Ayo Berjuang

Ayo Berjuang
Pantang Mundur

Jumat, 25 November 2011

Pengantar Ilmu Perpeloncoan (Sebuah Fakta Sosial dari Sudut Pandang Konflik Disfungsional)

Assalamu'alaikum Wr. Wb!

Hai teman2 pembaca, apa kabar semuanya? Mudah2an kalian semua baik2 ya :)

Akhirnya, setelah sekian lama gue gak menulis lagi, gue diizinin Oleh-Nya untuk kembali menulis. Maklum aja, tugas kuliah yang cukup resek bikin gue pusing dan jadinya gak sempet juga buat ngutarain pendapat lewat piranti yang luar biasa ini : blog.

Dan gue bersyukur banget karena Ia memperbolehkan gue buat nulis2 lagi, ngutarain pendapat2 gue, baik yang lucu2, maupun yang kontroversial, seperti yang saat ini bakal gue tulis

Kontroversial?


Mengundang makna yang cenderung ambigu dan bahkan mudah untuk difalsifikasikan?


Mungkin.


Gue setuju banget dengan jawaban itu.


Tapi, gue juga manusia, izinkanlah gue berpendapat mengenai perpeloncoan dalam sudut pandang konflik disfungsional. Konflik disfungsional ini sendiri artinya perspektif ilmu sosial dan politik yang melihat kepada suatu fenomena dengan menjelaskan apa2 saja yang masih perlu dibenahi dan melihat pula apa saja latar belakang dari fenomena tersebut.

Kalau teman2 pusing melihat definisi di atas, gue gak bakal segan2 buat ngejelasinnya lebih singkat dan jelas. Mudah2an dapat dimengerti, kalo enggak ya udah, gue kira setiap orang berhak buat gak ngerti akan sesuatu. (catatan: kalo gak ngerti beneran atau mau sanggahan silahkan komen ya di bawah, gak ada salahnya kok)

Jadi, melihat sesuatu dari sisi2 yang jeleknya dan melihat apa sih sumber masalahnya??


Ada dua jenis sumber masalah, yaitu:

1. Malfungsional. Yaitu, ketika fungsi dari suatu hal mengalami penyalahgunaan. Misalnya, senior yang seharusnya memberikan teladan buat juniornya malah memeloncokan mereka. Pada konteks ini, kita dapat menjelaskannya mengenai perihal2 yang dianggap menjadi perusak status dan peranan senior tersebut. Kenapa penting? Kasihan, masa depan senior dan junior perlu dipertimbangin, gue pikir dan gue rasa. Karena, mereka adalah generasi penerus bangsa. Andaikan kita menninggal, gue meninggal, siapa yang dapat menggantikan kita, ya kecuali anak cucu?

2. Disfungsional. Yaitu, ketika fungsi dari suatu hal mengalami kepunahan. Misalnya, senior yang seharusnya memberikan teladan buat juniornya malah tidak melakukan suatu hal apapun terkait teladan2 tersebut. Nah, apa bedanya dengan butir yang pertama? Sebenarnya, gue mengklasifikasikan kedua hal ini gak secara baku (walaupun harapannya dapat dipisah secara dikotomis). Tetapi, silahkan dikritik melalui komen agar dapat dibangunkan proses dialektika ini. Bedanya, si senior ini dianggap tidak melakukan peranannya sebagai pemberi teladan


Jadi, bisa aja pada butir pertama, malfungsi adalah penyalahgunaan otoritas. Sedangkan disfungsi adalah tidak adanya atau tidak jelasnya kedudukan - baik status maupun peranan - dari ... Gue gak (cuma) bakalan nyebut senior... Siapapun yang mempermainkan fungsi tersebut, sekaligus mungkin juga GUE!!

....


Apa sih artinya fungsi tersebut, yang telah tadi gue sampaikan?


Menurut Durkheim, fungsi adalah tujuan. Sedangkan, menurut Radcliffe-Brown, fungsi adalah manfaat. Gue kira, kedua pendapat tersebut dapat dipakai dalam konteks ini.


Sedangkan, keseluruhan dari pemikiran gue, kalo gue boleh ngungkapin secara jujur, merupakan percabangan dari Karl Marx.

Banyak yang ngomong kalo dia adalah tokoh yang menyeramkan. Tidak percaya kepada Tuhan, baik agnotis maupun atheis. Tapi, di satu sisi dia sangat membela kaum buruh inti (proletar). Tapi, di satu sisi dia sangat mengecam kaum pemilik modal (borjuis).

Gue gak bisa ngucapin kalo mereka yang menganggap Marx adalah orang yang seperti itu adalah salah besar. Enggak. Lagian juga, ini udah masuk ke dalam ranah ilmu sosial. Yang mana ilmu tersebut mempunyai rumus satu tambah satu tidak sama dengan dua. Lalu, tidak mempunyai objek, karena manusia dianggap sebagai subjek. Iya loh. Antropologi menganggap manusia sebagai subjek. Sosiologi juga menganggap manusia adalah subjek, sedangkan yang menjadi objek adalah fakta sosial, sui generis, realitas sosial, masyarakat, dan sebagianya. Hukum? Napi sekalipun menjadi subjek, karena objek adalah truisme (UU, UUD, Norma, Custom, dst --> Ya, aturan maksudnya).


Latar belakang kenapa gue pake sudut pandang ini dalam menjelaskan perpeloncoan adalah... Karena, ya, cenderung subjektif. GUE BENCI DENGAN PERPELONCOAN.


Gak cuma gue.

Yakin.

Banyak teman2 pasti yang benci juga kan?

Dan masih inget dalam kepala gue..

Teman 1 : Di, senior gue melecehkan gue dalam strata sosial! Mentang2 dia punya hape bagus, dia jelek2in hape gue

--> Oke, bisa aja gue bales "tenang masbro, yang diejek kan hape elo, bukan DIRI ELO SENDIRI KAN YANG DIEJEK?" . Tapi, masuk akal gak sih? Masuk akal. Masuk perasaan gak? Enggak!!

Teman 2 : Gue gak suka berada dalam keadaan tertekan. Haha, padahal gue mantan anak berandalan, aneh...

--> Oke, bisa aja kan gue bales "Santai gan. Kan mantan anak geng nih, kalo ada yang berani menekan elo, elo bisa kan ajak ribut dia? Kalo perlu, bunuh aja! BUNUH.". Masuk akal gak? Masuk akal. Bisa dilakuin gak? Bisa. Konsekuensinya? Banyak, mendekati haram malahan! Kalo beneran dibunuh, bakal masuk jinayah (pidana Islam), hukum pidana, hukum adat, dan sebagainya, kan repot banget!

Teman 3 : Di, gawat! Gue disogok sama senior! Padahal, buat ongkos naik kereta aja udah pas2an... Gue pulang naik apa ya...??

--> Oke, bisa aja kan gue bales "Tenang aja, gue talangin buat sementara waktu ongkosnya". Sialan, masa cuma gara2 dipalak, gue mesti nalangin dia sih? Enggak, bukan maksudnya pengen nunjukkin ke elo2 semua bahwa gue berpola pikir 'forced tolerance', tetapi....... Gue kan juga gak bisa seenak jidat dimanfaatin seenaknya... Baik sama senior maupun sama teman... Ituloh, perpeloncoan yang menjamur dapat menyebabkan polemik2 yang bermakna ambigu!


Dan sebagainya... Nanti, selengkapnya gue bakal ceritain yang lainnya. Tentu aja, yang tadi itu cuma intermezzo aja. Jadi, buat pembaca sabar ya.

Kenapa subjektif?

Mirip dengan Marx, ia juga mempunyai keinginan meneliti alienasi pada kelas2 sosial karena ada kaum proletar yang mati karena kelaparan akibat kegiatan2 yang terlalu intensif. Bukan intensif lagi malahan, justru TIDAK MANUSIAWI.

Alienasi... Yaitu bagaimana objek material yang dibuat oleh kaum borjuis berkat jasa proletar dapat membodohi borjuis itu sendiri. Seakan2 benda hasil produksinya itu menyuruh dia untuk "Ayo donk, bikin gue lagi, lebih bagus lagi! Kalo udah bagus, PENTINGIN JUMLAHNYA, BIKIN LEBIH BANYAK. KAN ELO PUNYA ANAK2 BUAH (PROLETAR), YA MANFAATIN AJA MEREKA". Akibatnya, kegiatan produksi makin intensif dan semakin tidak manusiawi, dan tentu core of labor (proletar, kaum buruh) akan shock melakukannya.

Walaupun sudah memakai wawancara mendalam, hasil tetap akan subjektif karena masih belum mewakilan semuanya. Belum lagi, tidak semua hasil wawancara tersebut berlaku absolut benarnya. Inilah yang bikin Marx kerepotan.

Sedangkan, gue ngerasa bahwa nasib gue mirip dengan dia.

Ketika gue pengen banget nerjemahin kata perpeloncoan ke dalam alienasi, maka tentu saja hal ini terus dapat difalsifikasikan.

Gue pikir, alienasi yang dimaksud adalah... Mengapa junior mau aja dibodohin sama senior? Mengapa senior mau aja membodohi generasi penerus mereka? Dan kalaupun perpeloncoan berhenti, maka apa yang terjadi? Pasti ada pro kontra. Pro karena perpeloncoan bukanlah praktik yang baik dalam pendidikan, disangka tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang termaktub dalam UUD (misalnya). Sedang, kontra karena.... Masa angkatan mereka kena peloncoan sedangkan angkatan2 abis mereka kagak kena..? Perlu keadilan sosial ya?


Kedua, gue masih menganggap ini subjektif karena ini merupakan pengalaman gue dan teman2 gue yang tentu aja masih belum diteliti secara baik, dalam artian diklarifikasikan secara ilmiah. Ya, tentu aja, gue bener2 ngarepin banget kalo perpeloncoan itu gak ada.

Bahkan, Lady Gaga aja bikin gerakan sosial anti perpeloncoan. Gue bukan merupakan fansnya dia. Gue juga tidak kenal siapa dia sebenarnya (lho?), ya, tetapi gue salut sekali dengan keberanian dia.


Perpeloncoan menjadi fakta sosial, kenapa?


Menurut Durkheim, fakta sosial sendiri mempunyai ciri2 sebagai berikut, dan akan gue mix dengan perpeloncoan, yaitu:

1. Merupakan fenomena kolektif, bukan fenomena individual. Artinya, bukan cuma berpaut dengan seseorang belaka. Tapi, mesti ada minimal hubungan dua orang (dyadic relationship). Perpeloncoan merupakan sistem tindakan asosiatif yang melibatkan minimal dua orang dan merugikan salah satu pihak atau/dan pihak lainnya

2. Memaksa secara koersif, bahkan secara individual. Pada perpeloncoan, tentu kita dapat melihat bahwa junior mesti takluk saat menjalani ospek, seakan2 senior adalah Tuhan mereka. Junior harus membawa bekal berjargon aneh seperti belimbing bintang enam, snack nyenders, susu Kikan, kue puncak, dan sebagainya yang cukup bikin gue muak dan sakit kepala!

3. Ditransmisikan dan dishared. Ditransmisikan ialah diwariskan turun temurun, alias antar generasi. Sedangkan dishared atau dibagi2kan ialah disebarluaskan secara intragenerasi atau dalam generasi yang sama. Tentu aja, perpeloncoan udah ada dari dulu, dari jaman penjajahan juga udah ada.

4. Mempunyai fungsi. Ya, mempunyai tujuan (end). Macem2 sih fungsi yang ada pada perpeloncoan. Misalnya, social cohesion atau alat perekat sosial antar generasi. Tapi, ada banyak sisi negatifnya. Misalnya, mempengaruhi secara afektif, yaitu persepsi yang salah mengenai orang2 yang dianggap sebagai penguasa perpeloncoan, dan sebagainya.

Cukup sekian dulu, pengantar dari gue. Nanti, bakal gue kisahin lagi, apa aja sih yang masih aja nyangkut di kepala mengenai perpeloncoan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar