Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Senin, 02 Desember 2013

Tenaga Pendidik: Tokoh Lain yang Membakar Semangat

Kali ini, gue mau berbicara mengenai tenaga pendidik. Apa yang berharga dari mereka. Apa yang bisa kita pandang dari mereka. Tentu saja, pandangan yang gue maksudkan itu sifatnya positif.

Sekaligus, gue mengenang dua hari yang penting: Pertama-tama, yaitu hari wafatnya Prof. Dr. James Danandjaja selaku guru besar Antropologi yang seringkali berkecimpung di bidang antropologi psikologi dan folklor. Semoga beliau mendapatkan tempat yang mulia Di Sisi-Nya di akhirat. Aamiin.

Hari kedua yang gue maksudkan ialah tepat di tanggal 25 November yang lalu. Mohon maaf gue baru bisa nulis sekarang karena gue lagi galau kemarin2. Ditambah sibuk. Jadinya galau plus sibuk. Kembali lagi pada tanggal 25 November, hari apa itu? Tepat, Hari Guru Nasional.

Di Hari Guru Nasional itu, jujur aja gue enggak memperingatinya lewat facebook maupun yang lainnya. Begitu juga dengan berita duka wafatnya Prof James. Artinya, dalam tulisan ini izinkan gue mengenang kedua hari itu.

Mengapa mesti gue kenang? Memangnya sedih banget ya, ceritanya? Bisa dikatakan, sedih dalam artian terharu. Gue begitu bangga akan kehadiran beliau sekalian yang telah mendidik diri gue dengan berbagai kerepotan yang mereka alami. Ada dan tiadanya beliau sekalian tetap saja terkenang di dalam hati nurani, terbayang di dalam benak, dan bisa saja dialirkan melalui air mata yang mengalir secara tidak sengaja - membanjiri pipi gue yang begitu kecil ini.

Bayangin aja, memang sih gue enggak pernah diajar secara langsung oleh Prof. James. Tapi, gue pernah membaca - bahkan menyelesaikan buku yang pernah beliau tulis tentang folklor Indonesia. Dengan tulisannya yang mengalir dan menawan itu, beliau mampu membuat gue membaca buku (yang padahal) ilmiah itu dengan begitu mengalir. Gue bahagia karena ilmu gue makin kaya. Dan gue bahagia karena gue banyak tertawa sama tulisannya. Sebenernya, bukan tulisannya yang ngelawak, tapi ada beberapa budaya tertentu yang tertulis di situ mampu buat bikin gue ketawa.

Begitu juga dengan berbagai Prof yang lain. Beliau sekalian - entah masih hidup maupun sudah wafat - tetap saja demikian simpulannya. Ada dan tiada beliau sekalian tetap saja membuat diri gue terharu. Ucapan terima kasih yang paling bermanfaat bagi beliau sekalian ialah satu hal: kontribusi bagi masyarakat2 di Indonesai lewat ilmu yang pernah diajarkannya ke diri gue.

Sekalipun gue membingungkan satu hal: akankah diri gue mampu buat berkontribusi dalam hal tersebut? Apakah usaha gue udah cukup, atau mesti digenjot lagi? Apakah yang harus gue lakukan ketika badan ini terlalu lelah dalam mengemban amanat tersebut? Apakah gue harus nyerah atau rehat sementara terlebih dahulu?

Dan pertanyaan yang paling bikin hati galau: apakah gue suatu saat bisa menggantikan beliau sekalian menjadi Profesor? Tentu saja, yang enggak main2 alias berkualitas tinggi. Yang berguna bagi bangsa dan Negara Indonesia? :"(

Termasuk pula untuk dosen yang pernah ngajarin gue. Gue enggak pilih kasih. Betapapun reseknya beliau sekalian terhadap diri gue (baca: udah ngasih tugas banyak, susah pula, abis dikerjain malah diledek gara2 hasilnya kurang kritis), dan betapapun baiknya mereka pula (baca: jarang ngasih tugas, sekalinya ngasih tugas seisi kelas dipukul rata dapet A), gue tetap menghargainya. Toh, beliau sekalian juga mendidik gue. Artinya, bayaran kuliah selama ini enggak sia2. Enggak, bukan maksudnya itu. Artinya, kedatangan gue di kampus enggak sia2. Kedatangan diri gue di kampus harus memperkaya ilmu pengetahuan di otak. Mumpung masih muda, jiwa menantang ilmu mesti terus digenjot (baca: udah tua nanti belum tentu cara mikirnya kayak gitu!).

Dan pertanyaan yang paling bikin hati galau: apakah gue bisa suatu saat meneruskan jejak beliau sekalian dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi di Indonesia? Kalau enggak, kenapa gue mesti jadi kuli pikir dan kuli ajar? Apakah kompetensi diri gue mampu dikenang oleh para mahasiswa yang kelak akan gue ajari? :"(

Termasuk pula untuk guru yang pernah ngajarin gue. Kalau soal guru, beliau mah jauh lebih sabar daripada dosen dan Profesor. Percaya deh. Kerjaan gue di kelas pas sekolah dulu itu aneh2: suka ngobrol, suka tidur di kelas, dan sekalinya serius memperhatikan guru - gue bakalan nanya yang aneh2. Nanya yang aneh2 baik dalam artian kritis maupun dalam artian yang literal. Apa buktinya? Respons teman2 sekelas setelah mendengar pertanyaan gue pasti cuma dua: kalau enggak tepuk tangan karena menghargai pertanyaan kritis gue, kalau enggak KETAWA TERBAHAK2 karena menganggap bahwa pertanyaan gue emang nyampah banget. Tapi, guru sejati yang memahami gue pasti menasihati sekelas dengan berkata, "Harap tenang semua. Jangan menertawakan pertanyaannya Ardi. Pertanyaannya bagus ini. Oke, jadi begini ya Ardi, bla bla bla". Dan sekelas pun sunyi setelah hingar bingar sesaat tadi, bahkan biang keributan (baca: geng anak nakal di kelas, yang jadi promotor penghinaan diri gue yang tadi itu) juga bakalan bungkam seribu bahasa karena nasihatnya yang santun tersebut. Karena jawaban itulah, maka diri gue begitu terharu dan semakin bisa untuk menyerap ilmu di hari itu.
Kelak ilmu itu akan berguna buat diri gue di masa depan. Enggak. Gak sekedar berguna, tapi SANGAT BERGUNA - pada kenyataannya. :"D

Dan pertanyaan yang paling bikin hati gue galau: apakah gue bisa suatu saat meneruskan ajaran2 kebaikan dan kebajikan a la beliau sekalian? Karena, ada sebuah hal yang mengganjal perasaan gue: ternyata, diri gue ini bisa baik ke orang lain (baca: sering nolongin teman, sabar ketika kekacauan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya merajalela - karena orang lain gak bakalan sabar tapi diri gue tetep aja sabar tuh, dan berbakti kepada keluarga terutama kepada orang tua dan kakak2, dan lain2 pokoknya yang baik2 dan bajik2) karena beliau sekalian telah memberikan tips2 mengenai kebaikan dan kebajikan? Dari yang mendasar hingga yang kompleks. Dari yang gampang ampe bikin pusing, bikin sakit hati, bikin muntah, berak, dan diare *eh kok gak nyambung. :"(

Termasuk pula untuk guru les privat dan kakak2 mentor pesantren kilat di Diklat al-Azhar, Cigombong yang pernah ngajarin gue dari SD ampe SMA. Lho? Iya, mesti! Beliau sekalian enggak cuma mendidik diri gue dalam ilmu pengetahuan di kelas, tapi juga di luar itu. Sekali lagi, mereka ngajarin gue yang baik2 kok. Gue sebutin aja deh siapa namanya (karena kan dikit): Kak Yon (guru dari kelas 6 SD ampe 1 SMP), Kak Tomo (guru dari kelas 2 SMP ampe 3 SMP), Kak Cholis (guru dari kelas 3 SMP ampe 1 SMA), Kak Maruf (guru dari kelas 2 SMA ampe 3 SMA), Kak Adim dan Kak Dedi sebagai tenaga pengganti, Kak Rani (guru di kelas 3 SMA khusus ngajarin bahasa Inggris gue yang bloonnya minta ampun), dan berbagai guru BTA Alpust 1 persiapan SIMAK dan UN 2010 seperti Kak Eros SP dan Kak Yudha VBT dkk. Maaf ya, gue lupa namanya satu satu. Tapi, gue jamin kok kalau gue inget banget sama mukanya! Begitu juga dengan berbagai guru pesantren kilat kayak Kang Jay dkk. XD

Kak Yon... Pas gue SD, gue itu pemales banget... Kak Yon selalu membangkitkan diri gue agar senantiasa berpikiran kritis dan enggak boleh nyerah...
Kak Tomo... Pas gue SMP gue itu suka kurang ajar, suka enggak bisa mengendalikan diri... Gue senang ketika gue terus diingati berbagai hal seperti "Ke masjid jangan pake celana pendek, karena kan tujuannya nutup aurat - malu sama Allah Swt dong. Ngomong ke orang lain harus natep muka, biar sopan.".
Kak Cholis, pas gue SMA prestasi gue nurun drastis. Tapi, beliau selalu menyemangati gue. Katanya, "Jangan ampe nilai merah yang berlimpah bikin Ardi nyerah dalam menuntut ilmu atas Nama-Nya!".
Kak Maruf, pas gue SMA gue suka kerepotan luar biasa ngadepin soal akuntansi. Nyebelin banget, mau seberapa gedenya angka yang muncul, kiri dan kanan mesti seimbang. Kalo enggak, nanti dianggap korupsi! Tapi, beliau selalu sabar dan telaten dalam menyampaikan tips ke gue gimana caranya buat nyeimbangin neraca dagang. Satu lagi, ada kata2 dari beliau yang hebat, "Jangan pernah nyerah nuntut ilmu. Terus, bagaikan ilmu padi, makin merunduk makin berisi. Orang yang punya banyak ilmu tapi suka ngesok, mendingan jangan ditiru. Jadilah diri sendiri yang bagaikan ilmu padi. Sehingga, suatu sata orang minta tolong ke kamu, kamu pasti nolong mereka secara ikhlas. Karena, sembari menolong mereka, kamu juga sebenarnya sekalian menuntut ilmu.".
Kakak2 pengganti yang selalu sabar dan setia menemani diri gue di kala gue lagi galau ngerjain matematika, fisika, dan kima... Tiga pelajaran yang terus bikin diri gue hampir kehilangan jiwa. Kalo bener2 kehilangan, malah sakit jiwa, kan? *!?
Kak Rani... Di saat gue lagi galau UN Bahasa Inggris dan improvisasi nilai, karenanya gue bisa meraih angka 80 - ingat, sebelum2nya gue bahkan kesusahan lho kalau mau dapet nilai 60!
Kakak2 di BTA Alpust 1... Dengan gaya2nya yang santai tapi gak ngesok alias rendah hati, selalu menyemangati dan membimbing diri gue yang lagi galau soal UN dan SIMAK... Hingga akhirnya gue keterima lewat jalur SIMAK dan lulus UN... Katanya apa? "Jangan lupa makan2 alias traktir2. Hahaha!". Gubrak! Apaan sih, kak XD.
Dan pada akhirnya, gue juga mengenang kakak2 di diklat al-Azhar. Pesan utama yang hadir di benak dan nurani gue ialah: jangan takut dan selalu berbakti kepada orang tua. Pesan yang gampang diingat, tapi susah buat dijalani... Tapi juga: akan begitu berharga buat hidup kan kalau kedua itu bisa kita jalani, ya enggak? :D

Termasuk pula untuk para guru muda itu, gue jadi mau nawarin pertanyaan yang bikin diri ini galau: apakah diri gue akan bisa mewarisi semangat pendidikan dari para senior yang berjiwa muda - bahkan lebih muda jiwanya dari diri gue? Mereka selalu menyemangati diri gue. Bahwa, yang namanya pemuda Indonesia itu enggak selalu bisa dikaitkan dengan kedurhakaannya terhadap kedua orang tuanya, hedonisme yang akut dan selalu menghabiskan harta kedua orang tuanya, taruwan antar pelajar, senioritas, dan berbagai konsep perpeloncoan lainnya, lho. Pemuda Indonesia juga bisa bebas berkreasi dan selalu cakap dalam menunjukan prestasinya. Untuk menghormati para jasa pahlawan di Sumpah Pemuda (bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa nasional), pemuda bisa menjadi hebat di mata dunia. Gimana? Para guru muda itu telah memberikan gue teladan2 yang kayak gitu. Jadi, akankah gue menjadi termasuk ke dalam dunia pemuda Indonesia yang begitu romantis tersebut? :"(

Terima kasih gue ucapkan kepada semua tenaga pendidik. Kalau kata lagu mungkin cuma 'sebatas' di lirik 'Terima kasih... Kuucapkan.. Pada guruku.." - ternyata, terima kasih gue enggak terbatas di Guru sekolah, tapi berbagai tenaga pendidik lain yang udah capek2nya mendidik gue.

Ada sebuah kisah di post berikutnya mengenai salah seorang guru gue. Seorang guru yang selalu bikin gue terharu. Sekali lagi, ada dan tiadanya beliau tetap mampu membuat diri gue begitu traumatis mengenangnya. Selamat membaca, bagi yang membaca ini. Dan bagi yang belum membaca ini, bahkan tidak berniat sama sekali, selamat menunaikan aktivitas seperti biasanya. Karena gue enggak menghujat hal itu: semoga - seperti biasa - kalian semua sukses - baik yang membaca maupun yang tidak membaca ini. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar