Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Jumat, 06 Februari 2015

Masa Awal Pengerjaan Skripsi: Kembali Beraksi, Menarik Lagi Asa yang Kabur

Bulan Agustus 2014 telah berlalu dengan cepat.

Segala macam kenangan yang berada di bulan itu, bahkan di bulan-bulan sebelumnya cukup membekas di benak ini. Beberapa kenangan itu ialah ketika gue membantu Zem di dalam mengerjakan beberapa tugas kuliahnya, bercengkrama dengan Ray saat buka puasa bersama, dan adiksi berlebihan gue ketika sedang memainkan Gran Turismo 6 bersama si Simulator G27. Ketiga kenangan itu merupakan kenangan indah yang sangat menonjol di periode tersebut.
Periode apa?
Periode ketika saat itu merupakan saat beberapa mahasiswa sudah dinobatkan untuk lulus di semester kedelapan ini...

(sekali lagi. Gue bersyukur karena beberapa teman gue berhak untuk mendapatkan nasib beruntung tersebut. Tetapi, di satu sisi gue merasa iba terhadap diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan sejenis "Mereka aja bisa lulus tepat waktu, masa lo enggak, Di?" selalu menghantui benak ini. Sangat mengganggu. Sangat ironis. Memprihatinkan lahir dan batin.)

Hingga akhirnya, gue kembali memaksakan diri ini untuk fokus lagi terhadap skripsi.
Iya!
Kalau Bab 1-nya enggak selesai-selesai, mau kapan lulusnya!? Halangan utama yang saat ini sedang gue tantang ialah Bab 1 itu sendiri. Heran banget, kok cuma karena Bab 1 aja urusan hidup gue bisa heboh begini!?

Gue bernapas dengan dalam-dalam. Lalu, gue hembuskan perlahan-lahan. Gue lakukan kedua hal tersebut berulang kali. Hingga, gue mendapatkan nyali untuk memberi pesan kepada Prof. Yasmine lewat email.

Gue berkata kepada beliau, "Bu, gimana dengan perkembangan latar belakang saya? Saya ingin agar Bab 1 ini cepat selesai. Dan begitu pula, agar saya bisa lulus di semester ini. Biar bisa sidang akhir tahun ini.".

Beliau menjawab, "Latar belakang saudara akan saya kritik minggu depan. Iya, makanya itu, saudara mesti cepat. Setelah saya memberikan kritik minggu depan, saudara lebih baik cepat-cepat mengerjakannya dengan baik pula. Setelah itu, kalau sudah benar, baru kita maju ke permasalahan dan kerangka konsep. Setuju? Sama satu lagi, IPK terakhir saudara berapa, ya?".

Mata gue melotot ketika ditanyakan pertanyaan terakhir itu.

Gue membalas, "Sangat setuju bu. Mohon dukungan dan bantuan ibu ya. Oh, IPKS saya hingga semesetr 8 ini ialah... 3.67, bu.".

Beliau lalu memberikan komentar terakhir, "Oh? Dengan nilai yang segitu bagusnya, maksud saya, di atas 3.5 sayang amat kalau diselesaikan dalam waktu yang lama. Sayang kamu tidak lulus semester kemarin, kan bisa cum laude? Baik. Saya akan bantu saudara sebaik mungkin untuk lulus semester 9 ini. Dengan syarat, saudara jangan banyak mengeluh dan kerjakan beberapa kerjaan berikutnya hingga selesai dengan efektif dan efisien. Setuju?".

Gue membalas, "Terima kasih bu. Saya setuju.".

...

Saat ini merupakan akhir minggu Agustus 2014. Tepat ketika gue mulai membuka lembaran semester baru, yaitu semester 9. Saat yang bertepatan ketika gue menerima kritik membangun dari Prof. Yasmine. Apa yang bakalan gue terima?
Waw. Kritiknya memang merupakan kritik keseluruhan. Sekali lagi, gue memang perlu merombak hampir di setiap lini tulisan yang sudah gue bikin.

Tetapi!

Tetapi, entah kenapa saat ini gue jauh lebih optimis dari yang sebelumnya. Gue jadi lebih tahu jalur berpikir yang tepat untuk menyelesaikan latar belakang ini. Latar belakang yang dulu gue ulangi terus, ulangi terus hingga menjadi something of bullshit, sekarang ini siap gue akhiri menjadi something of bad ass.
From zero to hero.
Tulisan gue yang awalnya begitu bodoh, sekarang ini bisa gue tulis melalui kritikan tersebut menjadi tulisan yang... Baik sekali.
Bahkan lebih baik daripada yang sebelum-sebelumnya.
Dan gue mesti berkaca kepada realitas. Gue mesti jujur kepada fakta dan diri sendiri bahwa... Gaya penulisan, cara gue menulis dengan efektif dan efisien, dan sebagainya itu yang gue lakukan seperti biasa pada sebelumnya...
Ternyata masih kurang tepat...
Masih banyak yang harus gue pelajari. Masih banyak kesalahan yang gue miliki di dalam menulis karya ilmiah.
Saking banyaknya kesalahan tersebut, itu semua merupakan fondasi dan berbagai dinding, atap, dan struktur lain yang terpadu di dalam sebuah sistem. Sistem itu merupakan bangunan kokoh yang siap dijadikan...
Skripsi. Skripsi yang pantas, tentunya.
Iya, andaikan gue masih mengandalkan kemampuan gue yang dahulu itu... Yang masih punya banyak kesalahan itu... Skripsi akan tetap jadi... Di dalam bentukan bangunan yang gagal. Bangunan yang gampang roboh? Bangunan yang gampang berdebu? Bangunan yang tidak sedap dipandang? Bangunan yang murahan?

SEMUA ITU BERADA DI LUAR HARAPAN DIRI GUE, TERMASUK DARI HARAPAN PROF. YASMINE JUGA.

Makanya... Makanya, gue membuat latar belakang ini dengan begitu intensif.

Latar belakang yang awalnya terdiri dari gabungan review yang cukup memusingkan akhirnya selesai dengan rapi. Awal sesi bagian ini menceritakan tentang bagaimana diskursus mengenai Islam with a Smiling Face ada di Indonesia. Intinya, wacana tersebut mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki Islam yang berbahagia karena memajukan modernitas. Wacana itu muncul dari Times dan Newsweek-nya negara yang memiliki pabrik otomotif Holden, yaitu Australia. Wacana yang bersifat main-main itu dikritik secara positif malahan oleh Ahmad Najib Burhani dan Azyumardi Azra.
Tengah sesinya, latar belakang ini lalu mengalihkan dirinya kepada teori dualisme pendidikan a la Charlene Tan. Tan berpendapat bahwa ada dualisme pendidikan yang terjadi di Indonesia, yaitu ketika ilmu pengetahuan agama tidak bisa terintegrasi dengan ilmu pengetahuan yang lainnya. Ini disebabkan oleh kesalahpahaman guru dan murid di dalam menyerap dan mempraktikan materi. Iya, jadi bisa aja kan guru tidak bisa menerangkan materi Biologi (misalnya) dan juga menjelaskan wahyu yang relevan dengan materi tersebut? Atau, kalaupun si guru udah canggih, nih... Bisa aja si murid tidak mengerti atas materi tersebut. Usut demi usut, hal ini seringkali terjadi di berbagai pesantren tradisional.
Akhir sesinya, latar belakang ini lalu memberikan keterkaitan antara teori dualisme pendidikan tersebut dengan wacana Islam with a Smiling Face. Jadi, mana mungkin Islam di Indonesia bisa berbahagia kalau pendidikan Islam-nya itu sendiri mengalami dualisme pendidikan? Ini bakalan gue uji di SMP Islam al-Azhar 3 Bintaro. Sekolah yang gue uji ini merupakan jenis Sekolah Islam, yang tentu saja berbeda sekali dengan pesantren tradisional. Apakah artinya sekolah ini tidak mengalami dualisme pendidikan karena bukan merupakan pesantren tradisional?
Kalau ditebak, ditanya-tanya terus, entar pasti ujung-ujungnya bakalan galau! Makanya, buat tahu apakah dualisme pendidikan itu terjadi, maka skripsi ini perlu dibuat...! Tentu aja, biar gue enggak galau lagi sama soal macam beginian.

WELL FUCKING SAID !!!! X"D

Alhamdulillah... Thank God :"D

Gue lalu mengirimkan hasil pekerjaan tersebut secepat mungkin. Kira-kira tiga hari setelah beliau menyampaikan kritiknya tersebut. Minggu depannya, Prof. Yasmine berkata,
"Latar belakang sudah betul. Silahkan lanjutkan ke permasalahan penelitian dan kerangka konsep. Ingat, kalau sudah selesai kita lanjutkan ke signifikansi, metode, dan sistematika ya, Di.".

WUOAH! Alhamdulillah! :"D

Iya. Saat ini pertengahan September sudah dimulai. Akankah bulan ini akan seindah nyanyiannya Earth, Wind, and Fire yang berbicara tentang bulan yang sama? Semoga saja.
Ternyata betul!

Alhamdulillah, gue tetap mendapatkan kritik di dua bagian itu. Kalau di permasalahan, gue perlu menambahkan pertanyaan penelitian. Kalau di kerangka konsep, gue perlu membetukan konsep institusi dan lembaga a la Koentjaraningrat. Setelah membetulkan semuanya, gue langsung menancap gas ke bagian signifikansi, metode, dan sistematika penulisan.
So, pedal to the metal!
Minggu depannya, gue kembali mendapatkan kritik di bagian signifikansi. Ternyata, gue harus membagi dua macam signifikansi, yaitu signifikansi akademis dan signifikansi praktis. Kemudian, bagian sistematika juga perlu dibetulkan karena strukturnya itu masih kurang menjawab pertanyaan penelitian.
Akhir September, gue datang secara tatap muka dengan Prof. Yasmine. Setelah berdiskusi panjang lebar mengenai progres yang luar biasa ini, beliau berkata, "Saudara bikin dahulu ragangan, ya. Setelah itu, saudara sudah bisa menulis. Kirim saja lewat email, entar saya konfirmasikan gimana yang harus kita lakukan buat ke depan-depannya.".

Oke!

Sontak lagu Earth, Wind and Fire yang berjudul September itu bernyanyi-nyanyi di dalam sanubari ini... Ia bernyanyi dengan lantang tetapi merdu...
La... La la! Dancing in September! Baa dee yaa ~ dee yaa ~ X"D

Setelah menyelesaikan ragangan yang terdiri dari lima bab, gue kirim hasil tersebut melalui email.
Minggu depannya.. Yang merupakan awal Oktober, gue kembali bertemu dengan Prof. Yasmine secara tatap muka. Beliau lalu menyarankan sebuah hal yang sama sekali enggak gue sangka....
Apa saran dari beliau?
"Bahasan kamu cukup banyak dan perlu dibikin detail. Jadi, enggak kayak mahasiswa yang lainnya, saudara perlu membabak ragangan menjadi tujuh bab. Bab 4 dan Bab 5 ini masing-masing mendingan dibagi menjadi dua bagian. Karena, masing-masing ini punya pembicaraannya sendiri-sendiri. Jadi, kalau digabung ya dibacanya enggak enak, gitu, Di."
Tentu saja gue berkata,
"Hah!?".
"Hmm... Coba saya tanyakan lagi. Kalau alur berpikir saudara kayak begini. Nah, ini kesimpulan saudara mau jawab di Bab 7?". Gue menjawab, "Iya, terserah ibu juga, sih. Enaknya gimana?". Beliau kembali bertanya, "Artinya, yang simpulan ini, yang terakhir ini akan ngasih jawaban buat permasalahan, kan? Kalau begitu ceritanya, ya saudara mesti bagi menjadi delapan bab! Tambahin satu bab terakhir buat simpulan! Jadi, Bab 1 itu pendahuluan. Bab 2 itu gambaran umum. Bab 3 hingga Bab 6 itu hasil penelitian (membicarakan sistem terintegrasi dan modernitas),  Bab 7 buat analisis, dan Bab 8 buat kesimpulan. Setuju?".
Sontak gue bertanya dengan mata yang melotot akibat setengah panik, "Bu! Maaf saya boleh bertanya dahulu? Emang boleh ya kita bikin skripsi delapan bab? Bukannya maksimal lima bab aja, bu!?".
Bu Yasmine tertawa... Lalu berkata dengan tenang dan tegas,
"Kata siapa maksimal lima bab saja? Boleh! Boleh lebih! Boleh dibikin sampai delapan bab! Nah, saya jadi teringat dengan skripsi bimbingan saya yang dulu. Tahun 2000an awal kalau enggak salah. Dia itu berhasil sampai tujuh bab, lho.".
Gue berkomentar dengan bloon, "Tujuh bab, bu!?".
"Iya! Nah, kalau kamu berhasil bikin delapan bab ini, ya artinya... Kamu bakalan jadi rekor mahasiswa antrop dengan bab terbanyak. Delapan bab! Enggak apa-apa, sama sekali, Di!", kata beliau sekali lagi dengan tenang dan bersemangat.

YEAY! X"D.

Akhirnya, ragangan sudah selesai. Karena ragangan sudah selesai, otomatis gue udah bisa menulis sistematika penulisan (yang isinya delapan bab itu. Hampir ngabisin satu halaman lho saking banyaknya, uhuyy! XD). Setelah itu, gue akan melanjutkan diri ke Bab 2 hingga Bab 8.

Huft... Lega sekali, rasanya. Akhir cerita ini justru malah banyakan suka citanya daripada duka citanya, kan? Iya, Allah Swt memang Maha Baik. Beliau tahu bahwa mendingan gue ketimpa duka cita terlebih dahulu, baru deh ujung-ujungnya diakhiri dengan suka cita. What a nice present from My Dearest - Most Gracious Lord! Ouuww yeeahh! Alhamduillah. :"D

Walaupun begitu, perlu diketahui bahwa ujian yang gue alami di tengah-tengah suka cita itu juga banyak. Duka cita yang kebanyakan gue alami justru - kembali lagi - berada di dalam rumah gue. Sekali lagi, gue bertanya-tanya di dalam hati... Kapan ya keluarga gue bisa akur? Kapan ya suasana rumah bisa tertib, tenang, dan teratur? Karena, saking tidak tenangnya itu, sampai-sampai gue kerja itu setiap dini hari. Kenapa dini hari? Karena enggak ada yang mengganggu. Enggak ada yang mengejek. Enggak ada yang marah-marah. Enggak ada yang menyuarakan kemunafikan tertentu. Enggak ada semua itu di rumah, hanya pada waktu dini hari.
Karena, logikanya - semuanya lagi pada tertidur lelap. Jadi, jadwal gue kebalik. Pagi sampai siang gue tidur. Tapi, sore ampe subuh gue belajar dan bermain. Jadilah gue manusia nokturnal selama mengerjakan Bab 1 dan Ragangan ini. :'(
Kalaupun gue mau belajar pagi-pagi, biasanya gue belajar di kampus. Gue biasa nongkrong di dua tempat, yaitu di perpustakaan pusat Universitas Indonesia (Chrystal of Knowledge) tepatnya di Ruang Komputer alias Kebun Apel, ya kalau enggak di depan Gedung Nusantara di Gedung FISIP UI. Cuma buat info aja.
Dan - sekali lagi - semua ini merupakan cerita jujur dari diri gue, lho. Sengaja. Cerita ini sengaja gue bikin pake sudut pandang orang pertama alias akuan. Mengapa? Agar yang membaca ini bisa merasakan menjadi diri Ardi Pritadi. Mantap, kan? Apakah dengan ini artinya gue mencari simpati dan empati? Pencarian simpati dan empati di tulisan ini jadi tujuan sekunder. (Lagian enggak ada salahnya mencari simpati dan empati. Toh, orang kan bisa saling membantu satu sama lainnya karena simpati dan empati, bukan? Karena itu buat kebaikan, ya kenapa enggak?) Tujuan primernya... Gue hanya ingin berbagi pengalaman hidup. Gue itu pengen kalau... Dengan orang membaca tulisan ini, maka pembacanya itu makin tahu sama sifat dan sikap gue. Mereka makin bisa paham mengapa gue bisa berbuat yang begini dan kenapa enggak kayak begitu, sih.
Jadi, ingin tahu sikap dan sifat gue? Ingin tahu pengalaman hidup gue? Ingin tahu pemikiran gue? Iya. Di sinilah tempatnya. Semua itu ada di sini. Itu semua jadi alternatif, kalau-kalau pembaca enggak sempat, atau enggan, atau malas, mengajak berbincang dengan si Ardi pritadi ini mengenai apa sih sikap, sifat, pengalaman hidup, dan pemikirannya.

Iya, di sini. Tertuang semua di sini. Di blog tercinta ini. Terlampau mantap. :"D

________________________


Demikian cerita mengenai Awal Pengerjaan Skripsi ini gue tutup. Selanjutnya, mari kita berbicara mengenai Masa Tengah Pengerjaan Skripsi yang akan membicarakan perjuangan gue melawan Bab 2 hingga Bab 8. Perjuangan gue yang terbukti ampuh di dalam hanya kurun sebulan, yaitu pertengahan Bulan Oktober hingga pertengahan Bulan November. See ya all there in the next session, dudes. Please watch your fucking self! X"D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar