Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Selasa, 08 Oktober 2013

Baru Berasa Jadi Kakak: Sebuah Inisiasi buat Diri Gue

Assalamualaikum Wr. Wb.

Hai pembaca, sehat2 semua ya :D terutama buat yang seusia sama gue dan yang lagi membaca. Buat yang selain itu, gue juga berharap yang demikian :D gak dikurangi dan gak dilebihin :)

Ini sebenarnya jadi lanjutan cerita gue yang sebelum-sebelumnya. Gue kan udah ceritain sedikit soal gimana gue bantuin adek2 antrop di kampus. Ya, gue gak ceritain secara detail kan, tapi? Ya, di tulisan ini gue bakalan nulis sepuas2nya. Sebisa2nya, maksudnya. Kemampuan gue juga kan terbatas -,-

Jadi, berawal ketika gue disuruh menjadi mentor kelompok Maba. Gue ngurusin lima orang, lima adek2 maba yang masih begitu fresh. Fresh dalam artian masih segar banget soal antrop alias infant.

Di satu sisi yang buruk gue masih ngelihat bahwa mereka banyak banget ngelakuin salah teknis seperti kurang pede dalam berargumen, sulit menulis, dan sulit menerjemahkan bahan2 berbahasa Inggris. Banyak dari mereka yang mengeluhkan ketiga hal tersebut. Untung aja, tiga hal ini masih bisa gue jalanin, makanya gue kasih aja ke mereka tips2 buat mengatasi itu semua. Apa aja?

1. Kalau mau berargumen, lo mesti paham terlebih dahulu sama apa yang mau lo sampaikan hari ini. Apa yang mau lo sampaikan ini disebut dengan materi belajar. Lo pahamin, dan bedain antara pahamin dengan hapalin. Kalau pahamin, lo ngerti inti apa yang dapat dipelajari. Lo baru bisa paham kalau lo bisa menjelaskan materi dengan bahasa yang mudah - dengan bahasa yang penonton alias pendengarnya ngerti. Layaknya Claude Levi-Strauss sang antropolog asal Prancis berkata "From unintelligible to intelligible". Kemudian juga, kalau hapalin itu cara singkat buat nginget2 suatu materi tanpa mengerti apa sih isi2 dari yang lo hapalin itu. Palingan juga, kalo lo hapalin minggu depan juga lupa. Jadi, pelajaran antrop itu jangan dihapalin, tapi dipahamin. Layaknya Max Weber berkata bahwa antropologi adalah pelajaran sosial untuk memahami dunia sosial budaya (verstehen)

2. Kalau sulit menulis, bikin dahulu ragangan atau outline. Kalau suatu kali lupa, tinggal lihat itu. Kalau gak inget juga, lo mesti banyak baca. Banyak orang yang bisa menulis karena dua hal: pengalaman membaca dan pengalaman selain membaca. Ini juga pernah ditawarin sama Clfford Geertz soal pembabakan kecerdasan sih (experentia dan literacia)

3. Ketemu dengan bahan2 antrop berbahasa Inggris adalah hal yang mutlak terjadi di antropologi. Jangan ditakuti. Hadapi dengan kamus bahasa Inggris - Bahasa Inggris yang bagus (seperti Thesaurus dan Webster) sama kamus Bahasa Indonesia - Bahasa Inggris yang bagus juga. Terjemahin ampe lo paham apa maksudnya. Kalo lo berpikir bahwa suatu kata atau kalimat itu terlalu metaforis alias berbunga2, jangan dipahamin secara harafiah alias literal, tapi pahamin sekenanya aja. Bikin itu dalam bahasa yang mudah buat diri lo dan mudah juga buat dijelasin.

Nah, di sisi yang bagus gue melihat bahwa mereka semua begitu antusias dalam mempelajari apa sih antropologi itu. Gue senang ketika mereka banyak bertanya soal antropologi itu apa. Gue melihat bahwa dari banyaknya pertanyaan itu gue tahu kalau mereka ingin mengenal dunia antrop lebih jauh. Dan mudah2an mereka sayang sama dunia antrop. Sekali lagi, tak kenal maka tak sayang, bukan?

Waktu itu ada kejadian nyata soalnya. Okelah, pas gue mentoring, beberapa anak yang gue urusin itu gue bantuin gimana caranya melakuakn penelitian dan nge review sebuah artikel. Gue bantu sebisa mungkin. Dan wah! Hasilnya fantastis! Mereka benar2 mengikuti apa yang gue suruh. Hati gue merasa lega. Kayak abis ngeluarin pup aja *ha. Dan gue senang bahwa mereka menunjukan progres yang gak main2. Misalnya, kalau kelompok lain belum mencoba melakukan penelitian pendahuluan, kelompok gue udah ngelakuin duluan. So proud of you all! :D

Ada juga anak dari kelompok lain yang menderita. Dia mau review sebuah artikel yang sulit. Nah, gue bantu juga dia sebisa mungkin. Dan gue agak menyesal, kenapa kakak mentornya dia gak mau ngebantu dia. Padahal, bahan yang dia review itu... Susah lho... Bahasannya Max Weber tentang Semangat Kapitalisme dan Etika Protestan. Jujur aja, pas gue ngebahas artikel itu di kelas Antropologi Agama gue juga gak ngerti sepenuhnya.

Tapi, demi adek kelas gue mencoba buat mengerti kembali. Dan hasilnya, Alhamdulillah! Selesai!

Dan tahu apa? Belakangan gue baru mendengar bahwa anak ini punya kak Mentor yang bernama Tango Tengil! Manusia itu jadi mentor?? Otaknya emang pinter sih, tapi attitude nya gak pantes buat jadi kakak mentor! -,-

Ya, gue coba tawarin aja sih ke adek itu, "Dek, kalo lo ada kerepotan dan tetep gak dibantuin sama Tango, minta tolong aja ke gue.".

Oke cerita itu juga udah selesai...

Kemudian lanjut ke cerita ketika gue bantuin adek tingkat dua yang lagi sibuk banget ngurusin akademiknya. Ya, sesuai dengan pendapat gue yang sebelumnya, dia lagi kerepotan banget soal teori2 antrop.

Dia nanya ke gue, "Kak, kakak tahu teori GJ Held sama Adolf Bastian tentang nama Indonesia ga?". Alamak mampus. Gue pernah denger sedikit2 sih, tapi gak tahu sepenuhnya. Akhirnya gue minta aja ke dia, "Artikelnya ada ga? Sini, biar gue baca, biar gue paham juga.".

Lima menit kemudian otak gue baru bisa jalan -,- . Gue berpikir dan ngerasa kalau materi yang lagi dihadapin sama adek ini juga lumayan susah. Ya, sama aja sih susahnya kayak gue pas tingkat dua dulu. Isinya teori semua. Teori ini, teori itu. Paradigma ini, paradigma itu. Sudut pandang ini, sudut pandang itu. Perspektif ini, perspektif itu. Metodologi ini, metodologi itu. Semua dibahas ampe bosan sebosan2nya bosan -,-.

Setengah jam kemudian, kita lanjut membahas tentang teori strukturalisme al-Brown. Yes, gue suka banget sama materi ini. Gue palingan coba baca beberapa artikel lagi, dan gue langsung aja bantuin adek ini.

Hasilnya, selesai. Alhamdulillah. Gue senang, apalagi si adek ini. Dia lebih senang lagi pasti dari gue :D

Sepuluh menit kemudian, datanglah Maba 2013 dengan tampang yang melas. Gue juga meresponsnya dengan tampang yang melas. Mereka berkata, "Kak, tema penelitian kita yang bagus gimana ya? Apa yang menarik ya? Yang kakak tahu aja deh. Gimana ya?".

Gue dalam hati berkata, "Ergh...".

Kemudian adek tingkat dua yang masih ada itu bicara, "Eh, ayo mikir juga dong, dek! Jangan cuma Kak Ardi aja yang mikir!". Dia juga ngomong, "Kak Ardi, kalau Maba2nya macem2, ingetin lebih keras aja!".

Gue manggut2.. Tanda setuju... Tanda baru paham...

Jadi, begini toh rasanya jadi kakak?

Karena, keadaannya beda banget sama yang ada di rumah. Tahu? Di rumah gue jadi anak bontot alias bungsu. Gue punya dua kakak (cewek semua), punya kakak ipar (pasti cowoklah) juga, dan akhirnya nyokap. Secara normatif, gue yang paling muda di antara semuanya. Tapi, hal itu terpatahkan akibat adanya eksistensi dua keponakan gue dari kakak pertama dan kakak ipar itu.

Jadi, gue langsung jadi om tanpa terlebih dahulu latihan jadi kakak. Langsung menjadi om tanpa jadi kakak terlebih dahulu adalah sebuah inisiasi yang dadakan. Inisiasi yang mengagetkan.

TERNYATA GAK SELAMANYA DIRI INI MENJADI YANG PALING MUDA!

Dan ketika di kampus, ketika gue ditugasin ikut himpunan, akhirnya gue sadar diri. Gue sadar ternyata kayak gini toh menjadi seorang yang dituakan. Menjadi seorang kakak. Dan apa sih makna kedudukan itu.

Gue pelajari. Dan menjadi inisiasi baru dalam hidup gue: menjadi lebih tua lagi, dan lagi. Dobel rasanya. Di kampus gue jadi kakak, di rumah gue jadi om.

Dan kembali lagi... Ketika gue lagi mengurus adek2 yang lagi kerepotan melahap materi antrop... Gue ngerasa bahwa.. Maba merupakan diri gue yang dulu ketika gue ngeluh2 sama Kak Adis (kakak pertama, iya yang saat ini jadi ibu dua keponakan gue itu) juga sama Kak Candra (alias kakak ipar). Kadang kalau Kak Titi (kakak kedua) gemas, Kak Titi ngingetin ke gua, "Ayo dek. Yang lebih serius. Kak Adis sama Kak Candra gak bisa selamanya bantuin kamu ini itu lho". Kak Titi ini kayak adek Tingkat dua itu... Dan diri gue ini kayak Kak Candra atau pun Kak Adis yang lagi repot2nya ngurusin adek2.

Dan jangan bingung! Gue gak ngerasain ini sama sekali pas gue sekolah dulu! Pas gue SD, gue mana kenal sama adek kelas! Pas gue SMP dan SMA, gue gak ikut OSIS, jadi gue jarang banget ketemu sama adek kelas. Dan ketika gue udah tua, gue fokus sama Ujian Nasional, Ujian Sekolah, dan Ujian Penerimaan Institusi Baru (pas gue SMP, gue sibuk ikutin tes SMA Alpus. Pas SMA, gue sibuk ikut SIMAK UI). Jadi mana tahu gue soal jadi kakak itu gimana! -,-

Inikah siklus hidup? Siklus inisiasi? Ketika Kak Adis, Kak Candra, Kak Titi, dan kakak2 lainnya udah ngerasain Inisiasi "Baru Berasa Jadi Kakak"... Gue baru ngerasain hal ini... Saat ini...

Saat ketika gue udah semakin tua, muka semakin banyak berkerut, dan semakin banyak orang2 yang usianya dan generasinya lebih muda daripada gue, otomatis pengalamannya juga lebih muda daripada gue.

Suka cita? Iya. Duka cita? Juga ada! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar