Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Minggu, 08 Desember 2013

Sederhana dan Semangat - Mental Dasar untuk Tenaga Pendidik

Sesuai dengan janji di post gue sebelumnya,
gue di tulisan ini mau bercerita sepatah kisah mengenai kesan gue terhadap seorang guru yang pernah mendidik gue. Seorang guru yang tentu saja sangat bermakna dalam kehidupan gue. Seorang guru yang membuat hidup gue bermakna karena beliau selalu mengajarkan kepada gue arti dari kehidupan itu sendiri.
Siapa nama guru itu? Namanya Pak Sunardi. Biasanya dipanggil Pak Nardi.
Kedengarannya seperti nama orang Indonesia yang biasa aja, kan? Kalau lo melihat penampilannya, lo juga pasti juga akan mendapatkan kesimpulan yang sama, lho. Iya, penampilannya biasa aja. Enggak menunjukan kemegahan alias kelebihan harta suatu apapun. Gaya tubuhnya begitu santun. Senyum sapanya begitu ramah.
Dan yang paling penting: di hatinya tersirat keihklasan Atas Nama Yang Ilahi. Itulah yang enggak semua orang bisa lakukan. Termasuk diri gue malah! Yang mana orang itu merupakan anak muridnya sendiri! Oh God please give me a strenght to do it! :"(

Pak Nardi. Waktu itu, gue masih inget banget. Gue pertama kali ketemu dengan beliau ketika gue masih menginjakan diri gue di kelas 1 SMP. Sebuah masa indah nan berkesan (palingan yang enggak bikin berkesan sama sekali itu dikejar2 sama senior pada masa Masa Orientasi Murid, betul? Sama sekali enggak lucu, tuh.).
Gue bertemu dengan beliau ketika gue nyasar di Ruang Guru.
Kenapa gue ke Ruang Guru?
Karena gue mesti minta tanda tangan para guru biar aman pas dikasih lihat sama kakak2 pengurus MOM. God please save me!
Ada seorang pria yang tersenyum santai sembari duduk-duduk di ruang tersebut. Ademnya AC yang ada di ruang itu tidak mampu menyejukan suasana hati gue yang begitu hectic akibat tekanan para senior pengurus MOM. Termasuk senyuman santai nan ramah dari pria tersebut.
Siapa gerangan pria tersebut?
Ya, pasti pria itu adalah salah seorang guru yang lagi aktif mengajar di sini. Terlihat jelas dari pakaiannya yang berbentuk kemeja panjang dan berwarna biru. Dengan memakai pula celana bahan berwarna hitam ditambah sepatu pantofel versi KW. Pria itu masih tersenyum geli nan ramah melihat tingkah laku gue.
"Mau mencari siapa, ya?". Tegur salah seorang pria yang bukan merupakan pria tersebut.
Gue menjawab sekenanya aja, "Iya... Mau cari... Guru...".
Kontan seisi ruangan tersebut disambut nyanyian tawa cetar membahana.
Diri gue begitu malu.
Pria yang sedang duduk santai-santai itu menjawab, "Semua yang ada di sini juga guru, nak!". Tidak lupa dengan meninggalkan senyum geli nan ramahnya yang begitu traumatis di hati gue.
Gue diem aja mendengar komentar tersebut.
Kemudian, pria di sebelahnya bertanya, "Kalau enggak gini aja, mas. Tebak aja siapa nama kami? Gimana? Entar boleh deh kami kasih tanda tangannya.". Sepertinya terlihat jelas bahwa pria di sebelahnya merupakan pria paling ramah saat itu!
Gue menjawab, "Bapak... Bapak itu... Pak Nasikhun, ya?".
Pria ramah tersebut menjawab, "Wah, kok kamu tahu nama saya? Yaudah.. Sini, mana tanda tangannya... Biar saya kasih... Jangan lupa, yang menyapa pertama kali itu namanya Pak Dedi - Guru Sejarah. Kalau yang ada di samping saya nih, yang kerjaannya ketawa ketiwi melulu, namanya Pak Sunardi - Guru Geografi. Ingat-ingat, ya!".
Pria yang kerjaannya senyum-senyum itu bernama Pak Nardi. Gue langsung mencatat hal tersebut secara otomatis di benak. Begitu juga dengan Pak Dedi.
Pak Nardi berkomentar sambil tertawa terbahak-bahak, "Ya Allah! Kok nama saya dikasih tahu sih, Khun? Gimana sih, lo!?".

Seisi ruangan itu kembali lagi diiringi oleh nyanyian tawa yang begitu merdu. Kali ini, gue termasuk di dalam orkestra tawa tersebut. Gue masuk di dalam barisan orkestra tawa bahagia menjadi pemain biola tawa (?). Sebuah orkestra berserajah di dalam hati gue yang tak tergantikan. Sebuah untaian melodi bahagia pengisi kenangan indah duniawi gue yang orang lain bisa aja enggak ngerti atau enggak menganggap bahwa hal tersebut penting bagi hidupnya.

Jadi, namanya Pak Nardi.

Suatu kali di kelas, gue bertanya kepadanya mengenai apa bedanya vertikal dan horizontal. Beliau menjawab dengan begitu ramah. Beliau menjawab dengan ikhlas, tanpa suatu beban apapun.
Suatu kali di kelas yang berbeda harinya, gue bertanya kepadanya mengenai apa yang dimaksud dengan delta. Beliau menjawab dengan begitu santun. Beliau menjawab dengan rasa yang berbahagia.
Hingga suatu kali pernah gue berpikir, "Kenapa Pak Nardi mau-mau aja menjawab pertanyaan gue yang malah kedengerannya begitu konyol? Apakah beliau enggak sama sekali berpikiran bahwa gangguan berupa 'Nih anak murid gue kok ngeganggu banget ya!' bisa aja meledak di benaknya?".

Pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan jawaban penuh retorika berlandaskan denotatif: Guru adalah makhluk yang ikhlas dalam menjawab kebutuhan murid-muridnya. Para muridnya sedang kebingungan! Mereka sedang mencari arah ke mana mereka akan menuju! Dan hebatnya, mereka sebenarnya enggak usah bingung, karena komandan maupun kompas utama penunjuk arah budayanya ada di... Guru mereka.

Komandan dan kompas utama gue ada di Pak Nardi. Terutama kalau menyangkut soal sekolah dan urusan geografi yang sama sekali enggak gue ngerti.

Pernah suatu kali gue mengeluh. Oke, ini sih urusan yang agak2 berada di luar kelasnya Pak Nardi, sih. Tapi, waktu itu Pak Nardi jadi wali kelas gue. Gue waktu itu ngeluh banget. Teman2 gue ada aja yang usil banget ke gue. Pelajaran juga makin susah pas gue lagi di Kelas 2 SMP. Jadwal remedial alias ngulang ulangan harian makin banyak.
Gue makin ragu untuk terus mempertahankan prestasi gemilang gue pas Kelas 1 SMP: selalu masuk sepuluh besar.
Gue sampaikan keluhan tersebut kepada Pak Nardi.
Apakah beliau menjawabnya dengan tertawa santai seperti biasa?
Tidak.
Ternyata, beliau menjawab dengan penuh perhatian. Diiringi dengan muka empati, beliau menjawab dengan penuh totalitas, "Sabar dan semangat ya, nak! Jangan ragu untuk terus mempertahankan prestasi kamu! Emang sih, cobaan di luar sana banyak. Ada anak2 nakal. Ada jadwal remedial. Tapi yang penting, kamu masih tetap semangat!".
Oke, semangat. Jangan ragu. Jangan menyerah. Maju terus, pantang mundur.

Apa akibatnya? Pesan traumatis tersebut mengimplikasikan kabar berbahagia Atas Nama Yang Ilahi: GUE TETEP BERTAHAN DI RANKING SEPULUH BESAR, SEKALIPUN SERING BANGET REMEDIAL DAN DIJAHILIN SAMA BOCAH2 SEUSIA GUE. Akhirnya, gue akhiri masa pertengahan tersebut dengan... Bahagia lahir batin... :"D

Kemudian, masuklah diri gue ke Kelas 3 SMP. Sebuah panggung di mana gue akan segera meninggalkan sekolah itu. Sekolah yang selalu mengantarkan kenangan indah ke dalam benak gue.

Seperti biasa, di kala itu gue sedang hectic dalam mengurus persiapan Ujian Nasional, Ujian Praktik, Ujian Blok, Ujian Semester, Ujian Sekolah, dan Ujian Masuk SMA.
Banyak juga ya? Banyak banget malahan! Ya, masa terakhir emang bikin pusing pikiran dan lelah hati! -,-.

Di saat yang bersamaan, eh muncul Pak Nardi. Kali ini beliau mau memberikan kepada gue akan sebuah petuah yang penting. Katanya, "Nak, jangan lupa sederhanakan dirimu ketika berjalan di mana pun di dunia ini. Ingat siapa pun yang serba kekurangan. Dan kalau kamu bisa, bantu mereka sebisa kamu aja. Semampunya".

Oh. Pak Nardi, gue akan melakukan hal tersebut sebisa mungkin. Sekali pun gue enggak tahu apa sih nalar utama yang melatar belakangi pentingnya kesederhanaan tersebut.
Mengapa kita harus menyederhanakan diri apabila keadaan kita udah terlanjur mewah? Mengapa pula kita harus menolong orang yang kurang, padahal bisa aja loh dia jadi serba kekurangan karena dianya aja yang males sendiri!
Gue tutup pintu pemikiran kritis itu rapat-rapat di dalam sanubari. Gue biarkan itu, karena gue enggak enak membantah petuah seseorang yang gue hormati baik-baik.
Iya, gue enggak berani nanya ke Pak Nardi karena gue udah terlanjur enggak enak sama beliau. :"(

Gini deh, apa katanya? Sederhanakan diri dengan terus menolong orang yang kurang mampu? Terus laksanakan itu dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga rasa semangat akan terus menggelora dalam sanubari? Oke, baik, laksanakan!

Ada seorang teman baik yang menjadi sahabat gue pada kemudian hari di saat itu. Namanya Arif. Dia itu, kasihan banget. Badannya emang gendut, dia sering banget diledek gendut. Prestasinya emang kebalikan dari diri gue: masuk ke sepuluh besar dari bawah. Jadinya, lengkap pula: dia dikatain 'bego' pula sama teman2nya.
Tanpa mengurangi rasa hormat gue ke dia, gue sampaikan duka cita tersebut dengan apa adanya. Intinya, dia itu kasihan banget, deh.
Enggak ada yang mau menemani dia. Yang ada, dia dimusuhin atas dasar alasan apa pun lah itu.
Dia itu kasihan banget, makanya diri gue yang dirasa mampu buat menolongnya, perlu banget buat menolong dia.
Sesuai dengan anjuran Pak Nardi, gue bantu Arif semampunya. Gue terus mendongkrak apa-apa yang masih membingungkan dirinya. Apabila ada teman2 yang mengejeknya, gue mencoba untuk mempertahankan dirinya. Responsnya? "Ardi kan anak baik, kok nyebelin ya belakangan.". Dasar bocah nakal. Dari situ aja lo ketahuan kan - enggak ngerti apa sih makna 'kebaikan' itu sendiri! Okelah, urusi urusan lo sendiri! -,-.
Hingga akhirnya, Alhamdulillah... Atas Nama Yang Ilahi, di semester pertama gue mendapatkan prestasi yang gemilang: ranking dua! Gimana dengan Arif? Dia dapet ranking di atas sepuluh besar dari bawah! Enggak apa-apa, Rif. Satu demi satu. Tahap demi tahap. Yang penting, lo bisa lolos dari cengkraman naas sepuluh besar dari bawah. Itu prestasi, lho. Enggak semua orang bisa melakukan yang demikian. Selamat! :D

Pak Nardi selaku Wali Kelas tersenyum riang melihat perilaku gue dan Arif. Khusus ke diri gue, beliau berkata apa sih nalar sederhana dan semangat itu sendiri.
Apa katanya! Apa katanya!? Hati gue begitu penasaran, kembali penasaran setelah lama gue melupakan pertanyaan tersebut!

"Inilah. Ketika kamu sederhana, maka kamu akan terus semangat menolong orang - di samping tentu saja menolong diri kamu sendiri. Kalau berhasil dengan sebaik-baiknya, gimana rasanya? Kamu akan mendapatkan dua kebahagiaan: bahagia karena sukses buat diri sendiri, dan bahagia karena membuat orang lain bahagia!".
Ooh..
"Ingat! Enggak semua orang berpikiran seperti itu lho, Di. Orang kan bisa saja mikir, 'Ngapain gue membahagiakan orang lain. Gue enggak punya waktu dan tenaga yang cukup buat bisa melakukan itu!'. Ya, itu sih, karena mereka itu punya mental jangka pendek aja sih. Simple minded.".
Ooh..
"Jadi, selamat dan sukses ya, dalam melakukan kesederhanaan. Terus semangat, karena bisa saja suatu saat nanti kamu akan bisa berbahagia bersama dengan orang lain. Bahagia bersama dengan orang yang kamu cintai jauh lebih menyenangkan dibandingkan bahagia sendiri. Kalau kamu bahagia sendiri, orang di sekitar kamu bisa kebingungan apalagi bisa iri. Sayang sekali kalau hal itu terjadi, jadi jangan sampai hal itu terjadi, ya.".
Ooh... Lagi-lagi gue cuma bisa bilang "Ooh" ke beliau saat pembagian rapot semester 1 Kelas 3 SMP itu..

Akhirnya, gue berhasil lulus UN dengan hasil yang sangat memuaskan dan masuk ke SMA Alpust 1. Iya, sudah pasti... Sudah pasti gue harus segera melupakan sejenak tentang kenangan gue di masa lalu (baca: gue sama Pak Nardi, terutama) dan terus melihat ke masa depan.
Tapi, apa yang terjadi ketika gue masuk?
Ketika gue masuk lift, ada seorang pria yang sepertinya gue kenal. Pria tersebut menatap gue dengan ramah seperti... Biasanya...?
Pria tersebut bernama... Pak Nardi...?
"Pak Nardi...?". Gue berusaha menenangkan suara gue, tetapi enggak bisa karena sudah terlanjur tercampur dengan ramuan keharuan.
Pria tersebut menjawab, "Saya dipindahtugaskan mengajar di SMA Alpust 1 jadi Guru Sosiologi dan Guru Geografi. Jadi, saya kembali mengajar kamu!". Senyum geli nan ramahnya mekar kembali menyambut kedatangan gue di Alpust 1.
Baru saja gue mau memeluk diri beliau, eh ternyata lift sudah terbuka. Oke, mari sejenak kita lupakan nostalgia dadakan tersebut.
Akhirnya, masuklah diri gue ke masa pertengahan alias Kelas 2 SMA. Kita loncat aja ya, ceritanya.

Ternyata: Pak Nardi jadi wali kelas gue di Kelas 2...


Gue mengeluh kembali. Gue ceritakan kepada beliau bahwa diri gue sempat putus asa karena prestasi di kelas 1 yang lalu sangat sangat buruk. Terburuk sepanjang masa.
Tapi apa katanya?
Kata beliau, "Tetap semangat dan sederhana.".
Lagi-lagi! Apa nalarnya?
Eh, gue lupa. Nalarnya... Karena pasti kita akan berbahagia suatu saat nanti... Bersama dengan orang yang kita cintai.
Kemudian gue bertanya yang lebih kritis lagi, "Pak, kenapa sih cobaan mesti berat-berat?".
Beliau menjawab dengan penuh perhatian, "Nak, Allah enggak akan ngasih ke kita cobaan yang lebih berat daripada kemampuan kita. Kamu masuk ke Alpust 1 ini udah pasti karena Ketetapan dan Keputusan Dari-Nya. Udah pasti karena Takdir Yang Ilahi. Udah pasti karena kamu emang pantas berada di sini. Tinggal satu hal, Allah pengen melihat sejauh mana kamu tetap bisa mempertahankan kesederhanaan dan semangat kamu.".
Oke... Kemudian beliau melanjutkan, "Cobaan kelihatan berat karena... Kamu akan mempersiapkan diri kamu menuju jembatan kebahagiaan yang lebih bagus lagi. Lebih indah lagi. Jadi, semakin besar cobaan kamu, maka hasil kebahagiaan yang akan kamu raih nanti setelahnya akan lebih besar juga, lho!".

Lagi-lagi, gue cuma bisa berkata, "Ooh.".

Di samping perjuangan gue memajukan prestasi, gue juga sempat menolong beberapa teman seperti Azizi, Reyno, Reyhan, Boutros, Andri, dan sebagainya. (mohon maaf kalau ada yang enggak kesebut) Apa dampaknya?
GUE BERHASIL MASUK SEPULUH BESAR DAN RANGKING PERTAMA DITUNDA! :"D (nb: gue enggak jadi ranking satu karena dibalap sama yang dibawah gue. Namanya Danta sama Irham. Mereka berdua seharusnya ranking dua dan tiga. Tapi mereka bisa ngebalap ranking gue karena mereka berhasil masuk ke juara nasional Olimpiade Ekonomi. Well, salute to you all! Kita harus sama2 saling mengakui bahwa tiap2 dari diri kita itu emang bisa menunjukan kualitas tinggi, ya enggak?)

Hingga akhirnya... Menuju ke kelas 3 SMA... Masa terheboh yang pernah gue alami... Malah lebih heboh daripada masa kuliah gue (?).
Suatu kali, ada berbagai kelas intensif yang bisa gue ikuti dibuka. Itu ditujukan buat siapa pun yang merasa butuh buat memperdalam materi yang dikira masih belum dikuasai.
Salah satunya adalah kelas Geografinya Pak Nardi.
Seperti biasa, gue adalah murid yang paling cerewet di kelas itu. Apa pun gue tanya. Mulai dari konsep alam semesta, satelit, bentukan gunung, bentukan awan, hingga kembali berkontemplasi bahwa air putih yang biasa gue minum sebenarnya berasal dari air kencing gue (?).
Tetapi, kelas waktu itu sedang ramai. Ramai dalam artian ribut. Artinya, ramai dalam artian yang enggak bener.
Seisi kelas jenuh. Semua anak pada akhirnya ngobrol. Cuma gue dan beberapa teman seperti Reyno, Ponco, Asa, Atsa, Andri, Disti, Tasya, dan Abang yang serius dan cerewet bertanya dan berkomentar mengenai pelajaran. Pak Nardi mulai ikutan jenuh. Gue terus menyemangati beliau secara implisit.

Hingga akhirnya suatu kali gue bertemu dengan beliau. Papasan aja sih. Tiba2 beliau minta curhat.
What the hell is going on?

Katanya dengan mata yang berbinar-binar, "Di... Cuma kamu... Cuma kamu aja yang terus semangat dan sederhana. Yang lain, enggak bisa. Tahu enggak, saya ngajarin makna sederhana dan semangat enggak cuma ke kamu aja. Tapi ke yang lainnya. Kenapa mereka enggak perhatikan juga?".

"Kenapa mereka mesti ikutan kelas intensif, padahal ujung-ujungnya juga saya dicuekin? Padahal ujung-ujungnya mereka juga ngobrol ke sesamanya juga, enggak mau belajar juga!?".

Gue menjawab dengan keheningan belaka.
Gue pengen banget menjawab, "Karena mereka menganggap bahwa pelajaran tersebut adalah gak penting.". Tapi, tentu aja enggak gue jawab yang demikian. Sekali lagi, karena gue enggak enak. Karena gue hormat.

Kemudian gue menjawab sekenanya, "Pak... Ini cobaan yang berat. Kita harus tetap semangat dan sederhana dalam menjalani cobaan ini. Mudah2an kita bisa berbahagia pada akhirnya.".

Pak Nardi menjawab dengan anggukan disertai dengan isakan... Beliau mengeluarkan air matanya untuk pertama kalinya di hadapan gue. Kemudian, gue menyampaikan sampai jumpa kepadanya,

Dan... Tanpa gue sadari... Aliran air mata serta-merta membasahi pipi gue yang begitu kecil ini... Gue juga ikutan menangis terharu di tengah kegalauan yang amat sangat ini...

Hasil UN akhirnya diumumkan. Ya Allah, Inna lillahi, rata2 mata pelajaran yang paling rendah jatuh di Geografi! :"(
Gue sendiri dapet nilai 54. Emang sih, buruk amat.
Setelah kita dapat berita, ternyata SKL (Standar Kompetensi Lulus - jadi itu kayak kisi2 materi yang akan diujikan di UN) yang didapatkan di SMA Alpust 1 khusus Geografi ternyata enggak sesuai dengan yang dijanjikan oleh Kemendiknas! Dasar politik pendidikan yang begitu kotor! Berani2nya kesalahan struktural koruptif tersebut menghancurkan... Happy ending yang akan gue dan Pak Nardi jalani... :"(

Reyhan kemudian berkata, "Di. Pak Nardi sekarang lagi nangis. Menangis karena menyesali perbuatannya yang enggak begitu kompeten dalam mengurus kita2. Katanya, 'Gara2 saya, nilai kalian pada jelek!'...".

Gue membalas rentetan kejadian naas tersebut dengan termenung. Ya Allah, seriously, what the hell is going on, again and again!?

Gue akhirnya kuliah. Gue jalani kuliah dengan tetap berlandaskan kepada kesederhanaan dan semangat Atas Nama Yang Ilahi. Berbagai cobaan terus datang. Mulai dari Ospek Antrop yang enggak jelas sama sekali, ada beberapa temen yang resek2 juga (termasuk Tango, malah yang paling resek emang si Tango, sih), hingga berbagai mata kuliah yang susah (apalagi Teori Antropologi!!!).

Tapi, semua itu terus gue jalani. Terus, dengan sabar.
Kemudian, gue dapet nilai yang bagus. Alhamdulillah.
Hingga akhirnya, gue menjanjikan diri gue untuk bertemu dengan SMA Alpust 1 lagi. Saat itu, gue sih enggak berniat secara pasti mau ketemu dengan siapa-siapanya. Bebas2 aja sih.
Seperti biasa, gue naik ke lift yang udah lama enggak gue temui itu... Dan lift itu terbuka...

Ada sesosok pria yang sepertinya gue kenal menunggu terbukanya lift yang gue lagi tumpangi ini. Senyumnya begitu ramah dan menunjukan implikasi canda dan tawa setelahnya. Penampilannya seperti seorang tenaga pendidik sejati.
Seperti biasa?
Seperti biasa!?

"Pak Nardi!" - sontak gue langsung menyahut keras-keras!

Pak Nardi langsung menyambut diri gue dengan pelukan hangat. Bagaikan pelukan seorang ayah kepada anak lelaki satu-satunya.
(nb: dan kebetulan juga kan, gue juga enggak punya bokap dalam artian yang normatif. You know what I mean-lah, LMFAO. Bokap gue bukan orang yang bener alias orang yang enggak mendidik).

Pelukan hangat berjiwa nostalgis tersebut diakhiri dengan sambutan dan perjumpaan,

"Nilai kamu tetap bagus, karena kamu terus semangat dan sederhana. Orang2 yang kamu cintai selalu mendukung kamu, karena kamu terus semangat dan sederhana. Intinya, selamat dan sukses, jangan lupa berbahagia dengan orang yang kamu cintai. Satu lagi, oh iya, maaf... Saya mau ada urusan dulu ya, di kantin bawah. Saya mau beli makanan, habisan laper, sih! Hahahah!".

Pak Nardi masuk ke lift tersebut dan saya kembali tertegun... Kali ini ketegunan tersebut enggak dilandasi dengan kegalauan, tapi dilandasi dengan orkestra keharuan.

'Ayah kandung' gue itu berkata secara implisit, "Sederhana dan Semangat menjadi mental utama bagi seorang peneliti, pendidik, maupun cendekiawan! Hasil usaha itu emang enggak selalu happy ending sih, tapi suatu saat pasti bakal jadi happy ending!". :"D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar