Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Senin, 19 Januari 2015

Masa Awal Pengerjaan Skripsi: Awal dari Perjalanan Besar

Inilah kisah gue dari Awal Oktober 2013 hingga Akhir Desember 2013. Perjalanan gue bersama dengan skripsi, berikut berbagai kegiatan lainnya yang kerap mengganggu urusan skripsi tersebut.
________________________________________

Pukul 22.13 WIB...

Gue berbaring-baring di tempat tidur sejenak.

Awalnya, gue berbaring sambil memejamkan mata. Setelah membuka mata dengan setengah hati, akhirnya gue baru bisa beranjak dari tempat tidur.

Gue beranjak dari tempat tidur karena baru saja kedapatan ide buat nentuin topik dan tema skripsi! Soalnya, bentar lagi gue mesti ngumpulin Statement of Intent (SoI) skripsi.

Yeah, here we go again...

"Mulai tiga minggu dari sekarang, tentukan kalian ingin menarik tema dan topik penelitian kalian untuk skripsi. Persiapkan SoI kalian dengan sebaik-baiknya.", kata Ibu Prof. Dr. Yunita Triwardhani Winarto setelah menutup Seminar MPE yang lalu.

Sontak semua mahasiswa yang berada di tempat teriak keras-keras.

Gue sendiri menghela napas dengan tegang. Sambil berkata di dalam hati, "Akankah perjalanan gue bakalan baik-baik aja? Masih ada beberapa pekerjaan di samping skripsi, bahkan di samping MPE yang belum selesai seperti kerjaan majalah Antropos. Sama satu lagi, jadi Kakak Mentor. Menyebalkan sekali rasanya, kalau tahu ada beberapa kerjaan yang belum selesai, padahal beberapa kerjaan baru yang lainnya udah pada siap ngantri. Waduh.".

Kejadian yang sudah berlalu itu tetap membekas di dalam pikiran gue. Hari ini merupakan dua minggu dari kejadian tersebut. Yang artinya, deadline SoI skripsi sudah berada di ujung tanduk.

Ugh! C'mon. Focus. Deep breath. Write your SoI, Di!

Gue menulis tema yang besar, yaitu modernitas. Sedangkan, topik yang mau gue sampaikan ialah modernitas dan ambivalensinya pada pedagogi Islam. Lokasi penelitian yang mau gue teliti ialah di SMP gue masa dulu. Yaitu, SMP Islam al-Azhar 3 Bintaro, Tangerang. Jadi, pada intinya gue mau melihat gimana sih modernitas itu bisa bermakna ambigu kalau terjadi di SMPIA 3 Bintaro...

MANTAP!

Kak Titi lalu masuk ke kamar untuk menyapa diri gue. Katanya, "Gimana, udah siap mau nulis skripsi apaan?". Setelah gue menceritakan panjang kali lebar sama dengan luas *apasih, akhirnya Kak Titi membalas, "Yup! Terus, kenapa Ardi lebih memilih masalah modernitas?".

Gue jawab, "Karena modernitas merupakan fenomena sosial budaya yang kerap berada di dalam keseharian kita. Dia itu ambigu. Dia bisa ngasih kita manfaat, tapi di satu sisi dia bisa ngasih kita kerugian. Dan, aku pengen melihat itu di dalam konteks pendidikan Islam.".

Kak Titi lalu berkata, "Ardi harus lega dan bangga. Jawaban itu menandakan kalau Ardi memilih topik itu karena memang kemauan Ardi. Karena emang passion-nya Ardi. Betul?". Gue menjawab, "Iya, modernitas itu jadi passion aku. Pengen suatu saat aku jadi Antropolog yang ahli di dalam subkajian cyber culture.".

Kak Titi lalu berkata, "Dulu, pas aku ngerjain skripsi, mesti dua kali lho. Awalnya ditolak karena aku enggak suka sama bahasannya. Yang kedua ini yang baru aku sukai. Karena aku suka sama yang menyangkut kanker dan wanita, akhirnya aku milihnya yang ini. Dan, apa yang terjadi? Alhamdulillah kerjaannya jauh lebih lancar dan hasilnya lebih efektif!".

Di saat itu juga gue kembali belajar akan pentingnya passion di dalam hidup,

Gue lalu mencetak pekerjaan tersebut yang isinya enggak lebih dari dua halaman itu. Setelah mencetaknya, gue simpan baik-baik di dalam map agar map itu bisa dimasukin ke dalam tas. Esok paginya, gue siap untuk mengumpulkan SoI tersebut.

Dua minggu telah berlalu. Di tengah-tengah gue sibuk membetulkan revisi jurnal MPE akibat kena kritik dari Mbak Dian, gue juga sempat keganggu sama beberapa tugas adik-adik 2013. Banyak di antara mereka yang minta bantuan ke gue. Karena gue khawatir sama anak orang... (iya, masa anak orang ditelantarin, sih), maka gue bantu mereka sebisa mungkin.

Apa aja gue bantu. Bahkan, seharusnya Kakak Mentor "hanya" diwajibkan membantu mahasiswa barunya buat mengerjakan tugas ospek jurusan. Tapi, pada praktiknya hal tersebut tidak bisa gue lakuin. Karena mayoritas dari kakak mentor banyak yang tidak bisa membantu menti-mentinya (menti: adik asuhan si kakak mentor), iya... Makanya semua menti yang enggak merasa terbantu ya lari ke gua.

Well, di saat itu jujur aja. Gue bingung, itu termasuk rejeki apa bencana, ya?

Mau rejeki apa bencana, jalanin aja dulu. Tentu saja, gue menjawab itu di dalam hati sambil menghela napas besar-besar.

Berbagai curhatan mereka juga acap kali gue tampung.

Q: Kak, entar pas hari H Ospek kita bakal dijahilin enggak?

A: Enggak begitu.

Q: Maksudnya "enggak begitu", kak?

A: Relatif. Ada yang kena jahil, ada juga yang lolos.

Q: Kak, kasih tips buat ospek dong.

A: Satu tips aja sih... Siapin mental dan fisik yang prima. Siapin mental buat bisa tahan banting sama perbuatan senior lo yang enggak seronok atau mungkin aja nyakitin hati lo. Kedua, siapin fisik yang sehat. Jangan ampe sakit. Di ospek itu soalnya lo bakalan dipaksa buat begadang. Makanya, intinya jangan lelah mental dan lelah fisik, dah.

Q: Kak, maksudnya hukum Hardy-Weinberg itu apa, sih?

A: (setelah googling akhirnya nemu juga) Hukum keseimbangan fenotip dan genotip. Intinya, kalau kawin di dalam kelompok itu bakalan menyeimbangkan ciri fenotip dan ciri genotip.

Q: Lah, apa hubungannya sama Antropologi, kak?

A: Entar nemu hubungannya deh sama konsep endogami.

Q: Endogami artinya apaan, kak?

A: -,- Endogami itu artinya kawin dalam kelompok sendiri.

Q: Kak, tujuh unsur kebudayaan itu dianggap penting kenapa, sih? Ini ada salah satu soal buat UTS Antropologi nih, kak.

A: Penting minimal buat bikin etnografi. Tapi, kalau etnografi klasik, dia bakalan nambahin dua unsur lagi, yaitu sejarah dan geografi lokasi penelitian. Tujuh unsur kebudayaan dapat digunakan untuk membicarakan "konteks" di dalam Antropologi. "Konteks" itu sederajat sama "variabel" dalam Sosiologi.

Q: Kak, Kak ABC tahun 2010 resek enggak, sih?

A: Kagak, kok. Emang kenapa? Kok dibilang resek?

Q: Enggak kak, hehe. Soalnya, tampangnya jutek aja.

A: Iya, banyak kok yang nyangka dia jutek. Bukan apa-apa, sebenarnya dia sih enggak jutek. Tapi, dari sananya aja dia udah punya tampang kayak gitu. Gue jujur lho, sebenarnya dia itu baik banget orangnya.

Q: Iya ya, kak? Tapi, kok...?

A: Lo mau fakta atau opini, dek? Kalau fakta, ya itu yang tadi gue sebutin. Kalau opini, ya berarti yang lainnya. Kalau opini, berarti dia "beneran" jutek.

Q: Kalau Kak Tango gimana, kak?

(setelah dia nanya itu, akhirnya gue menceritakan pengalaman naas gue akibat ketengilan si Tango di Desa Nunuk kemarin)

Q: Astaga, kak... Astaghfirullah...

A: Hey, dek. Lo punya temen seangkatan sendiri yang banyak, kan? Udah, sama temen seangkatan sendiri jangan saling makan temen deh. Jangan saling tusuk menusuk. Gak ada gunanya. Malah yang ada juga rugi. Karena, siapa lagi yang peduli sama angkatan lo, ya kecuali lo dan tiap-tiap orang dari angkatan lo sendiri.

Q: I... Iya, kak.

A: Sorry, bukan maksudnya pamer pidato, sih. Ini berdasarkan pengalaman pribadi aja. Jadi, gue banyak belajar. Dan semoga, lo yang mendengarkan bisa mengantisipasi kejadian naas tersebut. Jangan ampe lo dapet apa-apa yang gue alami itu juga.

(seminggu kemudian)

Q: Kak, si Kak Tango ngritik review punya kita. Katanya, "Goblok kalian! Tulis aja sendiri, ampe bener! Gue enggak mau bantu kalian kalau review-nya masih enggak bener!".

A: Kalian dikatain 'goblok' sama si Tango?

Q: Iya, kak...

(For God damn' sake! Why don't you just go to hell, Tango? Kalo hidup lo cuma bisa ngerepotin orang lain, mendingan mati aja sama masuk aja ke neraka, gih! Dasar bangsat! -,-)

A: Oke, sini. Yuk, gue bantuin ya bikin review-nya. Setelah selesai, kalian kumpulin ini ke Kak Tango. Abis udah diterima, ya kumpulin aja langsung ke Kak Devita. Inget, jangan sampai ada yang tahu ya kalau kerjaan lo ini dibantuin sama gue.

Q: Baik, kak. Makasih banyak lho, kak. Maaf kami ngerepotin.

(seminggu kemudian, Tango tutup mulut sama kerjaan hasil polesan gue tersebut dan dengan lancar review itu langsung diserahin ke Devita.)

(hingga akhirnya ada pertanyaan yang begitu absurd dan tentu saja itu berada di luar urusan gue...)

Q: Kak, siapa sih nama pacarnya Kak XYZ tahun 2011?

A: -,- (Wha? Know that, I am really pissed off by that fucking question!) Enggak melayani pertanyaan yang demikian, dek. Lo enggak usah kepo deh sama urusan pribadi orang.

Q: Maaf ya, kak.

A: Udah-udah. Kagak usah dibahas lagi.

Dst... -,- Huf! Pertanyaan apapun bisa gue jawab. Kalopun kagak, gue bakalan cari ampe dapet! Tapi, enggak termasuk pertanyaan yang terakhir tadi ya. Intinya, gue sebagai Kakak Mentor saat itu enggak mau melayani pertanyaan-pertanyaan berbau siapa pacarnya siapa, siapa nama orang tuanya siapa, dan sebagainya.

Karena, emang enggak penting juga.

Oke, itu sih yang tadi merupakan serpihan kecil-kecilan mengenai kerepotan gue selama jadi Kakak Mentor. Jujur, jadi Kakak Mentor itu menyenangkan tetapi melelahkan. Menyenangkan ketika gue bisa mengajak adik-adik baru buat bercengkrama dan saling bertukar pikiran serta perasaan. Melelahkan ketika banyak Kakak Mentor yang menghilang dan menelantarkan menti-mentinya. Tentu saja - balik lagi ke yang tadi - kalau si menti-mentinya ini ngerasa terlantar, pasti ujung-ujungnya pada lari ke gue.

Well, I am really happy but pissed off, too! -,-

Di saat yang bersamaan, gue masih belum bisa memastikan mengenai nasib jelasnya si majalah. Antropos oh Antropos. Gue sendiri bahkan sampai saat ini juga bingung, kenapa gue mesti dapet amanah buat ngerjain kerjaan kayak begini? Hmm... Tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang...

"Di, bentar lagi udah mau selese, kok. Ini lagi ada masalah sama desainnya aja.". kata salah seorang staf gue. Sontak gue menghela napas dengan berat.

Di saat itu juga, tiba-tiba Apiz dan Irin bertanya-tanya, "Di, kapan Antroposnya selesai? Ditanyain tuh sama para kerabat.". Baru aja gue mau ngejawab, eh datanglah si Devita menanyakan hal yang sama.

So, fuck you all!! :"v

.... What the fuck!?

Karena gue merasa pusing sama majalah, akhirnya gue beralih ke kerjaan skripsi. Enggak lama kemudian, gue dapet kabar kalau dosen pembimbing gue ialah Ibu Prof. Dr. Yasmine Zaky Shahab. Beliau merupakan dosen yang hanya pernah mengajari gue dua kali, yaitu tepatnya saat kelas Statistik Sosial dan kelas Antropologi Kependudukan berlangsung.

Gue lalu mendatangi beliau di Departemen. Ruang Departemen disesaki oleh orang-orang yang begitu khidmat makan... Gado-gado? Eh, ada acara apa, kok pake makan gado-gado segala? Agar tidak mengganggu suasana tersebut, gue memanggil Bu Yasmine dengan suara yang kecil. Dengan berbisik, saya berkata, "Bu, saya Ardi.". Beliau berkata dengan balas berbisik, "Di, saya Yasmine.".

Sontak Departemen menertawai tingkah laku gue yang begitu absurd tadi.

Cih. Gini, nih. Sekalinya gue stres dan banyak pikiran yang numpuk, perilaku gue juga ikutan enggak jelas. Gara-gara siapa sih gue jadi kena stres begini!?

"Yuk, Di. Kita bicaraian SoI kamu abis saya selesai makan gado-gadonya, ya!", kata beliau dengan bersemangat. Saya menjawab, "Oke, bu. Makasih. Saya tunggu di luar ya, bu.".

Gue menunggu di luar dan tidak lama Bu Yasmine menemui gue...

"Mas Ardi? Iya. Jadi, Mas Ardi lupa ngasih judul SoI. Terus, ada kalimat yang tidak efektif. Penjelasan mengenai topik mas juga masih berada di dalam tataran abstrak. Maksudnya, yang mau dilihat kan masalahnya itu yang terlihat jelas. Ada enggak sih masalah yang terlihat di SMP Islam al-Azhar 3 Bintaro itu?".

Stab stab stab. Berbagai kritikan dari beliau begitu menusuk lahir batin gue.

"Mas Ardi?".

"Iya, bu!", gue menjawab dengan kaget. Bu Yasmine lalu melanjutkan pertanyaannya, "Ada yang enggak ngerti, gak?". Gue lalu menjawab, "Bu, maksudnya tataran abstrak itu gimana?". Beliau menjawab, "Supremasi iptek kan nyangkut di pemikiran. Jadi, gak kelihatan, kan? Makanya, cari dulu yang kelihatan.".

Oh!

(... Walah, ada masalah enggak ya, di al-Azhar 3 yang bisa dibahas secara antropologis? Masalah yang nyata, lho. Yang bisa dirasakan secara empiris. Yaelah, kok malah baru kepikiran sekarang?)

"Nah, jadi tugas selanjutnya. Bikin lagi yang kayak begini, tapi lebih banyak. Lebih detail. Jangan mundur, maju terus. Yang namanya tulisan kamu itu enggak boleh berhenti di tempat. Biar bagus begitu perkembangannya. Jadi, buat sekarang ini, cari apa sih masalah yang gawat darurat, yang perlu diangkat secara antropologis? Oke. Coba, cari dulu di SMPIA 3 Bintaro itu ada apa sih?", kritik Bu Yasmine dengan tajam tetapi lembut. Gue menjawab, "Siap, bu. Saya kalau begitu balik dulu ke lokasi penelitian ya, buat benerin preliminary survey-nya!". Beliau menjawab, "Oke, ditunggu kabarnya, Di.".

Gue keluar dari Departemen. Pintu keluar Departemen itu telah disesaki oleh beberapa teman gue seperti Imam, Darsya, Giri, dan Ubed.

Sontak Ubed bertanya, "Gimana prof? Lancar?". Gue lalu menjawab, "Jadi, gini nih ceritanya kalau prof dibimbing sama prof, hahaha! Yah... Gagal total, bro. Gue mesti ganti semuanya. Mesti dirombak. Intinya, mesti kembali lagi ke lokasi penelitian buat nemuin apa sih masalah yang ada?". Giri lalu berkata, "Ya sabar aja, gan. Coba aja kejar apa yang bisa dikejar!". Darsya lalu ikut menimpali, "Tenang aja, sob. Pasti lo bisa lah!". Imam juga ikut nyerocosin katanya Darsya, "Tumben makhluk setengah coli bisa ngomong!".

Iya, orkestra tertawa kami berlima mengiringi pintu Departemen. Setelah itu, gue pulang dengan perasaan yang was-was, tentu aja. Sesampainya di rumah, gue tiba-tiba di SMS oleh Giri. Katanya, "Di, dosen pembimbing lo Bu Yasmine, kan? Hari ini beliau ulang tahun, lho!".

Hahaha, alamak. Pantesan, tadi kok di Ruang Departemen semuanya pada lagi makan gado-gado, selain dari Bu Yasmine-nya sendiri juga. Oh, ternyata satu ruangan itu ditraktir gado-gado toh sama beliau.

Sontak gue mengucapkan selamat ulang tahun bagi beliau. Beliau membalas, "Makasih ya, Di. Sukses juga buat kamu.". Good!

Seminggu kemudian, gue kembali mendatangi SMPIA 3 Bintaro. Dengan bermodalkan pakaian rapi, senyum seadanya, dan perilaku yang sopan, gue mengawasi lagi. Gue awasi dengan seksama...

Dan sayang... Gue masih belum mendapatkan inspirasi... :'( apa sih masalah yang sebenarnya terjadi di SMPIA 3 Bintaro dan sebetulnya, masalah itu bisa dikaji secara antropologis!?

Akhirnya, Bulan November 2013 datang juga...

Dua minggu kemudian, gue kembali ke kampus buat ngumpulin SoI revisi. Tentu saja, karena hasilnya yang masih begitu rabun gue kembali mendapatkan kritik. Kata beliau, masalah gue masih belum begitu jelas. Lebih lanjut lagi, beliau berkata, "Mas Ardi, coba banyak-banyakin baca studi kajian Islam seperti tulisannya Cak Nur (Nurcholish Madjid) sama yang lainnya. Di situ Mas Ardi dijamin bakalan dapat apa sih masalah yang biasa muncul di dalam pedagogi Islam. Mendingan baca dulu, ya. Abis itu, baru deh bikin lagi. Oke? Inget, baca dulu. Abis itu, baru cari inspirasi ke lapangan, ya?". Gue menjawab, "Iya, bu. Terima kasih atas bimbingannya buat hari ini." dengan ekspresi poker face. Sebelum gue menutup pintu ruang kerjanya Bu Yasmine, beliau juga berkata, "Ingat ya. Tulisan Mas Ardi enggak boleh ada yang stag. Kalau dua minggu depan saya masih melihat kerjaannya masih kayak hari ini, saya enggak akan menerima kerjaan itu. Pokoknya harus berubah jadi yang lebih bagus! Kalau emang Mas Ardi belum siap dan butuh waktu, boleh diundur ampe bulan depan. Yang penting hasilnya lebih baik, ya?". Gue menjawab, "Baik, bu. Terima kasih, bu." dengan tampang that feel... :'(

(Huh... Rasanya menyebalkan sekali mendapatkan stagnansi di dalam pengerjaan skripsi. Sakitnya itu kerasa lahir batin, soalnya)

Iya, gue putusin buat membenahi diri selama sebulan lamanya. Ada kemungkinan gue baru bisa kembali lagi ke kampus ya... Akhir-akhir tahun 2013 ini... :'( .

Gue lalu mencoba buat mencari dan membaca referensi soal pendidikan Islam a la Cak Nur dan yang lainnya. Hingga akhirnya gue menemukan karya dari salah seorang ahli dari Sosiologi Pendidikan bernama Charlene Tan. Beliau merupakan salah seorang professor di Universitas Hong Kong yang tertarik sama permasalahan pendidikan Islam. Salah satu karyanya menghasilkan teori yang disebut dualisme pendidikan. Intinya, dualisme pendidikan itu gimana sih kalau ilmu agama dengan ilmu-ilmu lainnya itu enggak bisa akur karena ketidakkompetenan guru dan muridnya. Menurutnya, yang paling banyak mengalami hal ini ada di Pesantren Tradisional. Kalau di sekolah Islam gitu malah enggak ada, karena murid dan gurunya udah pada pinter semua.

Tapi, apa salahnya kalau gue menguji hal ini pada SMPIA 3 Bintaro? Bisa aja kan teori itu gue bantah, karena kenyataan berikut hasil penelitian yang mau gue bikin ternyata menjawab kebalikannya!?

YEAH!

Tetapi, di saat yang bersamaan...

"Kak Ardi! Bantuin, kak! Esai kita yang dipresentasikan dapet 35! Jahat banget kerabatnya!", kata Leny yang bertugas sebagai ketua kelompok ospek jurusan gue dengan melas. Ngomong-ngomong, gue lupa bilang soal kenapa Kakak Mentor ini perlu banget bantuin mentinya. Ya, di hari H ospek nanti mereka bakalan disidangin hasil penelitiannya. Gue udah membimbing mereka dari tiga bulan yang lalu... Tentu saja atas permintaannya Devita... (Kalau atas permintaan selain Devita mungkin gue udah nolak, kali. Gue kagak tega sama Devita aja, sih. Makanya gue mau bantuin dia). Nah, sekarang ini udah bulan kelima. Tinggal sebulan lagi mereka harus ngumpulin esainya. Kemarin, mereka kedapetan giliran buat presentasi pra-ospek agar mereka punya persiapan buat menghadapi sidang di hari H. Eh, awalnya gue kira udah bagus. Kenyataannya, masih ada beberapa yang perlu direvisi...

Egh... Ada yang dibimbing, dan ada yang membimbing... Gue membimbing adik-adik menti... Tapi, di saat yang bersamaan gue juga dibimbing sama Prof. Yasmine... Hmm, di atas langit jadi ada langit, ye?

"Ayo, ayo, gue bantu ampe habis!", kata gue dengan terbata-bata. Setelah selesai pada pukul 17.15 WIB, akhirnya adik-adik menti gue dapat bernapas lega... (ya, gue juga bisa ikutan bernapas lega, sih). Leny berkata, "Horee!! Punya kita udah selesai duluaann!!". Kelompok lain yang masih kerepotan hingga saat ini menengok ke arah kelompok kami dengan ekspresi poker face.

Gue lalu berkata, "Bagi ada kelompok yang di sini yang ngerasa kerepotan. Boleh curhatin hasil esai kalian ke gue. Dengan syarat satu hal... Ini karena Kakak Mentor kalian enggak bisa nolongin kalian...".

Eh?

Kenapa gue malah nawarin bantuan dengan lepasnya? Apa karena gue gak tega sama anak orang yang lagi ditelantarin? Atau karena... Ini merupakan refleks tiba-tiba dari tubuh untuk berbuat kebaikan? Suatu hal yang enggak gue sadari buat saat ini, tapi baru gue sadari belakangan entar...!?

Tahu, ah!

Sontak tiga kelompok meminta bantuan dari gua! Wah! Sekali lagi, ini rejeki apa bencana, nih? Kelompok pertama adalah kelompok yang dicuekin oleh Tango -,- . Kelompoknya si Tango ini yang paling gue kenal bernama Indah dan Elok. Nah, kata salah seorang dari menti yang bukan merupakan diri Indah maupun Elok, "Kak Tango ngilang melulu, kak. Udah enggak ada kabar semenjak kami udah menyelesaikan review yang dibantuin sama Kak Ardi itu.". Gua lalu menjawab, "Iya... Mungkin gara-gara dia lagi sibuk sama skripsinya.". Adik menti itu sontak mengomentari, "Lah, tapi kan Kak Ardi juga lagi sibuk ngerjain skripsi!?".

Gue lalu menjawab komentar tersebut dengan nada yang lebih tinggi, "UDAH, NGAPAIN NGURUSIN URUSAN ORANG LAIN. ORANG LAIN INI JUGA BUKAN ORANG YANG BENER, PULA! Sekarang, mari kita fokus ke kerjaan kita terlebih dahulu! Sampai mana, tadi? Data sekunder buat Setu Babakan, ya?".

Nah, setelah gue membantu mereka hingga Adzan Maghrib berkumandang, gue mengajak beberapa adik-adik menti seperti Tanto dan Wahyu untuk bersama-sama menunaikan ibadah tersebut. Tanto berkata, "Haduh, Kak Ardi. Kakak Mentor kita cuekin kita juga, tuh. Udah ditelpon sama di SMS kok enggak dibalas-balas. Kurang greget apa, coba. Makanya, kita minta bantuan Kak Ardi biar makin greget.". Gue mengerut dan memasang senyum sinis karena bingung mau tertawa atau kesal mendengar cerita singkatnya si Tanto ini. Wahyu lalu menimpali, "Hey, To! Jangan bikin Kak Ardi kebingungan!". Sontak kami semua tertawa lepas di malam hari itu. Setelah itu, gue membantu dengan berkata, "Oke, kali ini menyangkut masalah locating the culture, ya... Unik juga nih, masalah penelitian kalian! Bagus, kok!" sambil tersenyum lebar. Tanto dan Wahyu ikut tersenyum.

Akhirnya, ada kelompok terakhir yang berbicara mengenai Warung Makan. Kelompoknya si Perez. Perez berkata, "Maaf ya, kak. Aku jadi minta bantuan kakak, ngerepotin kakak. Soalnya Kakak Mentor saya lagi ada urusan mendesak, katanya.". Gue menjawab, "No problem... (Actually is: Yes, it is my fucking problem, off course! Heran gue kok kenapa Kakak Mentor kalian bisa aja cuekin kalian seenak jidat! -,-)". Setelah gue membantu hingga selesai, kami akhirnya curhat terlebih dahulu.

Gue berkata ke mereka, "Gue punya cita-cita bisa ke Inggris, buat nerusin gelar pasca sarjana Antropologi di sana!".

Sontak mereka semua menjawab, "Aamiin! Ayo kak, pasti kakak bisa!". Perez lalu berkata, "Ah, Kak Ardi mah emang pantas. Emang bisa kok ke sana.".

(Hmm... Perez.. Mahasiswa yang berasal dari NTT ini... Jauh-jauh ke sini, buat mencari ilmu... Buat mencari kehidupan yang lebih layak... Dan secara khusus, untuk berinteraksi dengan diri gue dan... Mendukung cita-cita dan impian gue?)

"Aku juga pengen ke... Harvard... Ambil Economics...", kata Perez dengan nada yang kecil.

Gue jawab dengan nada yang tinggi, "Kita harus punya cita-cita dan impian yang besar! Enggak ada salahnya, kok! Asalkan kita tetap berusaha dengan baik! Pasti bisa!".

...

Hehehe. Terima kasih ya semua atas dukungannya :").

Hari sudah malam, dan gue mesti pulang. Sesampainya di rumah, gue langsung istirahat dengan pulas. Esok paginya, gue terbangun dengan kaget akibat tangisan dua ponakan gue. Haduh, lagi-lagi gue kebangun gara-gara tangisan dua bocah itu. Heran, kok bisa aja begitu -,-.

Gue lalu iseng-iseng membuka email. Dan, email itu berisikan mengenai permintaan tolong dari Tya 2012 dan Putri 2012... Mereka ingin janjian ketemu sama gue besok juga. Mengenai perihal disintegrasi, konflik, dan kekerasan di Brazil tahun 1990an...

Esok paginya, gue sampai di kampus dan memainkan laptop terlebih dahulu di Gedung N. Tidak lama kemudian, Tya dan Putri datang menghampiri diri gue. Mereka berdua minta maaf karena agak telat datang. Gue menjawab, "Enggak kok. Baru aja lima menit.".

Gue lalu membaca artikel tersebut dengan khidmat. Iya, bahasanya emang susah banget, sih. Setelah menerjemahkannya tiga kali, akhirnya kami menyelesaikan bagian pendahuluan hingga isi. Bagian simpulan akan kami bicarakan lagi minggu depan.

Gue lalu berkata kepada kedua gadis itu, "Hey. Kalau kalian tahu sama Grand Theft Auto, pasti kalian mengerti sama artikelnya. Jujur, bahasanya si artikel ini emang ribet parah sih. Tapi, coba gue pahamin, dan ternyata apa yang dihasilkan itu emang mirip sama GTA, lho.". Eh, keduanya sontak bertanya,
"Maaf kak? GTA itu apa, ya?".

Astaga, salah pengertian. Gue lalu berkata, "Hehe, itu salah satu game yang terkenal. Kalau kalian enggak biasa main game, ya tentu enggak tahu. Enggak sih, kalau emang kalian suka main game, terutama main GTA, itu bisa jadi clue buat memahami artikel pelik tersebut.". Mereka berkata dengan melas, "Maaf kak, kami enggak biasa main game.".

Iya. Wajar sih, kalau anak perempuan jarang yang mau main game. Shit, pikiran menumpuk jadi bikin perilaku gue enggak bener kembali, deh.

Esoknya pada dini hari pula..! Gue mendapatkan permintaan tolong dadakan dari Fai 2013 dan menti-menti yang lainnya. Karena hari deadline pengumpulan esai revisi semakin dekat, maka setiap dari kelompok maba tersebut pasti bakalan panik. Kecuali kelompok gue sih, karena kelompok gue udah selesai (hahaha, toast, hey group four! Hey, Leny, Rifqy, Shinta, Vela, and Sari! Uhuuyy! XD). Nah, kelompoknya si Fai ini minta tolong dari pukul 00.00 WIB dan baru bisa selesai pada pukul 01.46 WIB...

Gue lalu ketiduran di atas meja karena sudah tidak kuat lagi. Di saat yang bersamaan ada email masuk dari Fai yang berkata,
"Kak Ardi! Aduh kak, makasih banyak lho. Maaf banget ngerepotin. Sama, aduh... Maaf kak bingung mau ngomong apaan lagi. Bantuan kakak intinya berguna banget buat kami. Makasih banget lho, bantuan kakak begitu detail dan sangat mempermudah penelitian kami. Makasih ya, kak. Makasih...!".
Sedangkan, gue baru bangun setelah Adzan Subuh berkumandang. Dan, tidak sengaja membaca ucapan terima kasih itu.
Gue merasa berbahagia. Walaupun tepat sebelum di saat yang berbahagia ini, gue betul-betul menderita... Gue menderita di dalam menolong jiwa-jiwa yang sedang menderita juga. Gue cukup menderita menolong adik-adik menti yang ditelantarkan. Ditelantarkan itu mendiktekan penderitaan, bukan?

Lalu, bagaimana dengan skripsi?

Sontak gue kaget dan mencoba mengerjakan urusan sendiri! Haduh, cukup dulu deh dengan urusan orang lain. Kalau urusan dalam negeri aja belum keurus, gimana diri ini mau selamat!?
Yuk, tulis ulang SoI-nya...
Gue mencoba mengelaborasikan antara pemahamannya Cak Nur dengan Tan. Ternyata, enggak jadi. Jadinya, gue mau bikin elaborasi antara pemikirannya Tan dengan Azyumardi Azra serta Ahmad Najib Burhani. Intinya, elaborasi itu menyatakan bahwa asal mula dualisme pendidikan itu ada dari wacana atau discourse "Islam with a Smiling Face" yang ditulis oleh dua surat kabar dari Australia, yaitu Times dan Newsweek. Intinya, dia bilang kalau wacana tersebut ada di Indonesia, mengacu kepada keadaan umatnya. Kenapa umat Islam di Indonesia dibilang tersenyum? Karena, muslim Indonesia itu terbuka dengan demokrasi (ideologi negara), modernitas (iptek dan persaingan global), dan pluralitas (keberagaman). Nah, adanya dualisme pendidikan bikin wacana tersebut salah kaprah. Gimana Islam di Indonesia mau tersenyum kalau pendidikan Islam-nya enggak ikutan tersenyum akibat dualisme pendidikan!?

Oke. Enough said! Gue rencananya bakalan mengirim tugas tersebut tiga minggu kemudian. Nah, sebelum tiga minggu itu berlalu, gue kembali membantu Tya dan Putri untuk menyelesaikan bahan presentasinya tersebut. Setelah selesai, gue mendapatkan sebuah kabar gembira. Bahwa, Tya dan kawan-kawan berhasil mempertahankan presentasinya itu di depan Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin alias Pak Afid dengan nilai kelompok... 85..!

Wah, Alhamdulillah!

"Haduh, kak! Makasih banyak lho, kak. Kalau bukan Kak Ardi yang nolongin, siapa lagi ya?", kata Tya lewat telpon.

Gue tidak menjawab pertanyaan itu. Yang sesungguhnya nolongin lo sih, Allah Swt. Gue cuma membantu sedikit, kok.

Anyway, sama-sama Tya. You are most welcome. Semoga sukses buat Tya dan kawan-kawan.

Minggu depannya, gue mau melarikan diri ini dari cengkraman stres akibat skripsi dan berbagai gangguan lainnya. Iya, bikin aja rencana buat ajojing. Mayan, hitung-hitung nambah pengalaman juga. Pengalaman soal gimana sih rasanya bisa ajojing di dalam kampus. Bersama dengan Damar 2010, Yoga 2010, dan beberapa kawan dari maba, sekaligus adik menti, tahun 2013 ini seperti... Milka, Elok, Vhannya, dan lainnya...

KAMI MENGHADIRI JAZZ GOES TO CAMPUS!!! X""D

Kami berjuang dalam mengantri. Iya, antriannya panjang banget. Sesampainya di ruang tengah, gue bisa mendengar suara yang begitu enak... Melodi yang bisa bikin gue joget-joget... Kayaknya ada unsur Asian-African-nya, nih...

Dan belakangan, gue baru nyadar kalau lagu yang lagi dimainkan itu bernama "Love is Everywhere"... Ayo, tebak siapa yang mainin lagu ajojing tersebut?

UGH! THAT IS... KYOTO JAZZ MASSIVE...!!!

UOOHHH!! GUE LANGSUNG LARI NGIBRIT KE SANA !! X""D

Gue menikmati joget-joget di tribun tersebut dengan santai dan riang. Milka dan kawan-kawan melihat gue dengan tampang yang sinis. Karena kaget, gue berkata, "Eh, maaf! Harap maklum! Lagian nih musiknya emang buat ajojing, sih. Hehehe.".

Tahu-tahunya, bukan itu. Milka berkata, "Kak, kenapa enggak maju aja? Emang kakak bisa melihat panggungnya? Kakak terlalu ke belakang, lho."

Gubrak!

Akhirnya, gue maju hingga panggungnya agak terlihat. Sepertinya Milka dan kawan-kawan ingin menonton yang lainnya. Cuma gue sendiri yang menonton ini. Yoga lagi menonton bersama Elok. Gimana dengan Damar!?
Damar enggak bisa ikut karena tiketnya dihilangin sama bokapnya! What the fuck! Jadi, pas kita tadi tengah-tengah mengantri... Dia mesti berjuang mencari calo buat cari sisa tiket. Dan, dia dapet tiketnya tapi telat... Sayang, jadi dia enggak bisa nonton dulu buat tahun ini...
That feels... :"(

EMANG SIH! SUSAHNYA PUNYA BOKAP YANG KEJAM ITU KAYAK GITU! DASAR BOKAP ENGGAK BENER! -,-" :"(

KJM lalu menutup panggungnya dengan lagu "Thank You".. Ugh, alangkah indahnya... :"")).
Akhirnya, gue menikmati sisa tontonan seperti Barry Likumahuwa dan Andien bersama Yoga dan Elok. Setelah itu, gue pulang ke rumah dengan selamat.

Dua minggu berlalu dengan cepat. Akhirnya, gue memberanikan diri untuk mengumpulkan revisi SoI buat yang ketiga kalinya -,-.
Dan buat informasi aja... Di saat gue lagi ngumpulin revisi SoI ketiga tersebut, ada beberapa temen gue yang saat ini lagi mau menyelesaikan Bab 2 nya...
Wah... Cepat sekali... Heran, kok gue bisa lambat gini, jalannya. :'(
Setelah mengumpulkan revisian tersebut, minggu depannya gue dapet kabar dari Bu Yasmine. Katanya,
"Di. Sudah baik. Sudah jelas apa masalah yang mau diangkat. Jadi, silahkan Mas Ardi temukan lebih lanjut di turun lapangan selanjutnya mengenai dualisme pendidikan. Coba Mas Ardi tanyakan dan kontemplasikan tersebut apakah dualisme pendidikan memang penting buat dibahas apa tidak? Relevan kah? Kalau iya, Mas Ardi bisa selesaikan Latar Belakang...".

What a single step... To the another steps... We go!

Iya, begitulah kisah perjuangan gue menghadapi kejamnya masa tingkat akhir (++) di akhir tahun 2013... Semua enggak berjalan mudah. Gangguan itu ada di mana-mana. Di kampus, gue mesti bantuin teman-teman yang sedang menderita terutama di dalam urusan akademis. Di rumah, gue mesti kerepotan menghadapi dua bocah ponakan. Kadang gue juga keganggu kalau nyokap gue marah-marah ke Kak Adis dan suaminya itu. Kadang gue juga keganggu kalau Kak Adis dan suaminya itu sering berantem gara-gara kurang bisa membangun teamwork di dalam berumah tangga. Aduhai rasanya.

Sampai bertemu lagi di awal tahun 2014. Tetap simak dan baca kisah perjuangan gue ya. Mohon maaf apabila ada yang merasa tersakiti akibat membaca ini. Jujur, gue cuma mau mengungkapkan apa sih penderitaan yang gue alami. Gue enggak boleh melupakan hakikat kemanusiaan diri gue. Jadi, kalau ada yang heran kenapa gue begitu stres dari akhir 2013 hingga awal 2015... Itu gara-gara gue lagi mempertaruhkan masa depan gue melalui skripsi dan berbagai gangguan lainnya... Gue harap lo bisa simpati, dan bahkan empati sama gue. Please, coba mengerti. Coba pahami diri gue. Bahwa, diri gue juga merupakan manusia biasa....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar