasikan tadi udah benar. Tapi, analisisnya aja yang masih kurang. Berarti, lo mesti tahu apa dong jawabannya?

Gue: Iya, apa dong?

Anis: Di, coba pikir. Jawabannya ialah, mengacuhkan kata orang lain itu. Biarin aja orang lain punya pendapat kalau Juventus jelek, dan mobil impian lo jelek.

Gue: Nis, rasanya sakit!

Anis: Iya, mau enggak mau lo mesti bertahan dari ejekan-ejekan itu, Di! Diri lo harus kuat! Iya, emang apa yang lo suka punya sisi minus. Tapi, cuma karena sisi minus itu, masa lo jadi lupa sama sisi plusnya? Jangan dong, Di!

Gue: Ooh...

Anis: Dan seharusnya... Lo enggak lupa kalau ada lho kegiatan lain yang punya sifat perpeloncoan selain kompetisi sehat!?

Gue: Apaan, Nis?

Anis: Ih, Di. Masa lo lupa -,- . Itu! ospek jurusan!

Sontak kepala gue terasa pening.

Anis: Di, inget. Lo itu udah termasuk menjadi stake holders ospek karena lo menjabat dua posisi penting di himpunan. Yaitu, jadi kepala divisi majalah dan juga jadi kakak mentor. Mau enggak mau, lo mesti berpartisipasi buat hajat ini.

Gue: Iya, enggak... Ehm...

Anis: Nah, tapi partisipasi dari lo masih kurang, Di!

Gue: Hah!? Kurang apaan lagi, Nis!? Gue udah cukup banyak dan kerepotan membantu adik-adik menti gue! Bahkan, adik-adik menti kelompok yang lainnya juga kerap gue bantuin!

Anis: -,- Salah kaprah ya, bukan itu maksud gue, Di. Iya, peran lo sebagai kakak mentor udah sangat baik. Tapi, yang kurang itu aspirasi lo buat ospek ini. Di, adik-adik menti gue itu pada bilang gini ke gue, 'Bang Anis. Kata Kak Ardi, dia masih enggak tahu apa makna ospek.'. Gue tahu sih, maksud lo bilang gitu bukan karena lo ngatain ospeknya itu sendiri, tapi lo enggak setuju banget sama perpeloncoan yang ada di dalamnya.

Gue: Hm...

Anis: Nah, kenapa lo enggak tanyain hal ini kepada panitia!?

Gue: Yakali! Pasti mereka nolak permintaan gue mentah-mentah!

Anis: Nah, kan. Jangan pesimis duluan, Di. Lo pikir, coba. Lo ajuin, kenapa kegiatan begini dan begitu bisa memicu perpeloncoan. Kasih dasar dan alasan yang jelas. Sama kayak lo tadi kasih dasar dan alasan kenapa perpeloncoan itu enggak baik kalau diterapkan di kompetisi sehat. Kalau dalam konteks ini, ya kenapa itu diterapkan di ospek jurusan aja, gitu.

Gue: Nah, nah. Kalau gue udah bagus-bagus bilang juga, terus mereka tetap enggak menerima, terus gimana!?

Anis: Di. Enggak bakal ada yang berani nolak kalau dasar dan argumentasi lo udah bagus. Toh lagian, ini kan buat kebaikan. Ini kan biar opsek juruan kita bisa terhindar dari perpeloncoan. Kalau itu terjadi, ya bagus sekali, dong!?

Gue: Hm... Oke deh, Nis. Thanks buat masukannya.

Anis: Sama-sama.

...

Walaupun begitu, gue tetap enggak mau membicarakan hal ini kepada panitia ospek. Percuma. Mustahil sekali melihat ada ajang ospek yang bebas dari perpeloncoan sama sekali. Pasti, ada bumbu-bumbu perpeloncoan. Mau itu yang serius (benar-benar mencelakakan dan bahkan bisa menewaskan peserta ospek. Mirip sekali sama kasus STPDN yang udah lama berkicau dahulu) hingga yang main-main aja (cuma mau mempermainkan mentalitas peserta aja. Diharapkan agar si peserta tetap teguh. Ini sih, ospek pada umumnya yang terjadi di Indonesia, kok). Percuma. Percuma aja. Idealisme gue, gue pengen kalau acara ospek itu enggak ada hal-hal yang membuat peserta didik berpikiran aneh seperti kenapa mata mesti ditutup, kenapa mesti nunduk meram saat jalan, kenapa mesti nurut seratus persen sama seniornya, kenapa senior mesti suatu kali membentak peserta ospeknya, dan sejenisnya.

Andaikan... Kalau ospek itu kegiatannya jadi mirip-mirip sama seminar di hotel atau camping. Pasti seru banget, tuh. Mungkin, kalau seminar itu diselenggarakan sama berbagai tokoh peneliti ataupun profesor terkemuka dan dihadiri oleh peserta yang memiliki latar ilmu yang relevan dengan topik yang akan didiskusikan. Nah, enggak ada kan cerita kalau profesor atau peneliti mesti membentak pesertanya, atau nyuruh peserta nunduk meram, dan sebagainya, kan!? Mana ada! Kalaupun ada, seminar macam apaan itu!? -,-

(enggak... Dari lubuk hati gue yang paling dalam sih... Kenapa ospek itu mesti dipenuhi dengan perpeloncoan? Dengan kegiatan bentak-bentakan, pura-pura menghina dan mengancam, dan sejenisnya!? Karena, buat seru-seruan. Iya, kan enggak semua orang menganggap kalau hal tersebut memang seru! Agar kita dapat membentuk mental peserta menjadi lebih kuat daripada yang sebelumnya. Iya, jadinya bakal ada dua hasil: antara makin kuat atau malah kebalikannya, trauma-aprioris. Makanya, kalaupun kita mau membentuk mental peserta ospek menjadi lebih kuat, kenapa enggak dengan cara yang lainnya yang lebih beradab? Mental peserta opsek bisa kita perkuat melalui nilai-nilai budaya seperti ramah dalam berbicara, perilaku sayang senior terhadap juniornya, dan kejujuran. Bukan apa-apa, karena perpeloncoan itu kerap meliputi yang sebaliknya, kayak enggak sopan dalam berbicara, perilaku munafik senior terhadap juniornya, dan seringkalinya si junior kena PHP sama seniornya itu. Kenapa!? Kenapa enggak kayak begitu aja!? Beneran. Jauh lebih baik ospek jurusan gue itu punya materi yang dipenuhi macam-macam etika penelitian etnografi, tips agar bertahan hidup di tempat penelitian, berbagi ilmu mengenai antropologi itu sendiri, dan sejenisnya, Bukan ospek yang didominasi oleh pura-pura menghina maupun membentak, bukan yang itu!)

...

Gue lalu pulang ke rumah dengan kepala yang agak berat. Asu tenan. Minggu pertama di awal tahun baru disesaki sama jadwal penelitian pendahuluan alias preliminary survey. Dan, jangan lupa bahwa awal tahun ini juga kerap diganggu oleh kegiatan maba alias ospek itu sendiri. Gue bingung, di satu sisi gue mesti bilang 'makasih' karena dari kegiatan itu makanya gue tahu sama dasar skill mengajar (karena gue bercita-cita jadi dosen), tapi di satu sisi gue mesti bilang 'fuck you' karena... Itu terlalu bikin gue sibuk.
Saking bikin gue sibuknya, sampai-sampai gue jadi mesti mengundurkan diri dari persiapan ke London. Gara-gara itu, gue enggak jadi bimbingan sama tes IELTS. Juga, gara-gara kegiatan itu jalan skripsi gue mesti kesendat-sendat. Seharusnya, gue udah bisa melakukan preliminary survey dari dua bulan yang lalu dengan baik. Karena dihalangi sama kegiatan ini, gue jadi mesti mengulang penelitian pendahuluan tersebut lebih proper ketimbang sebelumnya.
WHAT THE FUCK!? -,-"

Salah satu halangan yang menghalangi diri gue menerjang skripsi adalah ospek jurusan. Ospek ini bentar lagi mau selesai. Setelah itu, gue enggak mau lagi berurusan dengan hal tersebut. Mau gue dipaksa buat hadir pas jadi alumni entar kek, gue juga enggak bakalan hadir. Ngapain. Ospek ini terlalu traumatis bagi diri gue. Kesan negatifnya lebih banyak muncul di perasaan gue. Sekali keinget, udah capek aja bawaannya, gitu. Ternyata, pas gue menjalani ospek saat masih maba dengan gue mengurus ospek saat gue udah jadi mahasiswa tua ini... Sama saja capeknya.
Dan, sama saja sia-sianya!

Gue tidur malam dengan cepat saking lelahnya. Esok paginya, gue terbangun dengan kaget karena dua ponakan gue nangis kencang-kencang. Walaupun mereka enggak ada di dalam kamar gue, tapi suara teriakan mereka mampu menembus kamar gue, lho. Jangan kira kamar gue adalah kamar yang kedap suara. Setelah itu, gue dengar ada pertengkaran antara Ipar, Kak Adis, Nyokap, dan Baby Sitter.

Ugh... Kepala jadi kerasa pening... Pagi ini kok enggak damai banget sih. Padahal kemarin udah ada konflik di kampus. Kenapa hari ini mesti ada konflik di rumah!? :"(

...

Huh... Maafin gue, adik-adik menti. Gue enggak bisa melindungi kalian dari perpeloncoan. Karena, gue bingung mesti ngapain. Gue udah punya cukup kesibukan seperti mengerjakan skripsi dan majalah. Kalau ditambah sama pekerjaan omong kosong ini, bingung gue mesti ngapain. Udah gue bingung, kenapa mesti tambah bingung juga!?

Sekali lagi, maafin gue ya adik-adik... Atas kekurangan dari kakak yang begitu lemah ini... :"(

Suatu saat, gue punya impian agar ospek itu mendingan konsep dan praktiknya bebas dari perpeloncoan. Gue pengen suatu saat kalau Antrop UI itu punya ospek jurusan yang konsepnya kayak seminar. Jadi, kakak-kakak panitianya bisa jadi pengurus dan penonton presentasi seminar. Kakak alumni bisa juga membantu mereka. Jadi, daripada kakak-kakak panitia membentak dan menghina yang enggak jelas kepada adik-adiknya, mendingan mereka semua bantuin adik-adik buat mempersiapkan dirinya di seminar. Presentasi seminarnya juga jangan disertai ancaman dan sejenisnya. Kalau bisa, kita undang bintang tamu buat nonton dan ngasih kritik itu... Berupa para ahli yang sanggup berpikir secara antropologis. Apalagi kalau profesor berhasil kita undang. Beh, alangkah beruntungnya kalau itu terjadi! Dan alangkah indahnya ketika Antrop UI tahu kalau anak-anak barunya itu bisa melakukan seminar! Ya, pasti hasilnya enggak bagus-bagus amat, gue yakin, sih. Namanya juga baru pertama kali, ya wajar kalau kesalahan itu banyak dan bisa dijelasin secara panjang kali lebar sama dengan luas -,-" .

Andaikan... Tapi, butuh berapa tahun agar hal tersebut bisa terjadi!? Entahlah! Tanyakan saja kepada rerumputan yang berjoget akibat hembusan angin! -,-"

These fucking bullshits are just made by the fucking idiots. And, these bullshits are nothing but hindrances for me to finish the damn honors thesis! Ugh! God Damn! What the hell! What the fuck!! What the heck!!! God, please give me the strength to overcome these odds!! I am begging You, because I am just an ordinary human being... Please, my God! Please! Grant my wishes, My Dear Lord! :"(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar